Mohon tunggu...
Tri Indah Sakinah
Tri Indah Sakinah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Ilmu Hukum

Criminal law enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pengesahan RUU Perampasan Aset: Suatu Urgensi Bila Negara Serius Memberantas Korupsi

26 Oktober 2023   00:45 Diperbarui: 26 Oktober 2023   01:54 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Badan Legislasi DPR RI , Senayan, Jakarta, 21 Juli 2023

Kejahatan ekonomi kian hari semakin canggih dan kompleks, hal ini menjadi tantangan bagi hukum dan regulasi di Indonesia saat ini. Meskipun ada beberapa instrumen hukum yang ada, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, namun modus kejahatan tersebut dapat dilakukan oleh mereka dengan cara-cara canggih, akan tetapi sayangnya dalam penegakan hukumnya dalam menangani kasus tersebut tidak pernah berubah.  Kasus yang cukup menarik sebagai pemantik dalam artikel ini, bak gunung es yang meleleh telah memperlihatkan banyaknya kasus kasus pejabat publik dengan peningkatan harta yang tidak wajar dan tidak dapat dijelaskan sumbernya. Sebagai contoh kasus RAT yang telah menjadi sorotan publik, bermula dari terungkapnya harta kekayaan tak wajar RAT dengan kejanggalan harta yang dimilikinya dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) maupun dari penghasilannya sebagai pejabat di kementrian keuangan yang mengawali kasus gratifikasi 1,3 miliar. Sebenarnya, selain RAT, ini hanya sebagian kecil dari banyaknya kemungkinan kasus lain yang belum terungkap ke publik .  Perihal hal tersebut,dapat dikatakan kekayaan yang tidak wajar atau tidak sah dapat disebut sebagai (illicit enrichment).  Saat ini, Indonesia belum mengatur ketentuan pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak sah (illicit enrichment). Artinya, masih adanya kekosongan hukum terkait dengan ketentuan kriminalisasi terhadap pejabat publik yang memiliki kekayaan yang tidak wajar.

Mengingat asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali dalam hukum pidana, menjadikan illicit enrichment tidak dapat dikriminalisasi karena kekosongan hukum  yang menjadikan kekayaan harta pejabat publik yang fantastis meskipun sumbernya patut dicurigai sepanjang tidak ketahuan bahwa harta tersebut bisa jadi berasal dari tindak pidana, tidak dapat dipidana karena undang-undang di Indonesia saat ini masih belum mengakomodir terkait illicit enrichment.  United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) memberikan penjelasan mengenai pengertian illicit enrichment dalam pasal 20 menyatakan " a significant increase in the assets of a public official that he or she can not reasonably expleain in relation to his or her lawful income."  Dapat dimaknai sebagai Peningkatan aset dari pejabat publik yang tidak mampu menjelaskan pendapatan baik dari gaji maupun diluar gaji (setelah pelaporan kekayaan). Terkait hal ini,  pengaturan Illicit enrichment yang diatur dalam pasal 20 UNCAC perlu ditindaklanjuti dalam menyiapkan langkah prioritas legislasi. Instrumen yang dapat diterapkan dengan adanya  Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset) yang dapat menjembatani kriminalisasi illicit enrichment.

Arah RUU Perampasan Aset

RUU Perampasan Aset hingga saat ini tidak kunjung dibahas Pemerintah dan DPR sejak diusulkan pada 2012, Meskipun sudah masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2023 sebagai bagian dari usulan pemerintah. RUU Perampasan begitu sangat penting menjadi payung hukum untuk menyita aset koruptor.  Konstruksi sistem hukum pidana di Indonesia belum menempatkan penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana sebagai bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan di Indonesia.  Poin penting hal dalam RUU perampasan aset mencakup hal-hal yang belum diatur dalam UU Tipikor atau UU TPPU.  Rancangan Undang-Undang perampasan aset menggunakan pendekatan konsep Non- Convition Based Asset Forfoiture (NCB) sebagai kebijakan kriminal. Sebelum itu, secara umum ada dua jenis pendekatan hukum yang digunakan secara internasional terhadap hasil tindak pidana dan sarana yang digunakan yaitu perampasan aset tanpa pemidanaan melalui jalur perdata (Non- Convition Based Asset Forfoiture) dan Hukum Pidana (criminal Forfeiture).

Dalam draft RUU perampasan aset telah mengimplementasikan pendekatan action in rem atau benda. Pada perampasan (in rem) dimaknai merupakan tindakan yang menjadikan benda sebagai objek tujuan atau fokus, bukan terhadap orang (in personam) atau  bagian dari tindak pidana terhadap orang. Perampasan aset (in rem) menjadi solutif dalam perampasan aset, hal ini dilatarbelakangi karena mengingat adanya hambatan tersulit yang nyata ketika  pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat diadili di pengadilan karena telah melarikan diri (fled of jurisdictions) atau meninggal dunia. Proses penuntutan dalam peradilan pidana tidak akan mungkin dilakukan ketika hambatan-hambatan di atas terjadi, dan negara dipastikan gagal untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi (asset recovery).

Perlu diingat bahwa pelaksanaan perampasan aset tidak bertujuan untuk menghilangkan proses hukum pidana sama sekali, namun perampasan (in rem) ini hanya mengejar objek aset atau harta kekayaan hasil kejahatan itu sendiri terlepas pembuktian dari kesalahan (personal culpability) dan mens rea seorang terdakwa sebelum dapat menyita aset dari terdakwa tersebut.  Hal ini semata-mata untuk mencapai tujuan perampasan (in rem) yaitu mengembalikan dan memulihkan kerugian negara akibat kejahatan yang dilakukan. Dengan ini, RUU Perampasan Aset diharapkan dapat menjerakan koruptor mengingat kondisi penuntasan kasus korupsi tidak membuat mereka jera bahkan setelah mereka dihukum penjara. Sejatinya bahwa Koruptor lebih takut dimiskinkan, maka dari itu pengesahan RUU perampasan aset ini akan menjadi bukti keseriusan negara dalam memberantas korupsi.

commodum ex injuria suan non habare debet

pelaku tidak boleh mendapatkan keuntungan apapun dari perbuatan jahatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun