*artikel ini adalah tugas prasyarat Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) di Bandar Lampung (22-23 Februari 2014) yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Sejarah pers Indonesia tidak dapat dipisahkan dari tumbuh dan berkembangnya sistem politik dalam negeri sejak masa penjajahan Belanda. Awalnya, pers hanya berfungsi pada tataran propaganda pemerintah Belanda kala itu. Lalu pribumi-pribumi yang kritis menggunakannya untuk perjuangan hak-hak yang terjajah.
Dari banyak literasi, koran mingguan Medan Prijaji (1907) yang didirikan oleh RM Tirto Adhi Soerjo dan Raden Djokomono dianggap sebagai awal sejarah pers nasional.
Koran ini dianggap yang pertama kali menggunakan modal nasional dan dipimpin oleh orang Indonesia setelah sebelumnya seluruh media massa dipegang kendali oleh Belanda. Koran berbahasa melayu ini lalu diubah formatnya dari minggguan menjadi harian pada tahun 1910.
Seiring perkembangan zaman, makin banyak perusahaan pers tumbuh dan memperbarui format-format yang telah ada. Mulai dari Televisi hingga media online.
Citizen journalism dan Media Sensasi
Tidak dapat dipungkiri perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat sejak medio 2000an membuat alur informasi menjadi bebas dan dinamis. Pun begitu dengan ranah jurnalistik, hingga muncul istilah citizen journalism atau jurnalisme warga.
Tak perlu bicara banyak tentang awal mula jurnalisme warga ini. Yang jelas, dampak dari jurnalisme warga sangat signifikan. Memanfaatkan ruang publik yang telah teringerasi pada gadget, informasi tak perlu menunggu lagi untuk didedahkan di pelbagai ruang publik –kebanyakan jejaring sosial seperti facebook, twitter, path, dan sebagainya.
Banyak manfaat dan banyak pula dampak negatif dari jurnalisme warga ini. Karena info yang didapat oleh orang-orang biasa itu bisa cepat tersebar seperti efek domino dari satu orang ke sekelompok lalu ke komunitas dan dikonsumsi sebuah negara bahkan bisa berkembang secara nasional bahkan internasional.
Dan lagi-lagi, karena prinsip jurnalisme yang dipakai oleh jurnalisme warga ini (kebanyakan) hanya keaktualan informasi, maka informasi yang disebarkan umumnya menjadi bias, terlebih jika menyangkut peristiwa yang bisa menimbulkan kepanikan masal jika disebar, kerusuhan antarwarga misalnya.
Mari melihat satu contoh. Pada waktu kerusuhan saat pembersihan kawasan stasiun antara polisi, PT KAI dengan pedagang di Depok beberapa waktu lalu, seorang kawan hampir tiap menit me-retweet tuit kawannya yang menurut dia pada saat itu berada di lokasi.
Di-retweet-nya lah tuit-tuit tentang kondisi lokasi kejadian yang mencekam, dar der dor bunyi ledakan pistol, hingga korban yang berjatuhan karena terkena tembakan petugas. “Astagfirullah!” “Kejam!” “Polisi buta!” beberapa tanggapannya.