KISAH PILU BHAYANGKARA MUDA IDEALIS @ Joutje J Jacob Diharapkan setelah momen menegangkan & melelahkan akibat "duel terbuka" antara POLRI vs KPK, maka para elit di kedua institusi penegak hukum ini dapat melakuan evaluasi atas "performance" kinerja masing-masing. Harus diakui, bahwa kinerja KPK di mata rakyat masih cukup bagus walau tak dapat dikatakan sempurna. Sementara di kalangan Kepolisian masih menyisakan banyak PR yang perlu dibenahi dibalik prestasi mereka menghadapi masalah Narkoba dan sektor keamanan lainnya. Institusi Kepolisian adalah Institusi milik rakyat dan sesungguhnya sangat dicintai rakyat, jika saja segenap personilnya dalam berbagai level hirarki organisasi kebhayangkaraan sungguh sungguh dapat membuktikan dedikasi keabdiannya pada Penegakkan Hukum yang berkeadian dan berkemanusiaan di negri Nusantara ini. Saya sedih dengan "memori buruk" ini, menyaksikan beberapa putra keluarga dan sahabat saya...
Semula, ketika mereka baru saja menyelesaikan studi sebagai anak kampus di beberapa universitas, saya sangat kagum dan bangga melihat mereka. Dalam banyak diskusi pribadi mereka SANGAT IDEALIS, herois, nasionalis dan taat hukum, pokoknya mereka itu sungguh memiliki MODAL INTEGRITAS hebat....
Ketika mereka memilih ikut seleksi penerimaan masuk korps "pasukan penegak hukum" pada belasan tahun lalu (meskipun sedikit terbantu referensi petinggi "berbintang") ternyata itu tidak cukup... Karena mereka "terpaksa" harus JADI PELANGGAR HUKUM sebelum menjadi PENEGAk HUKUM. Lantaran untuk bisa lolos dalam berbagai proses rekrutmen penerimaan dan pelatihan khusus.... Astaga, ternyata mereka harus kehilangan Modal INTEGRITAS diganti dengan Modal D.U.I.T.A.S (duit dalam tas). Tak ayal ada yang rumah & sawah warisan keluarganya harus terjual atau kredit sana sini... demi "kultur kelancaran" yg memaksa dalam kerdipan mata dengan bisikan yang keras dan jelas... kalau mau lolos maka ikuti saja "aturan yang dipermainkan". Tokh anak seorang anggota Polri saja juga ikut hanyut dalam "patron" permainan TST (Tahu Sama Tahu) yang sudah berlangsung lama. Apa lacur, 6 tahun pasca diinagurasi jadi korps "penegak hukum" ada yang dipromosi menjadi "boss pemula" di sebuah kota yang baru dimekarkan. Ironisnya, di hari pertama perwira muda ini jadi "bos" dia diberi ruangan berdinding & beratap "kaca polos transparan" di atas sebidang tanah 4x4 meter alias ruangan tanpa bangunan. Si perwira ini berkisah kepada saya... Solusinya dia harus CARI SENDIRI dengan CARA SENDIRI dan Meja Kursipun BAWA SENDIRI untuk diPAKAI SENDIRI dalam tugasnya sebagai penegak hukum. Ada juga kisah pilu yang lain terkait promosi jadi "bos" pada level tertentu harus bisa berkomitment "siap" capai target "royalty" ke atas alias siap "nyetor upeti" secara berjenjang.... Itulah beberapa fenomena klassik yang faktual tentang "Integritas" yg harus tergadai oleh "duitas". Kini tak pernah lagi saya bisa dengar diskusi idealisme dari anak anak muda itu. Kalaupun bertemu, mereka cuman bisa berucap... "Kami tak bisa berdiri jadi tanggul untuk menahan derasnya air sungai disekitar kami", Berulang kali sudah kami coba, tapi ternyata kami cuman segenggam pasir dan beberapa butir kerikil kecil dalam tanggul yg TANPA semen & tulang besi di dalam struktur bangunan tanggul,.... akhirnya kami jugalah yang hanyut tergilas bongkahan bongkahan batu raksasa yg mengikuti derasnya sungai, bagai tak kidung tua Bengawan Solo... yang ... akhirnya ke laut.... tanpa berkesudahan. Berawal dari "wajib" melanggar hukum kalau mau jadi "penegak hukum", sudah bukan rahasia lagi dalam setiap proses rekrutmen diberbagai institusi di negara ini termasuk yang berlaku juga di kalangan BIROKRAT pemerintahan, ketika mengikuti proses penerimaan PNS yang masih saja belum bebas dari Pungli & Suap. Apatah lagi jika mau dipromosikan dalam jabatan jabatan strategis ketika sudah sekian tahun jadi abdi negara harus menyiapkan "tumbal Mammon". Akibatnya, sudah dapat diprediksi, kelak semua investasi awal ketika "memperlancar" kelulusan dan kelolosan itu telah mendorong mereka untuk tergoda "pat gulipat" menikmati cara-cara illegal dalam aneka bentuk pelanggaran hukum demi menggapai segenggap duit dalam segenggam kekuasaaan. Lalu alasan klasik pembenaran prilaku buruk itu adalah Uang Gaji tidak cukup. Padahal parameter pendekatan "finansial" tidak dapat menjadi jaminan tidak terjadinya pelanggaran memanfaatkan wewenang dalam jabatan. Lihat saja bagaimana peningkatan penghasilan di lingkungan Kepolisian yang melebihi penghasilan prajurit TNI. Atau limpahnya penghasilan resmi pegawai dilingkungan Kementerian Keuangan dan di lingkungan direktorat pajak, atau pejabat-pejabat di Bank Indonesia. Tapi apa hasilnya?... Pungi Suap dan Korupsi masih juga "merajalela" di kalangan mereka. Kuncinya adalah diperlukan program PERTOBATAN MASSAL para abdi negara (Eksekutif, Legislatif & Yudikatif) dan keteladanan dari atasan kepada bawahan, perlu di "empowering" terus seiring dengan perbaikan ekonomi kerakyatan (bukan ekonomi makro) dan penegakkan hukum plus penindakkan hukum, sehingga Kisah Pilu Bhayangkara Idealis dapat berganti dengan kisah kebahagiaan berintegritas dalam kemakmuran yang berkeadilan. *JJJ102012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H