Mohon tunggu...
Tri Junarso
Tri Junarso Mohon Tunggu... Self-employed -

(1) Consultant (2) Books Writer: Corporate Governance; 7th Principle of Success; Leadership Greatness; Effective Leader; HR Leader - www.amazon.com/s?ie=UTF8&page=1&rh... (3) Software Developer (4) Assessor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golkarpun Hampir (Di)Bubar(kan)

29 Juli 2014   21:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:54 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suara Golkar adalah Suara rakyat. Itulah jargon partai ’kolot (tua)’ ini. Jadi artinya rakyat ‘harus’ ikut apa kata Golkar, entah baik atau buruk, ber-‘maslahat atau mudarat.’ (Tidak apriori) kasihan rakyat Indonesia, karena cuma jadi tunggangan partai ini, dalam terjemahan sepihak dari penulis. “Kumaha aing wae, lah (Gimana saya aja),” kata mereka.

Buktinya, bulan Mei 2014 silam, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham berbicara bahwa partainya bergabung dengan poros Partai Gerindra, “Demi kepentingan bangsa Indonesia,” setelah gagal berkoalisi dengan PDIP. Namun sebaliknya, "Mereka banyak permintaan," ujar Jokowi.
Masyarakat sudah mendengar, bahwa platform koalisi Jokowi, setelah pileg (pemilu legislatif) 2014, tanpa bagi-bagi kursi di muka, baik menteri maupun bakal calon wakil presiden. "(Konon), jika bergabung mesti ada power sharing. Ya kami tolak saja," tutur presiden terpilih ini.

Suara Golkar adalah suara rakyat, jelas-jelas sikap yang arogan. Mereka dengan jargon itu melecehkan rakyat, yang menjadi pemilihnya. Selain itu, rakyat adalah 'kerbau dungunya,' yang dicokok hidungnya dengan tali tambang, untuk dibawa kemana-mana mereka mau. Padahal penguasa republik ini adalah rakyat, bukan Golkar. Karena menangkalahnya Golkar dalam pileg dan pilpres merupakan pilihan dan hak mutlak (bukan hanya hak prerogatif) rakyat Indonesia.

Tanpa rakyat pemilih, Golkar bukan siapa-siapa. Jika dianalaogikan dengan bisnis barang dan jasa, rakyat (konsumen) adalah raja. Golkar, sebagai penyedia barang dan jasa itu, bukanlah raja, tetapi vendor/supplier, yang perlu mencari margin keuntungan dari sebuah transaksi politik.

Oleh karenanya, tidak ada salahnya Golkar, melalui JK, mempertimbangkan dengan mendalam untuk merubah jargon ini, jika mau tetap survive. Setidak-tidaknya berbunyi “Suara Rakyat adalah Suara Golkar.” Sama seperti yang dilakukan Jokowi belakangan ini, menjaring pendapat masyarakat untuk menyusun kabinet Indonesia Hebat (The Great Indonesia, dalam bahasa Inggris kurang lebihnya seperti itu)

Kita memaklumi, dalam sejarahnya, tanggal 20 Oktober 1964, Angkatan Darat membidani kelahiran Golkar (Golongan Karya), pada waktu itu mereka tidak mau menyebut dirinya sebagai sebuah partai, untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah kejatuhan Soekarno dan digantikan oleh Soeharto, maka pemerintahan berubah dari Orde Lama menjadi Orde Baru. Istilah ini tentu saja diciptakan oleh para pemimpin Orde Baru, untuk membedakan ‘cita rasa’ pemerintahan pada saat itu. Apalagi Soekarnoisme masih sangat kuat pengaruhnya. Sehingga Orde Baru melakukan ‘pembersihan’ baik di instansi pemerintahan, militer, kepolisian, partai, organisasi dan individu. ‘Operasi pembersihan’ ini dikenal sebagai de-Soekarnoisasi. Pada saat itu, banyak orang disiksa, dipenjarakan dan dibuang.

Di dalam kesempatan lainnya, Orde baru mengumandangkan bahwa politik adalah ‘perbuatan kotor,’ maka dilakukanlah program de-politisasi. Karena itu kita kenal istilah “Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK),’ sebagai salah satu ujung tombak depolitisasi di bidang pendidikan.

Golkar menang pileg 1971, diikuti kemenangn-kemenangan mereka di pileg berikutnya tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. ‘Golongan’ ini menang karena berada di pangkuan Soeharto yang mematok kebijakan Dwifungsi ABRI (dimana anggota ABRI dikaryakan dalam kursi pemerintahan serta DPR/MPR, partai, dan organisasi-organisasi), monoloyalitas PNS (Pegawai Negeri Sipil), ‘pembersihan oposisi,’ ‘pemberangusan media,’ dan lain-lain.

Namun mereka mulai mengalami kekalahan setelah rakyat bosan dan muak (jika boleh dibilang begitu) dengan ‘otoriterianisme’ model Golkar, berbarengan dengan munculnya reformasi dan kejatuhan Soeharto tahun 1998.

Pada pileg 1999, Golkar kalah dari PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), yang mengalah menjadi partai baru, untuk meninggalkan ‘jas lama’ bernama PDI (Partai Demokrasi Indonesia), dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari total suara nasional, turun sebanyak 0,86%.

Karena pada saat itu, rakyat bersikap “yang penting bukan Golkar,” maka menanglah PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri, dalam pileg jaman reformasi itu. Tetapi ini bukan berarti PDIP adalah partai pilihan rakyat yang sesungguhnya. Di balik kemuakan rakyat pada Golkar, mereka bersimpati pada Megawati yang teraniaya (mungkin mirip dialami Jokowi dalam pilpres 2014).

Terbukti, kemenangan PDIP tidak disusul dengan terpilihnya Megawati sebagai presiden RI saat itu. Di titik ini PDIP pun gagal meyakinkan rakyat pemilihnya.

Naiklah almarhum Abdulrahman Wahid (sering dipanggil Gus Dur), seorang cendikiawan muslim, sebagai presiden, menandai era baru dalam kehidupan demokrasi di negeri ini. Berbeda dengan PKI yang dibubarkan dan paham komunis dilarang melalui Ketetapan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), Golkar hampir dibubarkan oleh Gus Dur tahun 2001, mengikuti nasihat para pembisiknya.

Celakanya, Gus Dur justru jatuh lebih dahulu, melalui sidang istimewa MPR tanggal 23 Juli 2001, dan digantikan oleh Megawati, karena kasus Sultan Brunei Darussalam dan Yanatera Bulog. Pada saat genting itu, Gus Dur tidak mau menghadiri SI MPR itu.

Dikisahkan, tahun 2001 itu, Golkar menjadi histeria massa. Muncul dimana-mana cemoohan dan tuntutan pembubarannya. Massa menganggap Golkar merupakan bagian dari Orde Baru, yang bisa menghambat jalannya reformasi. Puncaknya, di beberapa kota di Jawa Timur, massa membakar kantor partai yang didominasi warna kuning itu.

Di Jakarta, ribuan mahasiswa hadir dalam diskusi "Refleksi Perjuangan Reformasi", di Hotel Indonesia (HI), Minggu tanggal 15 Juli 2001. Para mahasiswa itu mendorong Presiden Wahid, yang konon disebut salah satu capres pada pilpres 2014 sebagai 'presiden buta,' segera membubarkan Partai Golkar, lalu mempercepat Pemilu tanpa partai bergambar pohon beringin itu. Di hotel ini, para mahsiswa itu, menjanjikn Gus Dur gelar kehormatan "Pemimpin Besar Revolusi (PBR)," sebuah janji yang belum terwujud sampai Gus Dur 'pergi' meninggalkan kita.

Isu pembubaran Golkar, sebetulnya juga telah dikemukakan pada rapat “Tim Sebelas” pada tahun 1999. Namun, gagasan itu terhenti di tengah jalan karena kalah voting 2 melawan 9.

Tim Sebelas di antaranya terdiri dari Nurcholis Madjid, Miriam Budiardjo, Adi Andojo, Andi Mallarangeng, dan Adnan Buyung Nasution. Menurut Buyung saat itu, Golkar memang pantas dibubarkan mengingat kesalahan dan dosanya di masa lalu yang telah mendukung dan melegitimasi demokrasi Pancasilanya Soeharto yang notabene diktator, otoriter dan represif. Namun ia menambahkan bahwa ide pembubaran Golkar saat itu tidak memiliki dasar moral dan dasar hukum.

Dari secarik cerita di atas, kita diajak merenung, mengapa KPU memilih Bang Buyung, panggilan akrab Adnan Buyung Nasution, sebagai pengacaranya, untuk menghadapi gugatan koalisi Merah Putih ke MK. (Mungkin) karena Golkar, pemilik suara terbanyak di dalam koalisi Merah Putih itu, menjadi motor penggerak gugatan tersebut.

"Siapapun yang kalah, pasti menggugat ke MK," kata Ical, mempersepsikan sikap Jokowi-JK sama dan identik dengannya, yang belum tentu benar. Gugatan itu dibuat guna menganulir keputusan KPU memenangkan Jokowi-JK pada pilpres 2014, melalui pengumuman tanggal 22 Juli 2014 itu.

Partai Golkar, yang bermetamorfose dari golongan menjadi sebuah partai peserta pemilu pada tahun 1999, memenangi pileg 2004, dengan memperoleh sebanyak 24.480.757 suara atau ekivalen dengan 21,58% dari total suara nasional.

Senasib dengan PDIP, Golkar tidak mampu mendudukkan kadernya kembali sebagai presiden kala itu, karena rakyat takut rezim pemerintahan ala Orde Baru bangkit lagi (mirip dengan disahkannya UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) tanggal 15 Juli 2014 oleh DPR hasil pileg 2009, karena PDIP tampaknya ‘mau berkuasa sendiri,’ setelah menang pileg tanggal 9 April 2014 lalu, dengan perolehan suara sebesar 23.681.471 suara atau ekivalen dengan 18,95 % dari total suara nasional. Mereka lupa, bahwa kemenangannya semata-mata akibat Jokowi Effect, seeorang mantan Gubernur DKI Jakarta yang bermodalkan kesederhanaan dan kemampuannya ‘menaklukkan benang kusutnya’ Jakarta).

Tersebutlah Soesilo Bambang Yudoyono (SBY), terpilih sebagai Presiden dalam pilpres 2004 berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK). SBY-JK terpilih menjadi pasangan presiden dan wakil presiden karena merupakan ‘korban kesemena-menaan’ penguasa pada saat itu.

SBY dimusuhi Megawati setelah keluar dari kabinetnya, dan membentuk partai sendiri bernama Partai Demokrat (PD). Sekalipun partai ini kalah dalam pileg 2004, namun ‘dendam’ Mega masih dibawa sampai hari ini tulisan ini dibuat. Sehingga PDIP tidak bisa berkoalisi dengan PD dalam pilpres 2014.

JK mencalonkan diri sebagai wakil presiden di tengah ‘kedigdayaan’ Akbar Tanjung sebagai Ketua Umum Golkar yang mencalonkan diri sebagai presiden saat itu. JK menang, dibarengi kekalahan Akbar Tanjung baik sebagai calon presiden maupun pencalonan kembali sebagai Ketua Umum Golkar. Cerita selanjutnya, muncullah JK sebagai Ketua Umum Golkar periode 2004 – 2009, sebelum digantikan Aburizal Bakrie, karena Golkar kalah dalam pileg 2009.

Pada pemilu legislatif 2009 lalu suara Partai Golkar turun ke posisi kedua di bawah Partai Demokrat. Dalam Munas VIII di Pekanbaru, Aburizal Bakrie terpilih sebagai ketua umum menggantikan Jusuf Kalla. Sebagai pemimpin baru partai berlambang beringin ini, Aburizal bertekad akan kembali membawa Golkar memenangi pemilu. Dia menargetkan Golkar menjadi pemenang pertama pemilu legislatif 2014.

Dan kita semua sudah tahu, bahwa Golkar kalah dalam pileg 2014, duduk manis di urutan kedua mengikuti PDIP. Pada pemilu legislatif 2014 lalu itu, Golkar meraup 18.432.321 suara atau setingkat 14,75% dari total suara nasional.

Lebih tragis lagi, rakyat bukan hanya tidak cocok dengan Golkar sebagai partai pilihan utamanya, tetapi mereka juga tidak menghendaki Ical (Aburizal Bakrie) mencalonkan diri sebagai presiden dalam pilpres 2014. Dia (Ical) bukan hanya terlempar, namun juga disia-siakan oleh pemilihnya, sehingga tidak ada partai yang berani mengambil risiko berkoalisi dengannya, baik sebagai calon wakil presiden, apalagi sebagai calon presiden RI. Di titik ini, Ical boleh dibilang ‘tamat.’ Dia boleh saja menjadi pengusaha nasional yang sukses, namun di balik itu, nama dia terbukti merupakan 'kartu mati' Golkar untuk berhitung dengan partai lain.

Yang paling mengagetkan, tidak ada inisiatif dan sikap legowo dari para pemimpin Golkar saat itu, untuk mengorbitkan pemimpin di luar nama Ical, menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Mereka lebih rela menjadi 'underdog party' (atau partai 'kambing congek') di dalam koalisi Merah Putih. Di tubuh koalisi ini, Prabowo (dari Gerindra) dan Hatta (dari PAN) dimajukan sebagai capres dan cawapres. Kita tahu, Gerindra berada di urutan ketiga, dan PAN perolehan suaranya jauh lebih kecil dari Golkar.

Penulis benar-benar tidak habis mengerti, bahwa kepemimpinan partai ini mengedepankan egoisme dan pengecut (atau kerennya disebut 'hipokrit'). Padahal, katanya, keputusan pencalonan nama kosong (atau istilah wong ndesonya sebagai 'bumbung kosong') melalui mekanisme rapim Golkar tanggal 28 April 2014 baru lalu.

Kini, Golkar sedang menghibur diri di tengah hingar-bingarnya pesta kemenangan Jokowi sebagai presiden terpilih, dan JK,seorang warga Golkar yang teraniaya, sebagai wakil presiden terpilih untuk periode 2014 – 2019. "Golkar harus siap berada di luar pemerintahan, untuk menjalankan fungsi check and balance," ujar Akbar Tanjung pada satu kesempatan.

Benarkah? Apakah Bang Akbar, begitu dia dipanggil, sudah mempertimbangkan nasib anggota Golkar yang menggantungkan hidupnya dari kedudukannya, baik sebagai anggota kabinet atau pengusaha yang memiliki kedekatan hubungan dengan lingkaran dalam kekuasaan? Mari kita berpikir lebih jernih. Jangan sampai para pemimpin Golkar itu mengulangi kembali kegagalan politik 'bumbung kosong.'

Munas Golkar, kata kubu Ical-Akbar, akan dilakukan pada tahun 2015. Ini mengundang reaksi para elit tinggi Golkar itu sendiri. Tafsir-menafsir jadwal munas Golkar, antara Oktober 2014 dan Januari 2015, akan memanasi hari-hari menjelang pelantikan Presiden-Wakil Presiden tanggal 20 Oktober 2014. Ini bukan hanya hak Ical-Akbar di satu sisi, namun juga hak JK-Agung di sisi lain.

Sebagai Wakil Presiden terpilih, JK akan memiliki legitimasi lebih tinggi untuk menentukan arah visi dan politik Golkar ke depannya, dibanding Ical, yang ‘cuma’ seorang Ketua Umum. Sama seperti saat dia terpilih sebagai Wakil Presiden tahun 2004, yang akhirnya mendudukkannya sebagai Ketua Umum Golkar. Jika Ical keukeuh untuk menyelenggarakan munas tahun 2015, maka perpecahan Golkar tak bisa dihindari.

Golkar pernah hampir dibubarkan oleh presiden yang berkuasa saat itu, namun bisa saja partai ini bubar karena peluruhan dari dalam dirinya sendiri, menyusul partai sejawatnya, PDI pimpinan Soerjadi, yang telah lebih dahulu tutup buku karena ditinggalkan rakyat pemilihnya.


*) artikel lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun