Mohon tunggu...
Tri Muhammad Mahesa
Tri Muhammad Mahesa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Program Studi Penerbitan (Jurnalistik)

Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Fenomena Budaya Flexing yang Sudah Menjalar di Media Sosial

2 Juli 2024   21:32 Diperbarui: 3 Juli 2024   09:06 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-mengenakan-gaun-lengan-panjang-

Dengan kemajuan dunia digital yang terus berkembang, media sosial kini bukan sekadar tontonan, tetapi sudah menjadi bagian sistematis dari kehidupan masyarakat di dunia nyata. Pengguna media sosial, atau netizen, menjalani aktivitas serupa baik di dunia nyata maupun digital. Aktivitas ini biasanya berupa unggahan gambar, video, teks, atau kombinasi ketiganya.

Baru-baru ini, media sosial seringkali dianggap sebagai tempat mencari validasi diri, di mana pengguna menunjukkan aktivitas yang disebut "flexing" untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat di dunia maya.

Psikolog Ikhsan Bella Persada menjelaskan, individu yang suka flexing memiliki kebutuhan besar akan eksistensi diri yang baru terpenuhi ketika mendapatkan pengakuan dari orang lain

Namun, perilaku pamer ini sering kali bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, sehingga menimbulkan polemik baru dalam kehidupan sosial. Saat ini, perilaku pamer kemewahan, kepemilikan, kehebatan, dan kedermawanan bukan hanya perilaku individu, tetapi sudah menjadi fenomena sosial budaya. Pamer kemewahan, yang sering dianggap sombong, terkait erat dengan hal-hal yang berhubungan dengan uang atau barang mahal yang dimiliki.

Berbagai profesi, mulai dari artis, selebriti, selebgram, YouTuber, TikTokers, pengusaha, crazy rich, profesional, dokter, influencer, aparat, ASN, mahasiswa, pelajar, dan lainnya sering memamerkan kemewahan mereka di berbagai platform media sosial. Mereka sering memiliki jumlah pengikut yang sangat banyak, mencapai jutaan.

Fenomena flexing atau pamer diri bukanlah hal baru. Flexing adalah tindakan menunjukkan kelebihan kepada orang lain. Sebaliknya, tanpa melakukan flexing, seseorang justru dianggap bohong, dengan istilah populer "No Picture Hoax". Perilaku ini bukan hanya dilakukan oleh kalangan berpunya, tetapi oleh berbagai lapisan sosial ekonomi melalui media sosial, seperti TikTok, Twitter, Facebook, dan YouTube.

Kecanggihan teknologi informasi memungkinkan berbagai kalangan sosial untuk memamerkan diri dalam berbagai hal, tidak hanya mobil super mewah, seperti Rolls Royce, Lamborghini, Bentley, Aston Martin, Koenigsegg, Ferrari, Volvo, dan BMW.

Pamer diri dapat berupa pertemuan dengan tokoh terkenal, menghadiri acara eksklusif, menikmati kuliner mahal atau unik, serta mengunggah status sebagai narasumber di acara tertentu. Tujuannya adalah pengakuan atas diri mereka.

Ilustrasi foto: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-dalam-blazer-hitam-memegang-mug-keramik-putih-
Ilustrasi foto: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-dalam-blazer-hitam-memegang-mug-keramik-putih-

Fenomena flexing di media sosial mencerminkan kebutuhan dasar manusia akan pengakuan dan penerimaan. Namun, ketika kebutuhan ini diekspresikan melalui pamer kemewahan, terutama oleh figur publik, seperti Atta Halilintar dan Steven Setiono dari kelompok Crazy Rich Surabaya, hal ini dapat menciptakan efek domino negatif.

Contoh nyata dari fenomena flexing dapat dilihat pada Atta Halilintar, seorang YouTuber terkenal, sering memamerkan gaya hidup mewahnya di channel YouTube-nya, seperti mengunjungi rumah selebriti dan pejabat untuk menunjukkan kemewahan mereka.

Selian itu, ada Steven Setiono, dari kelompok Crazy Rich Surabaya, juga sering memamerkan gaya hidup mewahnya di TikTok dan YouTube, menunjukkan liburan mewah, mobil mahal, dan gaya hidup hedonistik yang menonjolkan kesenjangan sosial. Misalnya, video Steven yang menghabiskan ratusan juta rupiah untuk liburan di resor mewah atau membeli mobil sport terbaru sering menjadi perbincangan netizen dan dapat menimbulkan kecemburuan sosial.

Meskipun flexing dapat meningkatkan status sosial dan popularitas, terutama di kalangan generasi muda yang sangat terpengaruh oleh media sosial. Hal ini juga dapat memicu perilaku konsumtif dan materialistis. Selain itu, pamer kemewahan dapat memperparah kesenjangan sosial dan memicu perasaan tidak aman serta rendah diri di kalangan yang tidak mampu mengimbangi gaya hidup tersebut.

Pengguna media sosial, terutama figur publik, harus memiliki kesadaran tinggi tentang dampak konten yang mereka unggah. Mereka harus mempertimbangkan apakah konten tersebut memberikan dampak positif atau negatif pada masyarakat. Dengan demikian, mereka dapat lebih bertanggung jawab dalam mengunggah konten yang tidak hanya menonjolkan kemewahan, tetapi memberikan inspirasi dan edukasi yang bermanfaat.

Platform media sosial juga perlu berperan aktif dalam mengendalikan fenomena flexing dengan membuat regulasi yang mendorong konten positif dan mendidik. Platform semacam TikTok, YouTube, dan Instagram dapat membuat kebijakan yang membatasi konten yang hanya bertujuan untuk pamer kemewahan dan memberikan insentif untuk konten yang berdampak positif pada masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun