Mohon tunggu...
Tri Junarso
Tri Junarso Mohon Tunggu... Self-employed -

(1) Consultant (2) Books Writer: Corporate Governance; 7th Principle of Success; Leadership Greatness; Effective Leader; HR Leader - www.amazon.com/s?ie=UTF8&page=1&rh... (3) Software Developer (4) Assessor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilpres 2014 Usai, Bersih-bersih Dimulai

22 Juli 2014   13:48 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:36 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hingar-bingar pesta demokrasi Pilpres 2014 sudah lewat sejak setelah 9 Juli 2014. Semua orang sudah tahu Jokowi-JK mengalahkan Prabowo-Hatta, dengan selisih angka yang ‘tipis.’

Selama pesta itu, kita saksikan akrobrat para penggiat politik dan politikus di panggung demokrasi ini. Polah tingkah mereka, baik yang tenang menghanyutkan dan mereka yang ‘jumpalitan’ telah ditutup buku cerita skenarionya. Banyak ‘kamera’ telah dipadamkan, banyak ‘sutradara’ kembali ke kursi masing-masing, namun masih menyisakan beberapa kamera dan sutradara yang masih mengatur laku para koordinator peran dan aktor lapangan. Sisa inilah yang akan menjaga suhu politik pilpres di tanah air.

Berlangsungnya pesta itu, tentu tidak gratis. Tidak ada makan siang gratis, namun makan siang mereka mungkin masih disponsori. Usainya pesta menyisakan ‘bills’ yang harus dibayar. Bill atau tagihan seperti apa?

Superhebohnya Obor Rakyat yang dimotori oleh Setyardi Budiono dan Darmawan Sepriyossa telah membawa keduanya ke kantor polisi sebagai tersangka. Polri yang semula ‘abu-abu,’ karena tidak setuju Polri di bawah Kemendagri, mengikuti jejak rekannya, TNI – bernaung di bawah kemenhankam, telah menunjukkan sikapnya. Tinggal menunggu apakah bola yang bergulir di kepolisian akan membuahkan ‘gol-gol indah.’

Invoice (tagihan) pertama kali diterbitkan oleh Dahlan Iskan. Sebagai bos BUMN, dimana Setyardi bernaung sebagai komisaris PTPN XIII, Dahlan Iskan, tokoh Demokrat yang terang-terangan merapat ke Jokowi, sebelum disusul Ruhut Sitompul dan kawan-kawan, memecat Setyardi dan menggantikannya dengan Dino Patti Djalal. Cerita tentang Setyardi dengan demikian telah ditutup.

Bersikap ‘abu-abu,’ seperti halnya diperankan oleh seorang ketua parpol yang sedang menjadi pemimpin tertinggi negeri ini, jauh lebih aman daripada terang-terangan menunjukkan warna kulitnya. Banyak orang boleh berbicara itu sebuah kemunafikan, plin-plan, tidak jantan, atau apa saja, tetapi itu mungkin yang dibutuhkan untuk keamanan dan keselamatannya di masa depan. Itu pilihan hidup yang harus dihargai. Apalagi, sebagai pemimpin, ia harus menunjukkan netralitasnya.

Banyak jederal sekarang berpolik praktis, terutama selama pilpres 2014 ini. Tetapi mereka umumnya jenderal pensiunan. Jadi sangat kecil risikonya untuk dikenai copot-copotan jabatan. Contohnya Luhut Panjaitan dari Golkar menyeberang ke Jokowi, sampai sekarang tetap baik-baik saja. Bahkan jenderal bintang empat sekaliber Wiranto pun ‘diancam’ baret merahnya akan dicopot (oleh prajurit Kopassus).Kok seorang prajurit berani melawan jenderalnya? Iya, itu karena Wiranto seorang pensiunan jenderal, bukan tentara aktif. Sehingga tongkat komandonya tinggal menjadi sebuah kenangan di rumahnya yang besar dan megah itu. Untungnya lagi, karena Wiranto sudah malang-melintang di dunia politik, sehingga ‘perendahan martabat’ seperti itu ‘cing-cai wae, lah.’

Sebelum piringnya dibersihkan, tokoh-tokoh partai, diantaranya PAN (Partai Amanat Nasional) telah membersihkan piring dan bajunya sendiri. Misal, Hatta Rajasa tidak hadir di hotel Four Seasons untuk membuat rencana pemidanaan KPU jika rekapitulasi pilpres masih dilanjutkan. Amin Rais melalui anak-anaknya mengobarkan ‘perang badar’ ucapan selamat dan sukses ke Jokowi-JK sebelum pengumuman hasil Pilpress tanggal 22 Juli 2014. Abdillah Toha, salah seorang pendiri PAN, membuat surat terbuka yang mengkritisi dengan ‘pedas’ Hatta Rajasa, yang dulu sekutu dekatnya.

Partai PPP (Partai Pembangunan Bangsa) yang sempat goyang antara mendukung Prabowo atau Jokowi, baru-baru ini mewacanakan munas untuk mendukung ‘pemerintahan’ Jokowi, dan mendorong ‘istirahatnya’ Suryadarma Ali sebagai ketua umum supaya ia bisa berkonsentrasi pada kasus hukumnya. Kita tahu, dalam sejarahnya PPP selalu kalah Pemilu, dan tetap berada di pemerintahan, maka wajar jika partai ini, setelah habis-habisan di DPR mensahkan UU MD3 bersama partai-partai pendukung Prabowo, berbalik mendukung Jokowi. Kalah tentu bukan pilihan bagi mereka, kata Prabowo. Namun jika tetap juga kalah, maka pindah haluan dijadikan pilihan, tentu sah-sah saja.

Hiruk-pikuk pesta demokrasi pilpres 2014, membuat Golkar secara intern dan ektern juga hiruk-pikuk. Dimulainya gonjang-ganjing itu ditunjukkan dengan memecat Peompida dan kawan-kawan dari keanggotaan partai Golkar. Tak ayal, pemecatan ini memicu para sesepuh Golkar turun gunung. Sehingga jagad politik pilpres menjadi lebih ramai dengan pindah-pindahan, dukung-dukungan dan pecat-pecatan. Buktinya, Jusuf Kalla sempat murka dan setidak-tidaknya mengatakan: “Hari ini mereka pecat kita. Setelah tanggal 22 Juli, kita ganti pecat mereka. (....) Kalau mereka berani, pecat saya.” Terbukti, hari-hari belakangan ini, media di atas kertas keras, online dan off-line mengabarkan Jusuf Kalla dan senior Golkar pada kumpul untuk persiapan munaslub.

Dimana Fahri Hamzah, ‘Si Pelantun – Sinting’ dan politikus flamboyan, serta PKS partai naungannya berada setelah pesta usai kah? Suara mereka lenyap sebelum pengumuman hasil pilpres dilaksanakan. Tahu kan kita sekarang. Inilah realitas politik, terjadi dimana-mana, di seluruh penjuru dunia, tidak hanya di Indonesia. Mungkinkah mereka bersiap-siap cuci piring dan kirim baju mereka ke ‘Laundry Jokowi’?

Dalam sejarahnya, PKS mengatakan siap beroposisi jika kalah pemilu. Namun sejarah juga mencatat mereka akhirnya berkoalisi dengan partai pemenang pemilu, dalam bagi-bagi kursi di pemerintahan. Ketidakkonsistenan ini, tidak hanya tercermin dalam ucapan, namun juga dalam tindakan. Karena kita semua tahu bagaimana mereka berpolah-tingkah di pemerintahan SBY sebagai anggota koalisi. Untuk menjaga semangat ‘oposisi,’ supaya tidak ditinggalkan oleh pendukungnya, maka mereka ‘jaga jarak’ terhadap SBY. Oleh sebab itu, mereka sering disebut sebagai ‘anak nakal’ dalam Setgab (Sekretariat Gabungan). Apalagi mereka penggembor lengking anti korupsi, sehingga mereka tidak ingin kena noda ‘sebagian anggota pemerintahan’ SBY yang dianggap melakukan tindak pidana korupsi itu.

Untuk menyelamatkan gerbong PKS dan segenap isinya, muncullah Tif (Tifatul Sembiring), Menkominfo kabinet SBY, dengan mengatakan ketidaksetujuannya atas penundaan pengumuman hasil pilpres 2014 oleh KPU. Artinya, PKS mulai menjauhi Prabowo dan koalisi permanennya serta ‘merapatkan’ diri ke Jokowi-JK. Maka bersihlah piringnya dengan sangat mudah.

Program ‘cuci piring, cuci baju, ganti baju dan ganti kulit atau warna kulit’ sedang berjalan. Siapa aktor atas semua kejadian ini kiranya? Penulis berandai-andai, aktor dari gonjang-ganjing ini adalah ‘Takdirnya Jokowi,’ sebagai presiden terpilih dalam pilpres 2014.


*) artikel lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun