Mohon tunggu...
Tri Junarso
Tri Junarso Mohon Tunggu... Self-employed -

(1) Consultant (2) Books Writer: Corporate Governance; 7th Principle of Success; Leadership Greatness; Effective Leader; HR Leader - www.amazon.com/s?ie=UTF8&page=1&rh... (3) Software Developer (4) Assessor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi: Saya (Tidak) Perlu ‘Koalisi Permanen' di DPR

3 Agustus 2014   01:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:34 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Katy Perry, perempuan penyanyi lajang asal Amerika baru-baru ini bicara bahwa sekalipun lajang ia tidak ingin status itu menghalanginya menjadi seorang ibu. Ia mengungkapkan keinginannya memiliki anak walau belum memiliki pasangan, karena ia yakin dapat tetap mewujudkan impiannya itu dengan cara yang nonkonvensional. "Saya tidak perlu seorang pria," ujar Katy, "Ini 2014! Kita hidup di masa depan. Saya bukannya antipria. Tapi kan ada cara lain untuk punya anak kalau memang tidak punya pasangan," ucapnya lagi.

Apa kaitan Katy Perry dengan judul artikel ini? Kaitannya adalah sebagai sebuah analogi, bagaimana mewujudkan sebuah keinginan punya anak tanpa pasangan (Katy Perry) dan program pemerintah tanpa koalisi (Jokowi).

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) baru-baru ini mengingatkan Joko Widodo, sebagai presiden terpilih, tentang pentingnya dukungan partai politik dalam pemerintahan dan parlemen. Melalui Ketua Fraksi PKB DPR Marwan Ja'far, mereka menyampaikan ‘concern’ bahwa ketua umum partai pengusung belum diajak berbicara soal komposisi menteri di pemerintahan. Ini merujuk pada kabinet ‘online’ yang sedang digarap Jokowi sekarang ini. Kabinet Online adalah susunan kabinet yang terdiri dari orang-orang atas usul masyarakat lewat media internet (online).

Marwan meminta pemerintah yang akan berkuasa mengakomodasi dukungan yang sudah diberikan partai politik, terutama selama pelaksanaan pilpres 2014. Pada titik ini, penulis merasa, PKB agak ‘lebay,’ karena terlalu dini mengkhawatirkan kebijakan Jokowi tentang ‘koalisi tanpa syaratnya.’

Namun, penulis setuju dengan ungkapan bahwa "Pemerintah membutuhkan dukungan partai politik di legislatif dan eksekutif,” baik dalam bentuk koalisi atau suara di DPR. Karena jika tidak, pemerintahan akan mandeg, terutama jika dikaitkan dengan pengesahaan anggaran negara (APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

Demokrasi di Indonesia tidak sama dengan negara sedemokratis Amerika Serikat, begitupun Jokowi tidak sama dengan Obama. Namun dia bisa belajar, bagaimana Obama mengalami ‘deadlock’ dengan Congress (DPRnya Amerika) untuk mengesahkan anggaran belanja negara Oktober 2013. Sekalipun dia merencanakan hal-hal baik di dalam RAPBN (Rencana Anggaran dan Belanja Negara)nya itu, tetapi karena tidak menjaga kerukunannya dengan Partai Republik di Congress, maka niat baik itu ‘tumbang’ di tengah jalan. Ujung-ujungnya, rakyatlah yang paling dirugikan.

Pada saat itu, hampir seluruh kantor pemerintah di Amerika tutup total, namun tidak mengalami kelumpuhan. Karena tak seorangpun ‘diperbolehkan’ membuka kas buat belanja untuk operasional kantornya. Kedua pihak saling menyalahkan, baik Congress-Republik ke Demokrat atau sebaliknya (The deadlock has shut down wide swaths of the federal government. House of Representatives Speaker John Boehner said Obama refused to negotiate, while House Democratic Leader Nancy Pelosi and Senate Democratic Leader Harry Reid accused Republicans of trying to hold the president hostage over Obamacare).

Dalam ungkapan Jawa konon disebutkan “ngono ya ngono, nging aja ngono,” artinya sekalipun tujuan kita baik, namun jika cara-cara kita ‘kurang baik (kurang disukai orang lain),’ maka akan gagal juga. Singkatnya, tujuan yang baik, harus didukung cara mencapainya yang baik pula.

(The shutdown, has raised questions about Washington's ability to carry out its most essential duties, and forced federal employees to face coming days without pay. It would also slow U.S. economic growth, was significantly harming day-to-day military operations and undermining their ability to monitor threats, and preventing some cancer patients from receiving cutting-edge treatment. Poll indicated that 24 percent of Americans blamed Republicans for the shutdown, while 19 percent blamed Obama or Democrats. Another 46 percent said everyone was to blame). - Reuters

Celakanya, di negeri ini, pembahasan anggaran, di masa lalu, identik dengan bagi-bagi duit. Sehingga memunculkan kasus ‘travelling cheque,‘ Kasus ESDM-Sutan Bathoegana, dan lain-lain.

Pada kisah di atas, kita belajar bagaimana Obama telah melupakan sejarah kesuksesannya sebagai senator yang berhasil ‘menyatukan’ dua kubu, Partai Demokrat pengusungnya, dan Partai Republik saingannya. (That July, Obama gave the keynote speech at the 2004 Democratic National Convention in Boston, shooting to national prominence with his eloquent call for unity among “red” (Republican) and “blue” (Democratic) states. In November 2004, Illinois delivered 70 percent of its votes to Obama (versus his rival Keyes’ 27 percent)).

Kita mengerti, Golkarnya Ical-Akbar, melalui Idrus Marham, Sekjen Partai Golkar, menyatakan partainya tak berniat bergabung dengan pemerintahan Jokowi, karena Golkar telah resmi mengikat perjanjian koalisi bersama Prabowo-Hatta. Sikap tersebut sah-sah saja, dan Jokowi boleh juga mengatakan ‘ora patheken,’ mirip dengan ungkapan Soeharto, waktu krisis 1998 dulu. Namun di tengah-tengah itu, ada JK-Agung yang sedang mengusahakan munas Golkar di bulan September 2014, serta menariknya bergabung ke kabinet Jokowi.

Jokowi sebagai presiden terpilih dan negarawan perlu mempertimbangkan masukan dari PKB, dalam arti lebih luas. Sebab, program strategis pemerintah membutuhkan dukungan parlemen. Dalam bidang legislasi, pemerintah juga harus berunding dengan Dewan Perwakilan Rakyat, apalagi untuk pengambilan putusan atas APBN.

Selain itu, tips dari Katy Perry juga mengandung kecerdasan intelektual, yakni hari ini (2014) adalah tahun masa depan. Jokowi bisa mewujudkan impian/programnya dengan cara yang nonkonvensional, jika tidak punya pasangan/koalisi. Salah satunya, dengan melalui jaringannya di netizen/online, dengan cara menampung aspirasi rakyat langsung. Ini juga akan efektif untuk menggiring keberpihakan parlemen (DPR) padanya. Sama seperti yang dilakukannya dengan Kabinet Online itu.

*) artikel lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun