Mohon tunggu...
Tri Muhammad Mahesa
Tri Muhammad Mahesa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Program Studi Penerbitan (Jurnalistik)

Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Memahami Toxic Relationship pada Remaja yang Berpacaran

2 Juli 2024   18:36 Diperbarui: 2 Juli 2024   18:42 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Toxic relationship adalah jenis hubungan yang tidak sehat, ditandai oleh perilaku yang merugikan pasangan atau diri sendiri, dan mengganggu kesejahteraan emosional, fisik, dan psikologis. Tren toxic relationship di kalangan remaja yang sedang berpacaran semakin meningkat. Fenomena ini seringkali ditandai dengan keegoisan, cemburu yang berlebihan, tekanan dan pembatasan dari pasangan, serta ketidaknyamanan dalam hubungan.

Dalam banyak kasus, pasangan tidak saling menghargai dan terjebak dalam sikap negatif yang merugikan. Hubungan yang seharusnya memberikan kebahagiaan dan dukungan malah menjadi sumber stres, tekanan emosional, dan bahkan kekerasan. Dalam bukunya, Toxic Relationship, Morgan Lee menyatakan bahwa hubungan yang tidak sehat ini ditandai oleh dominasi satu pihak, yang membuat pihak lain merasa tertekan dan tidak nyaman.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Proyeksi Penduduk di Indonesia tahun 2010-2035, jumlah remaja berusia 10-14 tahun mencapai 23.057, usia 15-19 tahun sebanyak 22.294, dan usia 20-24 tahun sekitar 21.917. Selain itu, Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada tahun 2021 mencatat 6.480 kasus kekerasan di ranah privat, dengan 1.309 kasus di antaranya adalah kekerasan dalam hubungan pacaran.

Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah kasus terbanyak kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dengan persentase 20% dibandingkan 50% untuk KDRT. Kekerasan fisik menjadi bentuk kekerasan yang paling umum sebesar 31% atau 2.025 kasus, diikuti oleh kekerasan seksual sebesar 30% atau 1.938 kasus, kekerasan psikis 28% atau 1.792 kasus, dan kekerasan ekonomi sebesar 10% atau 680 kasus.

Data ini menunjukkan bahwa toxic relationship dalam hubungan dapat menyebabkan konflik batin yang berujung pada depresi atau kecemasan mendalam, yang pada akhirnya menciptakan masalah baru. Remaja yang terjebak dalam toxic relationship seringkali kesulitan membangun kepercayaan diri dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Psikolog Primatia Yogi Wulandari menjelaskan bahwa toxic relationship sangat berbahaya terutama bagi pasangan muda atau orang tua. Dampak dari toxic relationship mencakup efek psikologis dan fisik. Secara psikologis, individu yang mengalami toxic relationship cenderung rendah diri, pesimis, dan bahkan membenci diri sendiri akibat perlakuan negatif dari pasangan.

Meskipun toxic relationship bisa dialami oleh siapa saja, remaja lebih rentan karena mereka seringkali belum mampu mengendalikan emosi mereka. Pada usia ini, pelampiasan emosi yang tidak terkendali bisa berujung pada stres, depresi, dan perilaku negatif.

Mengakhiri toxic relationship memanglah tidak mudah. Banyak yang mengalami trauma setelahnya, sulit untuk membangun hubungan baru, atau bahkan menghindari relasi baru karena dampak fisik dan psikologis yang ditimbulkan.

Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk memahami konsep cinta dalam hubungan yang sehat sebelum memulai hubungan baru. Dengan pemahaman yang baik dan positif tentang cinta, mereka dapat menciptakan hubungan yang sehat dan menghindari toxic relationship.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun