Manusia adalah makhluk sosial. Setidaknya itu kalimat yang paling melekat. Dari ratusan paragraf pelajarn sosiologi yang pernah ku alami. Â Manusia dituntut untuk bersosialisasi dan saling menggantungkan diri. Layaknya rantai yang saling mengikat satu dengan yang lain. Begitulah hakikat manusia. Ketergantungan dan keterikatan terkadang justru membuat kita terjebak. Apalagi jika rasa itu menyangkut hati yang dimiliki. Setiap ketergantungan yang menimbulkan rasa nyaman bisa sangat berbahaya. Jika pun tidak, itu mungkin bisa membuat kebahagiaan yang luar biasa. Tentunya semua itu tak pernah sempurna.
Bahagia tak pernah sempurna, bukan tak pernah abadi. Setiap kita punya bahagianya masing-masing. Setiap bahagia yang kita miliki tak pernah sempurna. Selalu ada kata hambar, pedih, tangis yang akan silih berganti menyayatnya, membuangnya, bahkan menghancurkannya. Tapi tetap, sejatinya kita memiliki bahagia dalam diri kita. Meski sekali lagi, tak sempurna. Atau justru,pedih tangis dan hambar memang yang membuat bahagia menjadi sesuatu yang indah.
Kita tak akan pernah merasakan sejatinya apa itu bahagia jika tak pernah merasakan sedih. Setiap sedih dan bahagia ternyata saling mengisi. SIlih berganti mengisi hari-hari yang berganti. Namun tetap. Sejatinya yang ada didalam diri kita masing-masing adalah bahagia.Â
Manusia dan bahagia. Manusia yang saling berbuhungan dan menciptakan rasa nyaman bisa saling membahagiakan. Meski sekali, bahagia itu tak  sempurna. Ketika tergantung bukan lagi tujuan dan nyaman bukan lagi harapan. Manusia yang saling bergantung dan nyaman perlahan meninggalkan atau ditinggalkan. Peristiwa tersebut membuat hambar pedih bahkan tangis. Manusia berhasil tumbuh dengan bahagia yang tak sempurna dengan baik. Atau, manusia tumbuh dengan bahagia yang sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H