Peristiwa penganiayaan oleh seorang anak pejabat pajak yang tengah viral di media sosial lalu menghebohkan seluruh jagad maya Indonesia. Buntut kasus penganiayaan ini akhirnya berujung pada masalah harta kekayaan yang dimiliki oleh sang ayah. Sang anak, sebut saja MD dengan bangga memamerkan Moge dan Rubicon melalui akun sosial media yang dinilai oleh warganet seharga lebih dari ratusan juta rupiah.
Melihat Dari Kacamata Sosial
Mengutip dari Roy Martin Sinamora, Dosen Filsafat ISI, mengatakan bahwa perilaku ini bukanlah hal yang baru, melainkan telah menjadi trend yang mengkhawatirkan pada circle anak-anak orang kaya dan berkuasa. Piff (2014), dalam penelitiannya yang berjudul Wealth and The Inflated mengungkapkan bahwa kekayaan dan status sosial dapat menyebabkan narsisme yang meningkat. Dengan status kekayaan dan sosial yang dimiliki, individu akan cenderung berperilaku mengabaikan norma dan aturan sosial, serta bersikap kurang empati terhadap orang lain.
Piff juga menyimpulkan bahwa hal ini memiliki hubungan secara psikologis, kekayaan dapat memberi individu rasa kekuasaan dan kendali yang mengarah pada kepentingan pribadi. Proses sosialiasi dalam keluarga dapat mendorong perkembangan pola pikir individu. Dalam kasus ini, MD telah mencontohkan bagaimana rasa kendali yang dimilikinya hingga berujung pada penganiayaan. Kasus MD tentu mengejutkan masyarakat, bagaimana sebuah tindakan tidak bermoral itu terjadi. Banyak orang menilai, kasus ini merupakan refleksi akan kekayaan dan status sosial yang mendorong narsisme individu. Kedepan, perlu dilakukan sesuatu untuk mencegah agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Perspektif Undang-Undang dan Pajak
Kejadian viral yang secara tidak langsung mengungkapkan hubungan MD sebagai anak pejabat pajak membuat publik bergumul dengan asumsinya masing-masing. Sebagian besar masyarakat menilai bahwa penyelenggara negara, yang dalam hal ini dimaksudkan adalah RAP sebagai ayah dari MD harus mencontohkan perilaku yang baik sebagai tokoh publik. Mengutip dari pernyataan Romli (Mantan Ketua Tim RUU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 1999), penyelenggara negara dalam menjalankan pemerintahan harus meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Tujuh asas tersebut merupakan landasan moril dan hukum penyelenggara negara untuk setiap tugas dan tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan.Â
Setiap pejabat negara, juga berkewajiban untuk bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah mejabat serta tidak melakukan perbuatan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Bagi Romli, peristiwa pejabat pajak yang disinyalir memiliki harta kekayaan pribadi mencapai Rp 50 miliar dan dipertanyakan asal usulnya tidak akan terjadi jika KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) tidak dibubarkan dan dilebur ke dalam tugas dan tanggung jawab KPK berdasar UU 30 tahun 2002. KPKPN dinilai memiliki wewenang yang strategis dalam mencegah praktik KKN. Romli menekankan, sudah sepatutnya masyarakat memahami UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dengan memahami UU, diharapkan masyarakat dapat mencegah terjadinya praktik KKN di lingkungan sekitar dan menjaga stabilitas agar tetap kondusif.
Lantas dengan kejadian ini, bagaimana keyakinan dan pendapat anda mengenai roda pemerintahan di Indonesia sekarang ini, khususnya dalam pengembangan pajak dan pelaporan harta kekayaan pejabat? Sudah sesuaikah dengan ekspetasi anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H