Kita semua sudah baca berita kertas keras, online dan lihat televisi, hasil perhitungan pilpres Prabowo – Jokowi = 47 plus berbanding 52 plus. Seperti, sudah penulis rasakan, aura keberpihakan rakyat Indonesia adalah menggelombang kepada Jokowi-JK.
Untung Jokowi menang, maka kesederhanaannya dianggap telah membawanya kepada kemenangan. Namun, sebaliknya jika dia kalah, maka dia mungkin akan disebut naif, karena terlalu sederhana. Culun, lebay.
Pemilih Jokowi bergerak ‘di bawah tanah,’ mengendap supaya tidak terendus oleh pendukung Prabowo yang tampaknya sangat solid. Dimanapun mereka berada, suaranya tidak mau dikalahkan. Ditambah, apa saja yang dianggap fitnah, dipolisikan. Sehingga makin sempit ruang untuk bergurau. Sense of humor menjadi barang langka dan mahal.
Rakyat was-was, pengusaha gelisah, investor takut. Itulah situasi yang penulis simpulkan sesaat sebelum pemungutan suara pilpres dilaksanakan. Rasa takut karena dipolisikan. Kecut karena tak ada ruang nyaman untuk berbeda pendapat. Was-was, karena banyak hal dikemas dengan ‘kebohongan’ dan ‘kepalsuan.’
Saudara menjadi musuh. Kawan berubah jadi lawan. Pasangan memilih beradu pantat, dari pada mengalah. Ini akibat dari setiap kata yang ‘merendahkan’ Prabowo jadi sensitif. Ujung-ujungnya, keadaan itu malah merobek-robek kerukunan.
Orang sesukses Prabowo, siapa bisa menandingi? Pensiunan jenderal bintang tiga. Pengusaha dengan kekayaan triliunan. Anak almarhum begawan ekonomi Indonesia pada zamannya. Mantan menantu mantan presiden. Sempurnalah imej tentang Prabowo. Seseorang yang berada di atas langit. Dimana dewa dan bidadari hidup dengan gemerlapnya ‘benda-benda’ surgawi.
Penulis mencoba mengkaji kembali ilmu yang diajarkan oleh Jaya Suprana, seorang pemusik dan penjual jamu tradisional itu. Ilmunya dinamakan kelirumologi. Sesuatu yang dianggap keliru atau tepat dan salah atau benar, sekarang merupakan dua bidang yang (tak) serupa dan (tak) sama. Bias, dan tentu saja membingungkan.
Prabowo mungkin (keliru) berada di dua mulut yang membahayakan hidup dan masa depannya. Mulut yang satu adalah mulut singa, mulut yang selalu mengaum untuk menunjukkan kekuasaan, menakuti lawan, namun melumat dan membunuh (karakter) nya (Prabowo).
Mulut kedua adalah mulut buaya. Ompong, tak banyak gigi, bisanya cuma mengoyak-oyak. Buaya membunuh dengan menenggelamkan (Prabowo) korbannya. Membunuh melalui kebohongan dan kepalsuan. Karena kita semua tahu, buaya bisanya menelan ayam sayur.
Rakyat, setelah pemungutan suara pilpres, membisu. Karena mereka sudah tahu hasilnya. Mereka diam, karena Jokowi telah menjadi presidennya.
Diam, (biarlah) Prabowo merendahkan Jokowi. Menutup mulut, (manakala)Prabowo mengumpat Metro TV dan The Jakarta Post. Menonton tak bergerak, di depan rencana pengerahan 10 ribu buruh dan dua ribu advokat. Mendengarkan dengan diam, curhat Prabowo ke para kiyai, tentang ‘perilaku buruk’ Jokowi. Duduk manis, diantara beredarnya isu 250 ribu pemilih palsu di Jakarta dan suara nol untuk Jokowi di Madura. Rakyat menggunakan jurus menghindar, terserah ‘kumaha maneh.’ Yang penting presiden terpilihnya adalah Jokowi.
Namun di sisi lain, secara kelirumulogi, Prabowo tidak (berani) melawan Wiranto dan si bule Amerika itu, yang menjadi saksi hidup masa lalunya. Dan mewujudkan komitmen untuk 'menikahi kembali'Â Titiek Suharto, yang telah menemaninya kampanye di sana-sini, serta mendongkrak citra dan perolehan suaranya.
Sinyal enough is enough sebenarnya sudah disampaikan oleh para pemuka agama langsung kepada Prabowo. Setidak-tidaknya, kata Din Syamsudin: "All the best – lah." Dimana menurut penulis, kalimat tersebut diantaranya berarti selamat untuk melakukan ‘landing.’ Namun yang ditangkap justru kelirumologinya, yakni (seharusnya bukan berarti) selamat bekerja atau semoga sukses jadi presiden.
SBY pun telah ‘menggulung papan quick count’ di istana dan menelepon KPU. (Sebentar lagi mantan) Presiden SBY, tentu tak akan mengingkari pilihan rakyat, dan pengakuan oleh dunia atas hasil awal dari tujuh lembaga quick count tersebut. Secara kelirumologi, langkah SBY untuk ‘tutup lapak’ ini justru dianggap upaya turut campur.
Terbentuknya koalisi permanen di DPR sekarang ini mengisyaratkan tentang perubahan strategi ‘perang badar berikutnya.’ Pertama UU MD3 sebagai perisai untuk penyelamatan diri dari panggilan KPK (apalagi Wapres Budiono pun tidak kebal hukum); kedua pemaketan pimpinan DPR, MPR, DPD merupakan perkoncoan yang bermuara pada politik balas budi. Lagi-lagi kelirumologinya, rencana tersebut dianggap sebagai mayoritas menzalimi minoritas. Padahal si minoritas tadi bersikap ‘sektarian’ (konon asal bukan demokrat)
Jokowi telah melemparkan komitmen untuk rekonsiliasi dengan Prabowo, terutama sebelum 22 Juli 2014. Ini benar-benar langkah strategis menuju enough is enough. Di sisi ini, penulis belum mendapatkan sinyal kelirumologinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H