Sebelum kita kenal sebagai PKS (Partai Keadilan Sejahtera), partai ini dibangun dengan nama Partai Keadilan (PK) tanggal 20 Juli 1998, sebagai buah dari reformasi di Indonesia saat itu. PK berbasis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) model baru, atau PKS sebagai wujud metamorfosenya, yang akhirnya disangka orang-orang ‘berafiliasi’ dengan Ikhwanul Muslimin yang berbasis di Mesir, serta memiliki kemiripan dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa di Turki. (Foto: PKS Belanda)
Ikhwanul Muslimin sangat berpengaruh di Timur Tengah, namun di Mesir, gerakan/partai ini dilarang oleh pemerintah yang berhasil menggulingkan presiden Mesir kala itu, yang berasal dari Ikhwanul Muslimin itu. Afiliasi ini menjadikan kita belajar, bagaimana timses Prabowo, termasuk diantaranya PKS, menuduh Jokowi-JK merupakan ‘agen asing.’ Sementara dirinya sendiri merupakan satu grup dengan ‘pihak asing’ di Mesir dan Timur Tengah itu. Jika dalam hal ini, yang dimaksud dengan pihak asing adalah orang atau organisasi nun jauh di seberang lautan sana. Bukan hanya berbicara tentang Singapura, Barat dan Amerika.
Partai inipun mempunyai 7.000 (tujuh ribu) kader di seluruh dunia, sehingga hampir tiap pileg menghasilkan satu kursi di parlemen.
Pada pileg 1999 PK mendapat 1,436,565 suara, atau ekivalen dengan 1,36% dari total perolehan suara nasional dan mendapat tujuh kursi di DPR, serta gagal memenuhi parliamentary treshold (ambang batas parlemen) sebesar 2 (dua) persen. Pada titik koma ini, salah seorang pendiri PK mengakui bahwa 90% pendanaan PK untuk pileg 1999 dialiri oleh partai-partai seideologi di Timur Tengah. Namun sayang PK boleh disebut ‘mati’ dengan sendirinya sebagai partai peserta pemilu berikutnya.
Kita jadi terhenyak tentu, dengan keterangan ini, karena selama kampanye pilpres 2014, timses Prabowo, beserta PKS tentu saja, mengobarkan cerita tentang adanya bantuan dana asing sebesar seratus miliar rupiah tunai melalui kapal laut. Atau ‘ditemukannya’ rekening Jokowi di luar negeri oleh sayap timses Prabowo yang lainnya, sejenak setelah hasil rekapitulasi diumumkan KPU.
Cara-cara seperti ini ternyata sangat tidak cerdas dan membodohi rakyat. Buktinya KPK yang diminta berkali-kali oleh mereka untuk memeriksa Jokowi, sampai hari ini tetap pada pendiriannya: Tidak ditemukan bukti yang cukup.
Pada 2 Juli 2003, PK ‘ganti kulit’ menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Disebut berganti kulit, karena anggota dan pemimpinnya tetap yang itu-itu juga. Metamorfose ini, sama halnya dialami secara natural oleh kupu-kupu dan ulat, harus dilakukan oleh PK/PKS untuk tetap survive sebagai partai politik peserta pemilu 2004. Sudah pasti cerita tentang PK-PKS dan PDI-PDIP berbeda jauh latar belakang pembentukannya.
PDI bermetamorfose dengan cara ‘membelah diri’ menjadi PDI dan juga PDIP, karena ada ‘turut campur’ pemerintah pada saat itu yang melakukan praktek ‘penggembosan’ secara terstruktur terhadap individu atau organisasi yang tidak segaris dengan ‘kebijakan’ pemerintah Orde Baru. Sehingga PDIP diobok-obok sedemikian rupa, dan membawa pertumpahan darah serta nyawa, terutama jika dihubungkan dengan tragedi 27 Juli 1996 (disebut Kudatuli – Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). Sejarah akhirnyapun menulis PDI tutup buku dengan sendirinya. Ironisnya, di sisi lain, PDIP pun belum menjadi ‘partainya wong cilik,’ seperti yang menjadi jargonnya, sampai kini.
Dalam sejarahnya PK dan PKS merupakan ‘partai gurem,’ mencatut istilah politisi jaman baheula. Sehingga harus berkoalisi dengan partai-partai lain untuk tetap eksis baik di DPR ataupun kabinet. Istilah koalisi pada jaman itu dinamakan stembus accord.
Dalam pileg tahun 2004, PKS meraih 8,325,020 suara, sekitar 7.34% dari total perolehan suara nasional. Maka, PKS berhak mendudukkan 45 kadernya di DPR dan berada pada peringkat keenam. Mereka berhasil mengusung 3 (tiga) orang kadernya menjadi menteri kabinet Indonesia Bersatu. Selanjutnya partai ini menambah kursi di DPR menjadi 57 pada pileg 2009, karena memperoleh 8.204.946 atau ekivalen dengan 7.88% dari suara nasional. Di kabinet Indonesia Bersatu jilid II, pimpinan SBY, mereka mendapat jatah jabatan menteri sebanyak 4 (empat) posisi.
Kenaikan jumlah kursi PKS di pileg 2009 tidak lepas dari peran serta pemilih militan mereka, yang kadangkala tidak segan-segan turun ke jalan untuk mengikuti petunjuk pemimpin partainya. Mereka terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak.
Kesuksesan PKS pada pileg 2009 tidak dilanjutkan pada pileg 2014. Pada pileg ini mereka memperoleh suara sebanyak 8.480.204, atau ekivalen dengan 6,7% total suara nasional. Sehingga di DPR mereka kehilangan 17 kursi, menjadi hanya 40 buah.
Ini menggambarkan perubahan pola pikir para pemilihnya. Belum menjadi partai yang berkuasa, mereka sudah kehilangan tempat berpijak yang menjadi garis perjuangan partai yang anti korupsi, setidak-tidaknya. Ciri kegagalan partai pejuang seperti ini terjadi dimana-mana di seluruh dunia. Karena mereka belum cukup memiliki pengalaman berkuasa, sehingga ‘suka jauh panggang dari api.’
Cerita satir terjadi di tahun 2013, saat dimana presiden PKS, Lutfi Hasan Ishaaq ditangkap karena kasus impor daging sapi di Kementerian Pertanian, di mana menterinya, Suswono, seorang kader PKS. Lutfi, Sang Ustad, akhirnya dihukum penjara 16 tahun.
Akibat kasus ini, salah seorang mantan pendiri Partai Keadilan (PK), mendesak para elit tinggi PKS untuk segera mendeklarasikan diri pembubaran PKS. Cetusnya: “Kami juga harus menanggung beban sejarah akibat dari tindakan yang mereka lakukan.”
Belajar dari Aceng M. Fikri, mantan bupati Garut yang dilengserkan dari kursi kekuasaannya karena ‘pelecehan perempuan,’ namun ia terpilih sebagai anggota DPD., Konon pemilih perempuan yang biasa mencoblosnya, telah meninggalkannya. Dia lebih banyak dipilih kaum lelaki, sejenisnya. Fenomena ini masih bercampur-aduk antara efek pelecehan ataukah efek poligami. Karena itu perlu dikaji. Begitu juga, hal-hal seperti ini, yang sekarang sedang dilakukan oleh petinggi dan mantan petinggi PKS.
Cerita di atas, mungkin menjadi pertimbangan PKS, mengapa habis-habisan membela Prabowo. Bahkan Fahri Hamzah, seolah-olah sengaja disodorkan ke Prabowo untuk menjadi umpan demi keselamatan partai, dan dijadikan tameng Prabowo untuk ‘menyeruduk’ lawan-lawan politiknya. Tak ada seorangpun, dari antara petinggi PKS yang menegur terbuka polah-tingkah Fahri ini. Padahal, dia telah terang-terangan dengan sikapnya di timses, meruntuhkan benteng pertahanan PKS, yakni ahlus sunnah wal jamaah. Bukankah, Prabowo dan Jokowi sama-sama seorang muslim, seperti mereka?
Penulis mengerti, Fahri Hamzah, ‘hanya’ anggota DPR, dan belum pernah memegang posisi kunci di pemerintahan. Sehingga tidak punya beban sosial sebagai pemegang kekuasaan. Sekalipun, kita tahu anggota DPR identik sebagai warga terhormat, tetapi banyak orang berbicara Fahri seperti seorang yang ‘tidak berpendidikan.’ Terutama terkait dengan ucapan-ucapannya yang selalu ‘menjatuhkan’ Jokowi, baik benar atau salah, dengan didampingi data atau tanpa data. Terlebih lagi, ucapan ‘sinting’nya tentang Hari Santri; dia bersikap (maaf) seperti Yahudi, musuhnya itu.
Tak ada orang di PKS yang memiliki mental dan moral selevel Fahri Hamzah. Mental 'baja' dia, mungkin seiring dengan 'syaraf malunya telah putus,' sehingga dikritisi dari sisi manapun, dia bergeming, 'unchange' istilahnya. Moralitas diapun telah dikaburkan oleh ambisi kekuasaan, sehingga 'menghalalkan' segala cara untuk mencapai tujuannya - yang penting Prabowo menang. Karena itu, jika benar, demi ‘nyawa’ PKS, patut diduga, para petinggi PKS takut partai ini mati untuk kedua kalinya. Mengapa?
Pertama, bila partai ini didanai oleh pihak asing (dari Timur Tengah), mereka wajib menyetor penambahan jumlah pemilih, anggota, kader dan kursi di DPR/kabinet. Serta, menyiapkan jalan yang mulus dan rata bagi paham atau kepentingan pihak asing tersebut masuk ke Indonesia.
Kedua, kursi di kabinet harus meningkat, melalui Prabowo sebagai presiden terpilih. Hal ini dilakukan, untuk mengimbangi kemerosotan jumlah kursi di DPR. Karena keikutsertaan mereka dalam timses telah didahului dengan kesepakatan-kesepakatan (MOU). Kedua alasan itu, tentu akan ada kaitan dengan berlanjut atau tidak, serta bertambah atau dikuranginya dana asing yang mengalir ke kas mereka. Kedekatan PKS dengan pihak asing, dibuktikan dengan seringnya pucuk pimpinan PKS hadir di Turki untuk konsolidasi internal dan eksternal. Bahkan, konon ada diantara mereka itu yang dengan bangga berhasil ‘memboyong’ cewek kulit putih ke Indonesia.
Perang dengan Jokowi berlanjut antara PKS di luar timses di satu sisi, dan dengan Mahfud MD sesama anggota timses di sisi yang lain baru-baru ini.
Sebagai seorang maha guru dan mantan ketua MK, Mahfud MD, hanya akan berbicara kepada khalayak dengan disertai data dan bukti. Tanpa itu, ia akan bagai anjing yang menggonggong di padang gurun. Di luar PKS dan timses Prabowo, apa kata Mahfud, itu yang dipercaya orang sekarang ini, termasuk tentang rekapitulasi pilpres 2014 yang dilakukan oleh PKS.
Apalagi, menurut Mahfud, sejak pilpres digelar pada 9 Juli hingga dia mundur pada 22 Juli 2014, PKS tak pernah menunjukkan data apa pun kepada dirinya atau pun tim pemenangan lainnya. Statement ini, membuat PKS membuka dua front, yakni Jokowi-Mahfud. Ya, (mungkin) demi menghindari matinya partai ini untuk kedua kalinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H