[caption id="attachment_54054" align="alignleft" width="229" caption="Sumber gambar: google.com"][/caption]
Kamis malam tadi, di sebuah kedai warung makan sederhana sudut pasar Mojosongo, Solo. Hujan masih rintik – rintik sehingga saya menyebutnya gerimis saat piring itu tidak beradu lagi dengan sendok yang sudah ditengkurapkan oleh tuannya. “Pinten ?, nambah tembe, tehpanas” “kalih setengah mbah” jawab penjual nasi Tangan renta itu mengeluarkan uang ribuan tiga dari sakunya, dan menyodorkan ke penjual nasi. “niki teh panase dibungkus nopo pripun” Tanya penjual nasi karena melihat teh panas di gelas masih separo. “njih dibungkus mawon” jawab si Mbah. Saya baru saja saja asyik dengan menu makan malam saat itu. Diluar gerimis masih mengajak teman – temannya menukik ke sudut pasar. Sesuap dua suap, saya merasa si Mbah di samping saya seperti ingin menyampaikan sesuatu.
Sempat saya melihat parasnya. Sekilas mengingatkan saya kepada Pram, penulis kondang itu. Dengan jenggot, rambut putih sedikit botak dan kerut di dahinya. Iba dalam hati mulai terasa setelah melihat tangan kanannya memegang tongkat.
“kira – kira umur berapa ya ni si Mbah?” tanyaku dalam hati. “kok sendirian ya?” masih dalam hati. Menu makan malam saya sudah habis gelas sudah kosong, saya membayar dan menuju motor saya. Baru saja kunci motor saya mendarat di tempatnya, si Mbah menyapaku. “Mas nyuwun sewu, kulo nunut” “Njih monggo mbah” Sambil mbatin, berarti dari tadi si Mbah mau bilang numpang. Saya menjalankan motor setelah yakin si Mbah sudah mantap duduk di belakang. “namine sinten mbah?” saya memulai obrolan. “Giyono. Koe le?” saut si Mbah. “kulo Trio mbah”. Jawab saya sambil sesekali menghindari lubang yang tergenang air di jalan menuju rumah Mbah Giyono. Obrolan diatas motor sebetulnya semakin seru, sampai lampu pertigaan yang cukup terang menghentikan obrolan kami.
“pertelon lampu niku mas belok” Mbah Giyono menunjukkan belokan kearah rumahnya. “njih mbah” jawab saya sambil menekan saklar lampu sen tanda belok kanan. “mpun mas teng mriki niku samping masjid. Mampir mas!”. Tak berapa lama dari belokan, Mbah Giyono menyuruh saya menghentikan motor karena sudah sampai depan rumahnya. “Njih mpun, mboten mbah.. maturnuwun.” tolak halus saya untuk tidak mampir karena saya harus segera pulang. Mbah Giyono tertatih menuju halaman rumahnya, tongkatnya jelas sangat membantu. Saya meninggalkan rumah Mbah Giyono, gerimis masih saja menusuk nusuk tangan saya. Maafkan saya Mbah Giyono, karena cuma bisa mengantarkan memakai sepeda motor sehingga tidak bisa menghindar dari gerimis – gerimis itu menusuk kulit keriputmu. Kapan – kapan saya tak beli Bemo. Semoga ketemu lagi untuk melanjutkan obrolan kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H