*artikel ini adalah tugas prasyarat Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) di Bandar Lampung (22-23 Februari 2014) yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Wartawan adalah sebuah profesi yang terbuka. Tidak ada pendidikan khusus secara akademi untuk bisa menjadi wartawan –meski akhir-akhir ini banyak perusahaan pers mensyaratkan calon pelamar adalah lulusan jurusan jurnalistik. Siapa pun bisa menjadi wartawan.
Dan seperti profesi lainnya, wartawan pun terikat dengan kode etik. Hal itulah yang membedakan profesi dengan pekerjaan lainnya. Salah satunya, wartawan dituntut bersikap profesional dalam pekerjaannya. Seorang profesional dituntut untuk bertanggung jawab, independen, dan adil dalam melaksanakan kerja jurnalistiknya.
Dalam bahasa yang lebih singkat, wartawan dituntut untuk sempurna. Tidak melakukan kesalaahan dengan sengaja. Segala sesuatu yang berkaitan dengan fakta ditampilkan sebenar-benarnya. Itulah tipikal wartawan profesional yang ideal.
Namun, kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Cover both side, verifikasi, dan konfirmasi pun dianggap sudah tidak perlu untuk membuat sebuah berita. Dalam kasus penipuan misalnya, asal sudah ada nama terlapor, kronologi dari laporan di polisi maka berita sudah dapat dibuat. Bahkan tidak jarang bisa menjadi pohon duit dengan mengancam diberitakan.
Bagi mereka, id card adalah “kartu pas” untuk bisa masuk ke segala tempat. Kata “wartawan” adalah senjata yang mumpuni untuk mengeruk keuntungan pribadi. Banyak wartawan yang bahkan tidak mengetahui secara sadar hakikat status yang ada di id card-nya yang selalu dibawanya –bahkan ada beberapa yang sudah lulus UKW dan mempunyai Kartu Sertifikat Kompeten.
Keanomalian profesi wartawan ini tidak dapat dibebankan kepada oknum-oknum wartawan tersebut. Perusahaan pers pun mempunyai andil dalam membentuk mental “pemeras resmi” itu. Calon wartawan diterima dan langsung diterjunkan tanpa dibekali pengetahuan tentang hal yang paling krusial yakni kode etik jurnalistik.
Pembuatan berita dapat dipelajari leraning by doing. Tetapi, attitude harus dibentuk sejak awal. Jika sudah terkontaminasi maka akan sulit membersihkannya.
Akhir-akhir ini berkembang anekdot di kalangan wartawan –bahkan wartawan jejadian, soal peliputan. Hal pertama yang lebih dulu ditanya adalah: “Ado idak?” (bahasa Palembang yang artinya: “Ada atau tidak (amplopnya). Ado idak ini bahkan dilakukan sampai ke level konfirmasi, misalnya ada orang yang dilaporkan dan orang tersebut ingin dimintai keterangannya mengenai pelaporan itu. Makin besar isi amplop, makin wangi pula fakta yang bisa direkonstruksi. “Ngolah kau bung,” kata beberapa wartawan lainnya.
Jika sudah begitu, beberapa wartawan ‘benar’ hanya tersenyum miris dan pasrah nama profesinya kian jatuh di mata publik. Wartawan adalah pemeras. Wartawan adalah tukang olah. Dan mereka –wartawan anomali, kadang berkedok di balik kecilnya penghasilan dari kantor (beberapa bahkan ada yang tidak mendapat gaji dan malah harus menyetor sejumlah uang).
Ke-profesionalisme-an tidak hanya perlu diterapkan kepada wartawan. Perusahaan pers pun harus bersikap profesional. Penuhi kelayakan karyawan. Dan jika tidak, maka “Ado Idak?” akan terus berkumandang.
Dan ini menjadi konsekuensi yang harus ditanggung oleh beberapa wartawan ‘benar’ lainnya. Ibarat kata, karena nila setitik rusak susu sebelangga.
"Ado idak?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H