"We must work together to ensure the equitable distribution of wealth, opportunity, and power in our society." --Nelson Mandela, Presiden Afrika Selatan
Dalam sejarah sakral Indonesia pada tahun 1945, dua Bapak Proklamator Indonesia, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta mendeklarasikan tujuan negara Indonesia dalam Undang-undang Tahun 1945 (UUD 1945). Disebutkan dalam undang-undang tersebut bahwa negara ini memiliki tujuan mulia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Namun, bagaimana realitanya di lapangan kini?
Sebut saja bahwa rumah tidak layak huni (rutilahu) merupakan salah satu permasalahan yang dari tahun ke tahun selalu menjadi isu lama yang masih sering terabaikan. Meskipun menjadi salah satu isu yang selalu ada dalam agenda pemerintah daerah maupun pusat, permasalahan rutilahu tampaknya belum juga menemukan titik terang. Tahun demi tahun, isu ini terus muncul namun progres penanganannya tidak kunjung memuaskan, terutama bagi masyarakat yang terdampak langsung.
Bagaimana tidak? Di tahun 2022, Badan Pusat Statistik dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional 2023 menyatakan bahwa jumlah rumah tangga yang tinggal di rutilahu ada sebanyak 39,34% dari total seluruh rumah tangga yang ada di Indonesia. Sementara itu, penting bagi masyarakat umum untuk memahami definisi sebenarnya dari rumah tidak layak huni (rutilahu) sehingga program Rehabilitasi Sosial-Rumah Tinggal Layak Huni (RS-Rutilahu) dapat berjalan efektif dan tepat sasaran, bukan sekadar menganggap setiap rumah yang tampak "jelek" sebagai rutilahu.
Selangkah Lebih Jauh untuk Mengenal Definisi Rutilahu
Rumah Tidak Layak Huni yang selanjutnya disingkat RTLH adalah rumah yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan dan kesehatan penghuni. Kriteria rutilahu yang dianut oleh Kementerian Sosial meliputi dinding dan/atau atap dalam kondisi rusak yang dapat membahayakan keselamatan penghuni, dinding dan/atau atap terbuat dari bahan yang mudah rusak/lapuk, lantai terbuat dari tanah, papan, bambu/semen, atau keramik dalam kondisi rusak, tidak memiliki tempat mandi, cuci, dan kakus; dan/atau luas lantai kurang dari 7,2 m2/orang (tujuh koma dua meter persegi per orang).
Pada mereka yang terpaksa untuk menjalani hidup sehari-hari di tempat seperti ini tentunya memerlukan bantuan khusus dari pemerintah. Bukan hanya perbaikan dalam rumah saja, tetapi pendampingan dari pekerja sosial. Hal ini berguna untuk mengakhiri buntut kemiskinan dari skala yang paling kecil, yaitu rumah tangga pemilik rutilahu.
Sejauh Mana Langkah Pemerintah Indonesia dalam Revitalisasi Rutilahu?
Pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam mengurangi jumlah rutilahu dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No.7/PRT/M/2018 yang mengatur tentang Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). Kebijakan ini bertujuan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah meningkatkan kualitas perumahan mereka dan membangun rumah baru yang layak huni, lengkap dengan infrastruktur pendukung. Melalui program ini, ada dua kegiatan utama yang didorong. Pertama, Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya (PKRS) yang fokus pada perbaikan rumah yang tidak layak huni dan Pembangunan Baru Rumah Swadaya (PBRS) yang mendukung pembangunan rumah baru yang layak huni. Kedua kegiatan ini dirancang untuk dilaksanakan oleh masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, menunjukkan pendekatan yang mengutamakan partisipasi dan inisiatif lokal.
Selain itu, RS-Rutilahu dalam Permensos No. 20 Tahun 2017 tentang Rehabilitasi Sosial Rutilahu dan Sarana Lingkungan juga menjadi bukti bahwa pemerintah sudah melangkahkan jejak yang lebih jauh untuk menangani isu ini. RS-Rutilahu merupakan salah satu kegiatan penanganan fakir miskin yang diselenggarakan Kementerian Sosial dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas tempat tinggal fakir miskin melalui perbaikan/rehabilitasi kondisi rumah tidak layak huni dengan prioritas atap, lantai, dan dinding serta fasilitas MCK. RS-Rutilahu beranggotakan paling sedikit 5 (lima) dan paling banyak 15 (lima belas) Kepala keluarga untuk satu kelompok masyarakat miskin yang tinggal berdekatan.
Lantas, Apakah Upaya-upaya itu Berlalu Tanpa Kendala Sama Sekali?
Dalam rangka mengentaskan masalah rutilahu, pemerintah Indonesia tampaknya menghadapi sebuah medan perang yang dipenuhi ranjau birokrasi dan tantangan lainnya. Dana yang seringkali lebih mirip dengan oasis di padang pasir menjadi kendala utama. Sementara itu, validasi data yang acap kali tidak lebih akurat dari ramalan cuaca membuat distribusi bantuan sering meleset sasaran. Partisipasi masyarakat, yang idealnya seharusnya menjadi pilar utama, tampaknya lebih sulit dipacu daripada menggerakkan kura-kura di garis finish maraton, mengingat rendahnya kesadaran atau kepercayaan terhadap efektivitas program yang diusung pemerintah.
Koordinasi antarlembaga yang seharusnya lancar bagai aliran sungai, kerap kali tersendat seperti kemacetan lalu lintas dan pada akhirnya memperlambat aliran bantuan. Belum lagi, pengawasan dan evaluasi yang kadang terasa lebih jarang dari fenomena gerhana, serta adanya risiko korupsi yang merajalela, sering mengganggu efektivitas dan efisiensi usaha penanganan rutilahu. Terakhir, labirin peraturan dan hambatan hukum yang melibatkan perizinan seringkali menghambat kecepatan pelaksanaan seakan-akan semua pihak sedang berlomba-lomba dalam kompetisi lambat. Jelas, untuk memenangkan pertarungan ini, dibutuhkan lebih dari sekadar retorika; diperlukan kerjasama lintas sektor yang solid dan tindakan nyata yang berkelanjutan.
Orkestra Penutup dari Pertunjukan "Benah-benah Rutilahu Indonesia"
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menangani masalah rutilahu, tampaknya perjalanan menuju penyelesaian masalah ini tidaklah mudah. Meskipun ada upaya serius dari pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kendala-kendala yang kompleks masih menghambat proses pembenahan.
Dana yang terbatas, validasi data yang kurang akurat, partisipasi masyarakat yang rendah, hingga koordinasi antarlembaga yang masih belum optimal, semuanya menjadi ranjau yang menghambat langkah menuju solusi yang lebih baik. Ditambah dengan risiko korupsi dan hambatan hukum yang menjadi beban tambahan, perjuangan untuk mengatasi rutilahu tampak semakin berat.
Namun, seperti yang dikatakan Nelson Mandela, "Kita harus bekerja sama untuk memastikan distribusi kekayaan, peluang, dan kekuasaan yang adil dalam masyarakat kita." Upaya penyelesaian masalah rutilahu memerlukan kerja sama yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Diperlukan juga komitmen yang kuat untuk menemukan solusi yang tepat dan berkelanjutan, bukannya selesai semata.
Sejauh ini, langkah-langkah pemerintah seperti program BSPS dan RS-Rutilahu telah menjadi langkah awal yang positif. Namun, untuk mencapai perubahan yang nyata, perlu adanya upaya yang lebih terkoordinasi, transparan, dan efektif. Hanya dengan kerja keras bersama, kita bisa mengubah realitas lapangan yang masih memprihatinkan menjadi sebuah masa depan yang lebih cerah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H