Tanpa mendahului pengumuman dari KPU, Prabowo tahu benar bahwa dia (mungkin) kalah dalam pilpres 2014 dari rivalnya, Jokowi. Dia punya tim sukses, punya jaringan informasi dan media, memiliki saluran intelijen, ada pula kecerdasannya, dan kantong dengan uang banyak.
Sebagai tentara didikan orde baru dan mantan menantu pendiri orde baru, dia sangat tahu bagaimana memakai cara orde baru untuk mendapatkan kemenangan (terlegitimasi).
Sebagai pengusaha, dan anaknya begawan ekonomi Indonesia termasyur kala itu, dia paham benar hitung-hitungan bisnis dari menang-kalah pilpres ini. Karena itu, menurutnya, kalah bukan pilihan.
Pengakuan kekalahannya bisa disimak dari berita dan ucapannya di media. Keempat ‘quick counter’ yang memenangkannya tidak bersedia membuka metoda penghitungan cepat mereka. Malah, secara ‘kurang cerdas’ salah satu diantaranya menyatakan bahwa hasil penghitungannya cuma berlaku satu hari.
Belum apa-apa, timsesnya pun sudah melempar isu untuk mengadu ke MK, jika kalah pilpres. Ini artinya, kekalahan itu sudah diketahui sejak sedetik quick count keluar. Isu ini, menjadi kontroversial, dimana dia dan timsesnya siap menang atau kalah.
Dia memiliki orang-orang yang super loyal, sehingga mau melakukan apapun supaya junjungannya menang pilpres. Keloyalan itu diantaranya diwujudkannya dalam penerbitan tabloid yang konon untuk tes pasar. Plagiator yang rela menjilat kembali ludahnya, seperti berita pemakaian penasihat dan pembisik asing, pengumpulan sumbangan kampanye pilpres, pengaburan pelanggaran HAM di masa lalu, pujian-pujian tentang kehebatan dan integritasnya, dan lain-lain yang tidak dapat satu-demi satu disebut dalam tulisan ini.
Pernyataan dan pesta kemenangannya, yang dilakukannya baru-baru ini, dinodainya sendiri dengan merekomendasi untuk pemilu ulang, eh, maksudnya penghitungan suara ulang di Jakarta dan tempat-tempat lain di Indonesia. Ditambah dengan rekapitulasi serta pengumuman pemenang pemilu yang dimintanya ditunda. Tentu saja, hal ini sangat kontradiktif dan membingungkan masyarakat bawah yang mendukunganya. Menang, namun minta supaya pemgumunan kemenangannya ditunda. Alih-alih dia menyuruh pendukungnya kumpul di KPU tanggal 22 Juli 2014 untuk mengawal pengumuman pemenang pilpres oleh KPU itu. Sehingga butuh waktu untuk persiapan salah satu organisasi pendukungnya untuk menggeruduk KPU dengan 10 ribu anggotanya.
Jika dia merasa kurang nyaman waktu SDA dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus korupsi penyelenggaraan haji, wajarlah itu. Karena efek dominonya akan cukup dahsyat. Dalam pemberantasan korupsi, dia (kurang) mendukung KPK. Apalagi dia dikenal bersih dan berintegritas tinggi.
Pesta sudah hampir usai, seperti biasa KPK akan menyajikan hidangan penutup dalam hingar-bingar pesta itu. Sebagai contoh kecil, Hadi Purnomo dicokok pada saat merayakan hari pensiunnya. Budiono, Wakil Presiden, ‘digandengnya’ untuk bersedia menjadi saksi di pengadilan tipikor untuk kasus Bank Century. Ade Swara, (hampir mantan) Bupati Kerawang, keluarga dan kerabatnya, dijemput paksa di rumahnya yang cukup jauh dari Jakarta. Siapa lagi menyusul? Kita lihat saja, karena sudah ada di daftar tunggu KPK, baik mereka yang masih/pernah duduk di kementerian, penyelenggara negara, atau pengusaha yang berlindung di balik jaket partai.
Ini soal waktu. Yakni, waktu dimana para pelapor menunggu momentum tepat untuk mengirim info ke KPK. Saat rakyat jelata yang menjadi kurban semburan lumpur bangkit. ‘Timing’ dimana saingan politik dan barisan sakit hati mendorong munas dan pemilihan DPP baru di dalam partai pendukung Prabowo.
Dia akan ditinggalkan oleh pendukungnya. Ini takdirnya di depan mata. Dan Prabowo tahu itu. Politik, secara pragmatis, hanya mengenal kesamaan kepentingan. Karena itu, tidak akan pernah terwujud yang namanya koalisi permanen, apalagi dalam kerangka oposisi. Partai yang pernah memerintah sudah pasti tidak ingin jauh dari ring kekuasaan (inner circle of the power, istilahnya), sekalipun harus mengorbankan muka atau harga diri. Dibanding harus menunggu minimum sepuluh tahun ke depan untuk berkuasa lagi. Dapur, sex, hedonisme, dan kekuasaan (mungkin) jauh lebih prioritas daripada idealisme.
Pemimpin otoriter biasanya ambisius. Mereka haus hormat, pujian, medali, gelar dan kekuasaan. Mereka juga dikelilingi pendamping yang setia menjilat dan melayaninya setiap saat, karena pemimpin seperti itu anti-penolakan. Namun mereka tidak selalu ingin dikelilingi perempuan sebagai simbol ‘buah’ kekuasaan/kepemimpinannya.
Prabowo (mungkin) bukan pemimpin otoriter. Namun roh tentara dalam darahnya, tidak menghindarkannya dari sifat-sifat militerisme. Loyalitas, kekuasaan, dan 'anti' demokrasi. Karena setidak-tidaknya, dia telah dua kali menyampaikan di depan media tentang cerita lamanya yang berkaitan dengan peluangnya untuk melakukan kudeta tahun 1998. Ini menunjukkan, bahwa dia, di dalam kesadaran ataupun di bawah sadar, memiliki keinginan untuk memegang kekuasaan dengan ‘kekerasan.’
Selain daripada itu, dia dalam pidato sebelum pilpres ini, berbicara akan mengembalikan kemurnian UUD 1945 karena dianggap UUD sekarang kebablasan dalam menerapkan demokrasi. Padahal, kita tahu buah pencapresannya adalah dari UUD yang berlaku sekarang.
Uang yang telah ‘dihambur-hamburkannya’ dan harga diri akibat kekalahannya dalam pilpres akankah mendorongnya untuk nekad menghancurkan pemilu demokratis ini? Penulis yakin tidak akan dilakukannya.
Namun, (mungkin) dia akan membiarkan KPU ‘terintimidasi’ dengan pengerahan puluhan ribu massa pendukungnya. KPU juga akan dibingungkannya dengan rekomendasi penghitungan suara ulang. KPU pun akan ‘dipecahbelahnya’ melalui permintaan penundaan pengumuman rekapitulasi hasil pilpres. Ini belum termasuk Presiden, MK dan mantan presiden ‘dipaksanya’ turun tangan untuk meredam ‘kegalauannya’ dalam menyikapi kekalahan dalam pilpres ini. Dimana Bawaslu sekarang berdiri, penulis yakin pembaca telah mengetahui keberadaannya.
Ular akan menggigit tatkala terusik, namun bila seekor naga yang terganggu hidup dan perasaannya, kepada pundak dan lengan siapa ia harus menaruhkannya? Mungkinkah Amerika?
Jokowi boleh menyiapkan teks 5 menit pidato kemenangannya. Karena dia yakin (telah) menang pilpres. Baginya penghitungan suara ulang atau pemungutan suara ulang, diotak-atik seperti apapun hanya akan menggoyang sedikit prosentase kemenangannya. Maka dia merasa tidak perlu menyiapkan pidato kekalahan. Namun, apakah dia sudah menghitung perasaan kalah Prabowo, yang seorang pensiunan jenderal berbintang tiga, pengusaha sukses dan kaya raya, anak begawan ekonomi Indonesia Raya, serta mantan menantu mantan presiden? Penulis yakin Jokowi akan memilih untuk mendatangi Prabowo dan merangkulnya, sebagai bentuk keseriusannya untuk melakukan rekonsiliasi. Tidak cukup baginya hanya ketemu SBY, Habibie dan para pemuka agama. Ketemu Prabowo pun saat ini sangat-sangat penting. (Mungkin) hanya dia yang mampu menenangkan kegalauan hati Prabowo. Kita tunggu jam-jam ke depan menuju 22 Juli 2014 itu. Dan kita akan tahu dimana Prabowo akan berlabuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H