Mohon tunggu...
Tri Junarso
Tri Junarso Mohon Tunggu... Self-employed -

(1) Consultant (2) Books Writer: Corporate Governance; 7th Principle of Success; Leadership Greatness; Effective Leader; HR Leader - www.amazon.com/s?ie=UTF8&page=1&rh... (3) Software Developer (4) Assessor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ekstremnya Kepemimpinan Indonesia

27 Agustus 2014   05:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:25 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita-berita terkini Indonesia membuat catatan sendiri tentang polah-tingkah para pemimpin negeri ini, terutama bagaimana mereka mempertontonkan sikapnya terhadap paham ekstremisme. Tersebut salah satunya adalah membiarkan isu ekstremisme menjadi bola liar, terutama berkaitan dengan ISIS. Pembiaran ini tetap dilakukan oleh Tifatul sebagai pemimpin tertinggi Kem-kominfo, sekalipun kekhawatiran rakyat tersebut telah mencapai skala nasional.

Kedua, orator demo (anonim-bagai kepemimpinan tanpa pemimpin) bertindak ekstrem dengan cara mendorong masa pendukung Prabowo untuk melintasi pagar kawat berduri polisi di depan gedung MK dan menggembok gerbang KPU. Kepemimpinan tanpa pemimpin ini, membuat penegak hukum berada pada posisi dilematis, bagai menepuk angin, terutama bilamana terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki. Apalagi, sesuatu tersebut adalah ancaman separatisme seperti yang dilakukan dalam demo dukungan kepada Prabowo, dengan mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Aceh Peduli Keadilan (AMAPK). 'Apabila MK tidak adil, Aceh pisah,' dan ada juga tertulis, 'MK tidak adil, GAM bangkit.'

Ali Mochtar Ngabalin politisi Golkar, timses Prabowo-Hatta, ikut memanasi situasi dengan berkata bahwa apabila MK tidak memenuhi permintaan pemilu ulang, maka Indonesia akan berpotensi kericuhan."Supaya tidak ada perpecahan di dalam negeri, (MK) harus batalkan itu pemilu. Kalau tidak, kurangi 21 juta suara," ucapnya.

Pernyataan lebay tim Hukum Prabowo-Hatta berikutnya adalah dari Maqdir Ismail. Konon, keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh permohonan Prabowo-Hatta atas pelaksanaan pilpres 2014 menyisakan luka yang tak bisa disembuhkan.

Ketiga, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fahdli Zon dan Mantan Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen menilai secara ekstrim, sebagai biadab, terhadap tindakan Polri pada massa yang melintasi pagar kawat berduri dengan menggunakan Unimog, tatkala mereka mendemo MK. Ekstremnya, karena Fahdli Zon menganggap pagar kawat berduri polisi sebagai akar masalah kericuhan itu sendiri.

Keempat, pemimpin yang berusaha mengalahkan kompetitornya di luar arena pertandingan, (mungkin) dapat dikategorikan berperilaku ekstrem. Seperti telah dilakukan oleh Koalisi pengacara masyarakat dengan mendatangi Fraksi Gerindra, di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), guna meminta permohonan dibentuknya panitia khusus (Pansus) pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2014. Pengacara itu dikomandoi oleh Alamsyah Hanafiah, salah satu tim kuasa hukum Prabowo-Hatta. Mereka juga meminta penundaan pelantikan Joko Widodo sebagai presiden periode 2014-2019. "Kita terima di fraksi (Gerindra) dan kita akan membantu menyalurkan ke Komisi II," kata Martin Hutabarat, Anggota DPR Fraksi Gerindra, di Jakarta, Jumat 22 Agustus 2014.

Di tempat lain, Tim hukum Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, Habiburohman menyatakan, salah satu perkara yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yakni persoalan keabsahan Joko Widodo saat mencalonkan presiden periode 2014-2019. “PTUN itu terkait keabsahan proses pencalonan Jokowi menjadi capres, yaitu keabsahan pengajuan surat cuti saat menjadi Gubernur DKI," kata Habib di Jakarta, Senin 25 Agustus 2014.

Tidak cukup dengan jalur hukum, timses Prabowo mengambil jalan lainnya. “Paling proses politik," kata Juru Bicara Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Tantowi Yahya di Jakarta, Kamis, 21 Agustus 2014. Salah satu proses politik yang sudah diwacanakan adalah Pansus Pilpres DPR.

Ekstremnya tindakan para pemimpin ini diwakili oleh Habiburokhman, tatkala mengaku tak legowo dengan hasil putusan Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Kamis, 21 Agustus 2014.


Iniselaras dengan ucapan juragannya, Prabowo Subianto. "Saya disebut tidak legowo tidak masalah," ujar Prabowo di Bandung, Selasa 19 Agustus 2014. Jika hasil putusan MK tidak sesuai dengan harapannya, masih ada jalan lain yang akan ditempuh. "Kita juga akan menempuh lewat PTUN. Kekuatan politik kita masih sangat kuat, di DPR RI dan DPRD seluruh Indonesia juga kita kuat," tutur Prabowo.

Kelima, ekstremisme bisa terjadi jika pemimpin ‘membenturkan’ Penguasa pada saat itu dengan rakyatnya. Pengasuh Pondok Pesantren Al Amien Ngasinan Kediri, Kiai Anwar Iskandar berharap Mahkamah Konstitusi cermat dan netral dalam menyikapi sengketa Pemilu Presiden yang diajukan Prabowo Subianto. Dia menambahkan, setiap pelanggaran yang dilakukan secara sistemik ataupun terstruktur, wajib diganjar pemungutan suara ulang (PSU). "Jadi, kalau sampai MK tidak menjatuhkan putusan pemilihan suara ulang berarti, lembaga itu cacat di mata masyarakat," kata Anwar, Rabu 20 Agustus 2014.

Keenam, kepemimpinan ekstrem juga disajikan oleh pihak-pihak yang berperkara di pengadilan tipikor Jakarta. Ekstremnya adalah pencari keadilan berusaha memenangkan sidang dengan bertindak di luar hukum. Bertha, notaris yang kerap membantu mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin untuk mengurus surat-surat terkait dengan perusahaan, mengaku mendapat pesan dari Maya Suroso. Pengakuan ini diungkapkan Bertha dalam sepucuk surat yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam persidangan Anas pada Senin 25 Agustus 2014. Maya memperingati Bertha agar tidak hadir sebagai saksi dalam persidangan Anas. Konon, jika dia hadir dalam persidangan Anas, akan dibuntuti. Perilaku ini mirip kisah mafioso Al Pacino di Amerika.

Ketujuh, para pemimpin MK, sekalipun diantara mereka pernah menjadi tokoh politik pada partai pendukung Merah Putihnya Parbowo, secara ekstrem berani melawan tekanan politis dan psikologis. Dalam putusan MK Kamis tanggal 21 Agustus 2014, permohonan yang diajukan tim Prabowo-Hatta ditolak seluruhnya. MK menilai dalil permohonan tersebut tidak terbukti di persidangan, sehingga tidak ada satupun dalil Prabowo-Hatta yang diterima Mahkamah.

Sekalipun KPK-nya sukses sebagai superbody, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja bukan berarti boleh menilai bahwa selama ini kinerja badan pengawasan pemerintah seperti Inspektorat Jenderal (Itjen), BPK, BPKP tidak efektif menjalankan tugasnya. Penilaian ini bisa berwarna ekstrem karena tindakan Adnan Pandu (mungkin) kurang santun, dengan mengatakan instrumen pengawas lainnya tidak efektif. Apalagi, jika yang diassess adalah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), lembaga tinggi negara yang tingkatannya di atas KPK. Kesantunan ini penting, supaya pengalaman Adrianus Meliala, anggota Kompolnas, yang kritikya tentang 'ATM Perwira Tinggi Polri' dibalas dengan kriminalisasi oleh Bareskrim Polri, tidak terulang lagi.

Kedelapan, suka atau tidak suka, Hatta Rajasa telah mengambil sikap ekstrem ‘berseberangan’ dengan partnernya (Prabowo) dalam menyikapi kekalahannya dalam sidang MK tentang sengketa pilpres 2014. Cawapres, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengajak semua pendukungnya untuk menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) demi menjaga kedamaian dan persatuan bangsa. "Hindari perpecahan sesama warga bangsa. Perkuat kebersamaan, apa pun latar belakang kita," ujar Hatta.

Kesembilan, pemimpin besar dan bersahaja sekelas presiden terpilih Jokowi, meluangkan waktunya bagi bawahan di level terendah seperti Putri. Putri Rizki Arlita, nama lengkapnya, mendapat kehormatan dari Joko Widodo (Jokowi) hadir di pernikahan mereka Minggu 24 Agustus 2014.
Bahkan Jokowi bersedia menjadi saksi saat akad nikahnya dengan Diponegoro. Mirip kisah Paus Katolik Francis, yang bersedia menelepon seorang gadis, setelah mendapat sms darinya meminta tolong.

Sebaliknya, tindakan ektrem pamer kekayaan telah ditunjukkan anggota DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019, pada saat pelantikannya Senin 25 Agustus 2014. Ini mungkin menoreh luka pada batin rakyat. Mereka disebut ekstrem, karena tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat yang mereka wakili diantaranya pedagang kaki lima (PKL) Tanah Abang, yang sering mengalami gusuran.  Anggota DPRD DKI Jakarta tersebut salah satunya dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Abraham Lunggana (Haji Lulung), yang mengaku memiliki lebih dari 5 (lima) mobil mewah. Maka dari itu, katanya, adalah hal biasa ia membawa mobil Lamborghini dua pintu, senilai Rp 20 miliar dan jeep Rubicon sekaligus. Dan memarkirkannya di depan lobby gedung DPRD DKI Jakarta, sehingga menjadi pusat tontonan warga. Ektremisme ini tampaknya akan mengundang 'ektremisme' lainnya, diantaranya pemeriksaan nomor mobil, kepemilikan, pajak kendaraan, pajak penghasilan, dugaan korupsi dan cuci uang, dan sebagainya. Kita tunggu kejadiannya beberapa saat ke depan.

*) artikel lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun