Sampai hari ini, hiruk pikuk ‘penyeberangan’ partai-partai di dalam koalisi merah putih belum ada yang masuk ‘jaring.’ Golkar yang dimotori (Jusuf Kalla dan) Agung Laksono, seperti tidak menunjukkan taringnya, tidak berbuah secara berarti. Padahal mereka termasuk sudah berusaha super keras supaya tidak ‘terlindas’ roda keretanya Ical-Akbar.
Tokoh politik sekaliber Agung Laksono tentu memiliki targetnya sendiri ketika menggeser posisinya ke arah Jokowi. Di beberapa kesempatan, ia menyampaikan bahwa dirinya lebih fokus untuk terpilih sebagai ketua Partai Golkar ketimbang duduk di kursi menteri. Apalagi, dia sudah kenyang bekerja sebagai menteri. Jika benar itu maunya, maka energi yang terkumpul dan masih ‘panas’ sekarang ini mesti dijaga supaya tetap tinggi temperaturnya, karena kesempatan untuk menuju terwujudnya munas Golkar pada bulan September 2014 makin dekat. Momentum itu penting, dan harus terwujud, mengapa? Jika akhir-akhirnya munas Golkar mundur sampai Januari 2015, otomatis kemenangan ada di tangan Ical-Akbar, yang diperolehnya tanpa harus berkeringat.
Ceritanya, setelah mereka ‘kalah’ dalam gugatannya di MK, yang keputusannya dibuat setidak-tidaknya tanggal 22 Agustus 2014, goro-goro berikutnya adalah di ruang sidang DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) melalui pembentukan pansus pilpres 2014. Strategi ini dimungkinkan, karena koalisi mereka masih sangat kuat di lembaga tinggi itu. Sehingga amat mudah untuk melanjutkan kesuksesan mereka serupa dengan pengesahan UU MD3 beberapa waktu lalu.
Bilamana, pansus gagal mencapai kuorum, atau alasan lain, skenario dilanjutkan dengan pemboikotan sidang umum MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) untuk melantik Jokowi tanggal 22 Oktober 2014. Dalam event ini, munas Golkar September 2014 tinggal menjadi sebuah kenangan, jika gagal dilaksanakan.
Di dalam sidang umum MPR dan disaksikan oleh MA (Mahkamah Agung) singkat cerita pelantikan Jokowi berjalan sesuai konstitusi, katakanlah begitu, sejarah akan mencatat bahwa pelantikan tersebut ‘cacat’ atau tidak sempurna, karena tidak dihadiri anggota-anggotanya secara bulat. Akibat ada pemogokan atau pemboikotan. Berita ini akan menguntungkan para pemboikot, yang konon anggota-anggota legislatif dari PKS. Sehingga mereka aman dari ‘tuntutan pertanggungajawaban’ oleh para stakeholder-nya, akibat penurunan jumlah suara dalam pileg 2014, penurunan jumlah anggota DPR ditambah kursi kosong menteri di dalam kabinet Jokowi.
Pada titik ini saja, menanglah mereka di dalam percaturan politik negeri ini. Kemenangan itu bisa berarti juga kemenangan koalisi merah putih.
Suka atau tidak suka, kita harus hargai kerja keras tanpa henti timses-timkumnya Prabowo. Dicaci, diolok-olok karena salah hitung, salah ketik, salah persepsi, dan lain sebagainya, bagi mereka bukan halangan. Situasi ini sebaiknya diwaspadai oleh Jokowi. Takutnya energi rakyat berbalik ke kubu Prabowo. Istilahnya, tidak ada usaha, sekecil apapun, yang sia-sia ('Each effort earns' atau 'Sweat pays off').
Konon Tuhan tidak tidur. Prabowo pun tidak tidur. Namun, sebaliknya jika Jokowi ‘tidur,’ sudah pasti ‘gubuk dan hartanya akan habis’ dirampok. Masih ingat ungkapan ‘Rampoklah rumah tetanggamu yang sedang terbakar’? Penulis yakin Jokowi tidak mengingini 'rumahnya' terbakar.
Memang benar pula adanya ungkapan tentang ‘Tidak ada makan siang gratis.’ Sekalipun Jokowi menerapkan kebijakan ‘koalisi tanpa syarat,’ bukan berarti haram bagi partai-partai pendukungnya untuk bicara syarat dan kondisi setelah pesta usai. Setidak-tidaknya ada 2 (dua) kondisi lain selain munas Golkar yang perlu dicermati.
Pertama, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) baru-baru ini mengingatkan Joko Widodo, sebagai presiden terpilih, tentang pentingnya dukungan partai politik dalam pemerintahan dan parlemen. Melalui Ketua Fraksi PKB DPR Marwan Ja'far, mereka menyampaikan ‘concern’ bahwa ketua umum partai pengusung belum diajak berbicara soal komposisi menteri di pemerintahan. Marwan meminta pemerintah yang akan berkuasa mengakomodasi dukungan yang sudah diberikan partai politik, terutama selama pelaksanaan pilpres 2014.
Kedua, kepada media, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Max Sopacua menegaskan partainya menjadi bagian koalisi merah putih bukan untuk mencari kekuasaan. Menurutnya, Partai Demokrat bergabung di koalisi merah putih untuk menjalankan kehormatan keputusan partai. "Kami sudah berkuasa selama 10 tahun. Kami tidak mencari kekuasaan," kata Max, Minggu 3 Agustus 2014. Sekalipun ucapan Max tidak setulusnya benar, apalagi jika dilihat dari kaca mata politik yang sarat dengan kepentingan yang di dalam koalisi merah putih, didahului dengan penandatanganan kesepakatan (MOU).
Pernyataan Max ini mengindikasikan bagaimana Partai Demokrat melalui presiden SBY yang menjadi ketum dan ketua dewan pembinanya, secara sangat merendahkan diri (humbleness atau lebih jeleknya adalah humiliation) mencoba merapat ke Megawati sampai dengan detik-detik terakhir minggu ini.
Sudah beberapa kali SBY membuka pintu komunikasi dan Megawati pun bergeming. Begitulah terjadi selama bertahun-tahun, sejak 2004, hingga detik ini. Sekarang yang kita harapkan adalah respons positif dari Megawati.
Berkaitan dengan Wikileaks, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membantah terlibat dalam kasus suap pencetakan uang kertas Indonesia di perusahaan Australia, Note Printing Australia, serta memasang badan untuk Megawati. "Keputusan, kebijakan pengawasan, dan kewenangan mencetak uang termasuk di Australia itu ada di Bank Indonesia, bukan pada presiden dan pemerintah," kata SBY.
Alhasil, bukan Megawati keluar dari ‘gua tempat pertapaannya,’ namun juru bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Eva Kusuma Sundari, mengatakan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri tidak akan memberikan klarifikasi terkait dengan pemberitaan Wikileaks. Apalagi, kata dia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah membantah kabar dari Wikileaks tersebut.
Situasi ini, bagi siapapun, bukan hanya SBY dan Partai Demokrat, menciptakan rasa tidak nyaman. Penulis menyebutnya sebagai ‘Mega Effect.’ Mega Effect mungkin bisa diidentikkan dengan 'reluctance' (= unwillingness = keengganan)
Tidak ada upaya dari Megawati untuk melakukan rekonsiliasi demi kepentingan partainya, Jokowi dan rakyat Indonesia yang mendambakan perdamaian serta peningkatan kesejahteraan dari para pemimpinnya, terutama dari presiden Jokowi kelak.
Merujuk pada kabinet ‘online’ yang sedang digarap Jokowi sekarang ini, masyarakat berharap ini bukan menjadi eforia baru, atau kehirukpikukan yang mengalihkan perhatian Jokowi sebagai seorang pemimpin, pada potensi masalah jangka sangat pendek ini. Sebagai catatan, Kabinet Online adalah susunan kabinet yang terdiri dari orang-orang atas usul masyarakat lewat media internet (online).
Jokowi sudah seharusnya memikirkan tugas-tugasnya sebagai presiden transisi, bukan melulu gubernur DKI Jakarta. ‘Pesta’ untuk DKI Jakarta sudah usai untuknya, dan akan dilanjutkan oleh Basuki, wakilnya. Dia sendiri sebaiknya menyiapkan karpet merah baru untuk perjalanannya sebagai presiden RI, yang memiliki tantangan lebih besar serta tidak sama dengan tantangan sebagai seorang gubernur.
Jokowi bukan boneka, apalagi bonekanya Megawati. Jokowi pun punya Jokowi Effect yang jauh lebih hebat dari ‘Mega Effect.’ Jokowi Effect itu sebuah efek sentrifugal, yang mengalirkan energi dan sinergi untuk setiap orang yang mengaku sebagai anak negeri ini. Selamat datang Presiden Jokowi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H