Mohon tunggu...
Trio Jenifran
Trio Jenifran Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lidah Air 411, Aspirasi Tersumbat karena Pemerintah Tak Sigap

15 November 2016   13:11 Diperbarui: 15 November 2016   14:10 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Demo 4 November 2016 yang dikenal sebagai 411, merupakan sebuah lidah air di lorong kebudayaan Indonesia. Lidah air yang kencang, deras dan jernih, yang jika dibiarkan mengalir tanpa arah akan membawa ranting-ranting kayu, pohon lapuk, akar-akar kayu dan kian ke hilir akan kian keruh yang akhirnya menimbulkan banjir di mana-mana.

Peristiwa 411 yang disebut oleh sebagian kalangan sebagai sebuah Revolusi Putih itu, adalah sebuah keindahan dari demokrasi di Indonesia. Sayang, dalam helat besar itu, tuan rumah kurang sigap, sehingga aspirasi tersumbat menjelang ke muara. Karena tersumbat, refrennya masih mendengung sampai sekarang.

Memintas sebelum hanyut, mencari sebelum hilang, pepatah bijak orang Minang itu, tak diindahkan. Mitigasi, kata orang kebencanaan, tidak dilakukan dengan baik, manajemen risikonya, tidak diterapkan sebut orang perbankan. Padahal, jika risiko dikelola, maka akan melahirkan peluang, bak air sungai yang datang dari hulu, banjir bisa dikendalikan, jika sungai dipelihara, jika saluran-saluran irigasi terawat. Banjir takkan muncul jika hutan tidak gundul. Demokrasi kita tumbuh di lahan yang hutannya gundul, ketika upaya menghijaukannya dilakukan sejak 1998, di sana sini muncul kekecewaan. Kekecewaan itu, ibarat sinyal dari tebing yang runtuh kecil-kecil, suatu saat akan meluncur berton-ton tanah, lalu musibah pun terjadi.

Itulah yang diingatkan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya di Cikeas pada 2 November 2016 lalu. Karena SBY bukan lagi presiden, maka pidato yang isinya menyentuh sisi-sisi kebudayaan itu, diabaikan. Padahal, jika satu sama lain mau menerima masukkan, apalagi dari mantan presiden, maka konfigurasi Indonesia yang indah ini takkan goyah oleh apapun.

Indonesia dibangun di atas rasa senasib, dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Meski mayoritas dalam jumlah, mereka juga mayoritas dalam ketertinggalan pendidikan. Ini bagian penting dari persoalan bangsa. Jika para pemegang kekuasaan bisa menyentuh persoalan mendasar umat Muslim, maka akan terjadi turning point yang hebat. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah aspirasi, setelah ekonomi, kesehatan dan pelayanan dasar lainnya. Bukankah tugas pemerintah itu pangkal pokoknya hanya tiga, memberikan pelayanan publik, membangun infra struktur dan meningkatkan kesejahteraan. Aspirasi politik, merupakan suplemen bagi kesehatan tubuh bangsa. Apalagi aspirasi tentang keyakinan, ini merupakan urat tunggang kehidupan umat manusia.  Tidak ada yang paling awal bagi umat Islam selain agama, buktinya tatkala lahir diazankan dan diqamatkan.

Untuk mengerti aspirasi tentang keyakinan dan akidah itu, bisa dilakukan siapa saja, asal berdiri di tempat yang netral. Sejak awal Pak SBY sudah mengingatkan, tapi kemudian malah dituduh memboncengi atau lebih keji lagi. Pertanyaannya sekarang mana tokoh yang berani bicara? Mana ketua partai yang berani mengingatkan penguasa, agar Demo 411 ditangani sesuai koridor hukum? Tidak ada. Tatkala SBY tampil mewakili mereka, kemudian malah dinilai yang bukan-bukan.

Pemimpin bangsa ini, penyelenggara negara, penegak hukum harus bisa memilah-milah. Itu dia yang disebut mitigasi, mengelola risiko,mengelola potensi konflik dengan hebat. Jangan dibiarkan jadi bola liar. Bangsa besar ini, adalah bangsa yang indah, dengan penduduk Muslimnya yang tidak suka berkelahi, yang hormat pada pemimpin dan menjaga kerukunan dengan umat beragama lainnya. Kita berasal dari beribu suku, beribu bahasa, tapi satu bangsa, nyaris tidak ada negara di dunia yang seperti kita. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun