Lagi dan lagi, si 'mbak' menjadi salah satu alasan, serta inspirasi saya untuk menulis. Bukan karena kesal, tapi sepertinya lebih ke “benci-benci rindu kali ya”:D. Si mbak nggak jahat kok, cuma berhasil meninggalkan sebersit kenangan tak menyenangkan dalam kehidupan saya dan keluarga.
Sebagai ibu pekerja dengan satu orang putri yang masih balita, bisa jadi saya tidak sesibuk ibu-ibu pekerja lainnya yang memiliki lebih dari satu orang anak. Hanya saja, putri kecil saya ini termasuk aktif dan serba ingin tahu. Meski belum jelas pronunciation-nya, tapi si bijak udah jago banget nanya dan jawab ini-itu. Kebayang dong?
Balik ke si mbak. Mbak ini adalah mbak saya yang ketiga. Nggak ada niat mau sombong-sombongan, Alhamdulillah sebagian besar mbak yang pernah membantu di rumah memang betah-betah, termasuk mbak ini. Namun, ada yang beda dengan mbak satu ini. Sebut saja namanya mawar. Tugas utama Mawar mulai dari membersihkan rumah, menjemur dan menggosok pakaian (cuci pakai mesin), serta membantu menjaga si kecil bersama mama.
Selain gaji utama, uang jajan mingguan, THR, dan biaya kesehatan (dokter+obat), kebutuhan seperti makanan sehari-hari, camilan tambahan, pembalut, odol, sabun, shampoo, sikat gigi, pelembab wajah, body lotion, hingga parfum, semua kami (saya dan suami) sediakan. Bahkan, saat berlibur ke Jogyakarta, Mawar ikut kami boyong. Alasannya simpel “kasihan di rumah sendirian”.
Masalah pun dimulai
Tak terasa, 4 bulan pun berlalu. Sampai suatu ketika si Mawar minta ijin pulang dengan alasan mau dinikahkan oleh ibunya. Jederrrr!! Sangking kagetnya, kalimat yang saya utarakan pertama kali adalah..”Memang nggak bisa dicancel mbak (lucu, yang mau nikah siapa, yang minta batal siapa)? Kok nikahnya dadakan banget! Terus N**p (anak saya) gimana?”. Yang awalnya saya sedih, setelah si Mawar mengutarakan sesuatu, saya langsung merasa miris. Hasil analisa saya menyatakan, bahwa si Mawar mau ngakalin saya.
Dan terbukti, 2 hari menjelang kepulangannya, Mawar ngajak saya ngomong sekali lagi..”Bunda, saya akan usahakan balik lagi. Tapi ya gitu bunda, kalo gajinya kecil kayak sekarang (kecil gundulmu, 1.6 jt belom termasuk embel-embelnya, menurutmu??), saya nggak yakin ibu bakal ijinin. Saya masih mau kerja bunda, belom mau kawin (nah, terus??)”. Dengan lemah-lembut namun tegas, saya menjawab..”Lihat nanti saja ya mbak, kebutuhan kami juga banyak. Mbak lihat sendiri kan? Nanti kita saling kabar-kabari saja”.
Beberapa hari setelah Mawar pulang, Ibu A, tetangga samping rumah memberanikan diri bercerita tentang perilaku si mbak, saat saya sibuk mengais rejeki. Ternyata, baik siang atau sore, si mbak kerap pergi ke taman yang letakknya cukup lumayan dari rumah, buat bertemu teman lelakinya. Ibu A khawatir, mbak ini merencanakan sesuatu yang tidak baik. Mengingat saat kami bekerja, di rumah hanya ada mama dan si kecil. Ditambah lagi, menurut pembantunya dan beberapa tetangga lainnya, Mawar sering menceritakan apapun yang terjadi di rumah, yang pastinya dengan tambahan bumbu penyedap. Sampai ada yang bertanya, apakah saya dan suami mau bercerai? masyaAllah. Memang ya, ada hikmah dibalik semuanya.
Solusi efektif dan efisien
Saat ini, tepatnya delapan bulan saya tidak lagi memperkerjakan pembantu. Jujur, kami semakin khawatir sejak kriminalitas yang berhubungan dengan mereka ikut meningkat. Namun, bukan tidak mungkin masih banyak pembantu-pembantu baik hati dan memang niat kerja diluaran sana. Untuk menjaga si kecil dan berbagai kebutuhannya, saya meminta tolong adiknya mama atau bulek. Tidak hanya lebih tentram, rumah kami pun terasa lebih damai dan hangat. Alhasil, saya pun bisa lebih fokus mengatur berbagai hal, khususnya masalah keuangan (1). Pengeluaran jadi jauh-jauh lebih hemat. Udah gitu, nggak ada lagi tuh yang namanya 'gosip-gosip tetangga' (2). Apalagi dibilang mau berpisah. Toh, sekarang kan udah banyak yang serba otomatis (3). Males cuci-gosok, ada laundry kiloan. Males nyapu-ngepel, ada robotic vacuum cleaner. Nggak perlu stres soal kenaikan gaji atau pengeluaran uang dadakan 'nggak penting' lainnya.
Yang perlu diperhatikan, sejak menjamurnya jasa laundry kiloan, kita juga perlu lebih selektif memilih yang oke (maklum, ibu-ibu). Jangan sampai juga, kebutuhan sandang kita malah jadi korban. Umumnya, jasa ini saya pilih yang dekat dengan lokasi rumah. Selain itu, faktor higienitas (tidak mencampur pakaian kita dengan orang lain) dan canggih atau tidaknya mesin yang digunakan, turut menjadi prioritas saya. Untuk robotic vacuum cleaner, saya lebih memilih yang berukuran tidak terlalu besar, dilengkapi kain mop/ pel, mudah digunakan dan berbentuk persegi, bukan bulat. Alasannya, bentuk persegi lebih mampu menjangkau area yang sulit, terutama bagian tepi. Secara rumah saya banyak terdapat sekat dan sudut.