Mohon tunggu...
Try Raharjo
Try Raharjo Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Republik

Subscribe ya dan like channel YouTube punyaku youtube.com/c/indonesiabagus

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemindahan Ibu Kota Negara, Urgensi dan Implikasinya

20 Januari 2022   22:00 Diperbarui: 23 Januari 2022   07:13 1867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Informasi mengenai rencana pemindahan ibu kota negara saat ini cukup banyak mendapatkan perhatian masyarakat, terlebih setelah Presiden Jokowi mengumumkan nama untuk ibu kota negara kita yang baru yaitu Nusantara.

Sudah lazim dalam kehidupan berdemokrasi, rencana tersebut pun mengundang banyak pengamat, politisi, akademisi, dan juga warga awam untuk menyampaikan pendapat atau responnya masing-masing. Ada yang menolak dengan berbagai alasan, tapi banyak juga yang sangat antusias dan bersemangat dengan akan segera dibangunnya ibu kota negara baru.

Lepas dari berbagai alasan yang pro dan kontra, wacana pemindahan ibu kota negara baru sebenarnya sudah ada sejak masa pemerintahan Hindia Belanda.

Berikut ini catatan mengenai beberapa upaya untuk menggantikan peran kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan.

1. Surabaya

Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, sudah menginginkan agar ibu kota pindah. Saat itu kota yang sudah dipilih adalah Surabaya. Alasannya, Surabaya dinilai memiliki kondisi yang lebih sehat daripada Jakarta yang waktu itu disebut dengan Batavia. Di samping itu, ada pertimbangan faktor pertahanan dan keamanan, karena letaknya dekat dengan pangkalan armada laut di Gresik.

2. Bandung

Jakarta sebagai pusat administrasi pemerintahan menumbuhkan juga sentra ekonomi perdagangan dan industri. Akibatnya Jakarta menjadi kota yang sibuk dan padat sehingga kian tidak sesuai dengan daya tampung lingkungannya.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, beberapa kota yang sempat dipertimbangkan untuk dapat menggantikan Jakarta yaitu Bogor, Bandung dan Surabaya.

Dikutip dari Harian Kompas 10 Februari 1993, Bandung bahkan telah dipersiapkan secara detail oleh Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum.

Pihak kolonial membangun markas besar tentara KNIL, dan kompleks pusat perkantoran pemerintah, serta perumahan untuk para pejabat. 

Selain itu dibangun pula Hoofdbureau PTT (kantor pusat Post Telefoon en Telegraaf), di samping 600 rumah dinas pejabat, yang sampai kini masih dimanfaatkan warga kota Bandung. Dibangun juga rumah dinas untuk Gubernur Jenderal di tebing de Grootweg (Jalan Siliwangi sekarang).

Perusahaan kereta api SS (Staatsspoor en Tramwegen) juga meresmikan jalurnya ke berbagai kota lain yang berpusat di kota ini. Gouvernements Bedrijven yang sekarang disebut dengan Gedung Sate dibangun pada mulanya untuk direncanakan sebagai kantor pemerintahan dan menggantikan yang sudah ada di Jakarta.

3. Bogor

Buitenzorg atau Bogor sempat dijadikan sebagai alternatif untuk menggantikan peran Jakarta, sehingga pada masa itu dibangun gedung sebagai tempat kerja untuk gubernur jenderal Hindia Belanda di Bogor.

Pada periode 1745-1808, kota Bogor bahkan menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu memilih untuk menjalankan roda pemerintahannya di Bogor, meskipun tidak resmi.

Menurut catatan, sedikitnya ada sembilan gubernur Jenderal Hindia Belanda sebelum Daendels pernah bertempat tinggal di Istana Bogor. Namun peresmiannya baru tejadi pada 1886 melalui surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 11 Tahun 1866. Upaya lebih lanjut tertunda karena pecahnya perang dunia (Baca Kompas).

Upaya pemindahan ibu kota dilakukan kembali pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Beberapa kota sempat dipertimbangkan oleh Presiden Soekarno untuk dijadikan sebagai ibu kota negara baru, yaitu Bandung, Malang, Surabaya, Temanggung, Magelang, dan Palangkaraya. Untuk alasan kondisi darurat keamanan, tercatat pusat pemerintahan negara kita pernah dipindahkan ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946.

4. Palangkaraya

Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 25 Januari 1997, Presiden Soekarno mempunyai visi bahwa sebaiknya ibu kota baru berada di luar Pulau Jawa yang antara lain disebutnya Palangkaraya.

Beberapa kontraktor dari Rusia sudah didatangkan ke Kota Palangkaraya untuk membangun jalan besar menuju Kotawaringin, tapi ternyata ini tidak bisa direalisasikan.

Menurut laporan dari Merdeka, sejarawan Asvi Warnam dalam sebuah diskusi di Jakarta mengungkapkan hal yang menyebabkan penangguhan tersebut yaitu tawaran menyelenggarakan Asian Games.

Tawaran Indonesia menjadi tuan rumah ajang internasional tidak bisa ditolak pemerintah pada masa itu sehingga akhirnya wacana pemindahan ibu kota pun harus ditunda.

Dibangunnya stadion, Hotel Indonesia, Sarinah, dan patung selamat datang di kawasan Hotel Indonesia cukup banyak menguras keuangan negara sebagai persiapan penyelenggaraan Asian Games pada waktu itu, sehingga wacana pemindahan ibu kota menjadi tertunda.

Pemerintah ketika itu juga harus mempertimbangkan banyak hal untuk melakukan rencana ini terutama dalam hal kesiapan infrastruktur, sarana dan prasarananya.

5. Jonggol

Pada periode pemerintahan Presiden Soeharto, pernah mengemuka wacana pemindahan ibu kota negara ke Jonggol di daerah Bogor.

Menurut laporan Tribunnews malah kabarnya sempat dikeluarkan Keputusan Presiden yang khusus mengatur pengembangan kawasan seluas 30 ribu hektar itu. Tapi kemudian terungkap bahwa proyek itu ternyata menjadi akal-akalan sejumlah pengusaha agar bisa menaikkan harga tanah setempat.

Urgensi pemindahan ibukota

Pemerintah telah memilih wilayah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur sebagai Ibu Kota Negara (IKN) yang baru setelah melalui kajian dan pembahasan yang melibatkat berbagai pihak. Hal ini juga didukung oleh warga dan lembaga adat setempat.

Seperti dilaporkan Kompas, Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat RI secara resmi pun telah menyetujui Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-Undang (18/1/2022).

Adapun rapat RUU IKN sebelumnya diawali dengan rapat Pansus bersama dengan para ahli mulai dari ahli publik hingga tata ruang, kemudian dilanjutkan dengan rapat Panja yang membahas IKN pada empat bidang, yaitu:

Pertama, statusnya apakah otorita atau pemerintahan daerah khusus. Kedua, pembiayaannya jangan sampai membebani APBN. Ketiga, rencana induk (master plan) pembangunan jangan sampai mangkrak. Keempat, mengenai pertanahan jangan sampai menimbulkan persoalan dengan masyarakat sekitar IKN.

Empat butir pembahasan tersebut telah disetujui oleh seluruh anggota Pansus DPR, DPD dan juga pihak pemerintah. 

Manfaat yang dapat dipetik dari pemindahan Ibu Kota Negara 

Berikut ini adalah beberapa manfaat pemindahan ibu kota negara kita ke Kalimantan, ditinjau dari segi ekonomi.

1. Meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumber daya
Pembangunan ibu kota negara di Kalimantan akan dapat memberikan dampak positif dengan adanya penggunaan sumber daya potensial yang selama ini belum / tidak termanfaatkan secara optimal.

Dengan pembukaan kawasan perkantoran baru, apartemen, hotel, sarana kesehatan, dll. maka terjadi kegiatan produktif yang lebih memberikan manfaat optimal, manajemen yang profesional, dan diharapkan memberikan manfaat ekonomi bagi warga masyarakat setempat, yang secara umum memberikan dukungan bagi tumbuhnya ekonomi di tingkat regional dan nasional.

2. Menarik investasi
Investor yang selama ini tidak pernah melirik potensi Kalimantan akan tertarik untuk menanamkan modalnya dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.

Ada lebih banyak pilihan untuk berinvestasi yang dapat ditawarkan kepada para investor di dalam dan luar negeri untuk menanamkan modalnya. Dalam hal ini, posisi Indonesia juga memiliki daya tawar (bargaining position) yang lebih kuat, sehingga akan memperbaiki iklim investasi penanaman modal di Indonesia.

Pemindahan ibu kota negara baru dengan demikian turut menciptakan iklim investasi yang lebih luas, tidak hanya di Pulau Jawa.

Terkait dengan upaya menciptakan iklim investasi ini antara lain reformasi birokrasi secara bertahap dengan tujuan utama untuk membuat proses perizinan menjadi semakin mudah.

3. Memperluas kesempatan kerja baru

Peningkatan kegiatan di berbagai bidang pada khususnya sektor ekonomi, perdagangan, dan investasi seperti yang diuraikan sebelumnya tentu menciptakan kesempatan kerja lebih luas, yang diharapkan dapat menyerap lebih banyak lagi angkatan kerja kita. 

Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan saat ini tapi juga untuk ke depannya, karena pembangunan ibu kota negara baru yang diikuti pertumbuhan ekonomi dipastikan semakin banyak membutuhkan tenaga kerja.

Yang perlu diperhatikan adalah upaya mempersiapkan tenaga kerja yang memiliki dedikasi dan loyalitas tinggi. 

Sesuai dengan tujuan pendidikan angkatan kerja kita harus memiliki dedikasi dan loyalitas tinggi, etos kerja, berkepribadian, dan tangguh.

Penguasaan teknologi, khususnya teknologi informasi digital, menjadi satu dari sekian prasyarat penting yang harus dimiliki. Tentu mengingat saat ini dan untuk ke depannya umat manusia akan semakin banyak memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk membantu pekerjaan di semua bidang.

 4. Mendorong tumbuhnya sentra-sentra ekonomi baru

Pembangunan di ibu kota negara baru diharapkan dapat menumbuhkan sentra-sentra ekonomi baru yang akan membuat perekonomian semakin bergerak.

Pembangunan sarana dan prasarana ibu kota negara baru secara langsung dan tidak langsung dapat diharapkan untuk memberikan dampak pada tumbuhnya Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) khususnya di lingkungan setempat.

Hal ini tentu bisa terwujud bila UMKM yang ada dapat menjamin kualitas dan tersedianya volume produk / jasa yang sesuai dengan standar dan kebutuhan yang diperlukan.

Kolaborasi di antara pelaku UMKM menjadi kunci untuk dapat lebih berperan dalam kegiatan ekonom, serta membuka kesempatan bagi para pengusaha lokal, dan UMKM untuk memajukan perekonomian nasional dengan mengedepankan potensi dalam negeri.

5. Mempromosikan aspek budaya dan pariwisata Kalimantan di mata dunia
Selama ini aspek budaya Betawi telah cukup banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan warga dunia internasional karena letak ibu kota berada di Jakarta yang diwarnai oleh budaya Betawi. Ondel-ondel, misalnya, menjadi satu dari sekian banyak ikon yang sudah sangat familiar ketika orang menyebut Jakarta.

Setelah ibu kota dipindah ke Kalimantan maka akan lebih banyak kegiatan kenegaraan, event nasional dan internasional diselenggarakan di Kalimantan. Perhatian masyarakat dunia internasional pun akan menjadi lebih banyak tertuju pada Kalimantan berikut dengan segala aspek dan pernak-pernik budayanya. Hal ini jelas dapat membuka mata dunia internasional terhadap kekayaan budaya yang ada di Indonesia.

6. Mewujudkan pemerataan kue pembangunan
Dari aktivitas pembangunan sarana dan prasarana yang diadakan, secara langsung dan tidak langsung menciptakan efek berganda (multiplier effect) yang berpengaruh positif terhadap perekonomian nasional.

Efek berganda merupakan pengaruh meluas yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan ekonomi dimana peningkatan pengeluaran nasional mempengaruhi peningkatan pendapatan dan konsumsi.

Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibu kota

Satu hal yang selama ini sering dikawatirkan oleh beberapa di antara kita adalah setelah ibu kota negara baru disahkan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, maka pembangunan di Jakarta akan terhenti.

Saya kira itu tidak akan terjadi bila kepala daerah di Jakarta bisa bekerja sama dengan pemerintah pusat secara baik, dan mampu menggerakkan potensi sumber daya yang ada di Jakarta dengan segala sarana dan prasarana yang sudah dibangun selama ini.

Sentra industri, perdagangan dan kegiatan ekonomi yang sudah berjalan di Jakarta dan sekitarnya bisa terus berjalan dengan memanfaatkan infrastruktur, fasilitas bandara, pelabuhan, dll. yang sudah terbangun. Apalagi kemajuan teknologi komunikasi dan informatika digital saat ini juga sudah sangat membantu untuk dapat mewujudkan konektivitas antara satu kota dengan kota lainnya di tingkat nasional dan internasional.

Dalam beberapa tahun ini, pemerintah juga terus berusaha membangun infrastruktur secara merata di seluruh wilayah yang utamanya agar semakin banyak daerah di Indonesia dapat terhubung antara satu dengan lainnya. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan membangun jembatan, bandar udara, pelabuhan, serta jalan tol di berbagai wilayah. Menurut laporan Kompas, sepanjang tahun 2021 saja ada 17 jalan tol yang telah diresmikan.

Dengan pindahnya ibu kota negara, aktivitas di Jakarta tentu berkurang, namun sebaliknya daya saing kota Jakarta justru bisa lebih meningkat karena kualitas udara yang lebih baik dan kemacetan bisa lebih banyak terurai.

Demikian pula dengan masalah sampah dan sebagainya, beban lingkungan dan demografi menjadi berkurang yang dapat meningkatkan kualitas kota Jakarta sehingga lebih kompetitif dibandingkan dengan kota-kota global lain.

Penutup

Sampai dengan saat ini beberapa di antara kita masih mempersoalkan keputusan pemindahan ibu kota negara. Yang terkini adalah respon dari mantan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, M. Sirajuddin Syamsuddin atau Din Syamsuddin yang akan menggugat pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

"Jika demi itu (IKN) aset negara di Ibukota Jakarta dijual serta akan merusak lingkungan hidup dan menguntungkan kaum oligarki, maka pemindahan Ibu Kota Negara adalah bentuk tirani kekuasaan yang harus ditolak", tuturnya, seperti dilaporkan Okezone (20/1/2022).

Menurut penulis, perbedaan pendapat adalah lazim terjadi di masyarakat kita yang demokratis. Tidak jarang hal semacam itu adalah suatu manuver politik yang dilakukan oposisi sebagai langkah untuk pada akhirnya dapat memperkuat langkah kebijakan pemerintah.

Data empiris banyak menunjukkan, pemindahan ibu kota negara yang dilakukan secara terencana memberikan dampak positif dengan mengurangi beban ibu kota menjadi hanya sebagai pusat administrasi pemerintahan negara saja. Jakarta yang saat ini berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi dan bisnis menjadi terlalu padat sehingga tidak lagi sesuai dengan kondisi serta daya tampungnya.

Beberapa negara di dunia telah berhasil memindahkan ibu kota negaranya. Dapat disebut di sini misalnya Amerika Serikat (dari New York ke Washington DC), Australia (dari Melbourne ke Canberra), Malaysia (dari Kuala Lumpur ke Putrajaya), Turki (dari Istanbul ke Ankara) dan beberapa negara lainnya ternyata telah dapat membuktikan keberhasilannya. 

Kini saatnya bagi Indonesia untuk melakukan hal serupa sebagai sebuah loncatan besar untuk mengurangi permasalahan klise yang sering dijumpai seperti macet, banjir, sampah, urbanisasi, dll. 

Kita berharap dengan pemindahan ibu kota negara maka tercipta peluang-peluang investasi baru, meluasnya kesempatan kerja, dst. Keberhasilan tersebut dapat tercapai bila kita bekerja sama, bahu membahu, dan tidak mudah putus asa.

Sekian. Semoga tulisan ini bermanfaat atau menginspirasi kita semua.

***

Penulis adalah warga negara Indonesia, tidak memiliki kepentingan dan tidak berafiliasi dengan organisasi sosial politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun