Oleh: Tri Handoyo
Lastri ditemani oleh Mahesa, pulang ke kampung halamannya. Kampung terpencil yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan. Hujan tangis mewarnai pertemuan itu. Apalagi setelah Lastri tahu bahwa ayahnya telah meninggal dunia, akibat sakit parah setelah dikeroyok dan juga karena menanggung rasa bersalah.
Lastri menjatuhkan diri terduduk di atas lantai dan menutupi muka. Ia tidak menangis keras-keras, akan tetapi dari pundaknya yang bergoyang-goyang dan dari celah-celah jari tangan yang basah tahulah Mahesa bahwa gadis itu sangat berduka. Lastri kemudian berusaha menguasai perasaannya, mengusap-usap air mata di pipinya dengan punggung tangan, dan kemudian berpaling kepada Mahesa sambil berusaha tesenyum.
Tujuan utama gadis itu pulang kampung adalah untuk memperkenalkan kekasihnya itu kepada keluarganya. "Kenalkan, ini Cak Mahesa, salah seorang guru di padepokan!" katanya di depan semua anggota keluarga dan para tetangga yang hadir.
Mahesa tersenyum sambil memberi hormat. Diam-diam ia makin kagum akan sikap Lastri, yang tabah, memiliki semangat yang luar biasa, serta sikap dan gaya bicaranya tenang dan apa adanya, tanpa dibuat-buat.
Setelah cukup berbasa-basi, seorang tetangga menceritakan awal dulu Lastri menghilang. "Hanya setan yang dapat menculik Lastri!" demikian keterangan dari Juragan Bejo. "Gadis itu tahu-tahu lenyap dari dalam kamar!"
Berita hilangnya Lastri karena diculik setan menggemparkan seisi desa. Warga pun dengan suka rela berusaha mencari dengan berbagai cara.
Sebaliknya orang-orang yang bersimpati kepada Lastri mengatakan, "Aneh sekali, Lastri memang gadis pemberani, akan tetapi ia sama sekali tidak mempunyai kepandaian silat. Siapa gerangan yang telah menolongnya, kalau bukan orang yang sangat sakti seperti seorang wali! Ya, hanya seorang wali yang dapat menolongnya!"
Warga kampung maklum bahwa rumah Juragan Bejo selain berpagar tinggi juga dijaga dengan ketat oleh para tukang pukul.
"Si penolong sakti itu mungkin Sunan Kalijaga. Orang sakti yang namanya bahkan lebih tinggi dari pada puncak Gunung Semeru!" Dalam kata-kata terakhir itu terkandung kekaguman orang-orang terhadap wali berdarah Jawa itu. Setiap fenomena yang mengagumkan memang selalu dikaitkan dengan sosok wali tersebut.
Mahesa dan Lastri hanya tersenyum mendengar cerita orang-orang desa yang lugu itu.
***
Niat Ayu Lastri pulang kampung selain karena rasa rindunya kepada keluarga dan memperkenalkan Mahesa kepada mereka, yang tak kalah penting adalah untuk menuntut balas dendam kepada Juragan Bejo. Sewaktu masih di padepokan ia sudah mengutarakan rencananya itu kepada Mahesa.
"Aku akan membantumu!" janji Mahesa.
"Ini urusanku pribadi, aku tidak ingin menyeret orang lain dalam urusan ini!"
"Apa aku termasuk yang kamu anggap orang lain itu?" tanya Mahesa.
"Bukan begitu! Cak Mahes selama ini aku anggap sebagai dewa penolongku! Itu hutang budi yang tidak akan mungkin bisa aku tebus, jadi aku tidak ingin berhutang budi lebih banyak lagi!"
"Kalau aku tagih hutangmu, kamu ingin menebusnya?"
"Ya..?"
"Bersedialah jadi istriku! Itulah satu-satunya cara untuk melunasi hutang budimu!"
Lastri tersipu malu dan ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Iya, tentu aku bersedia! Berapa kali aku katakan itu!"
"Nah, apa aku bisa tinggal diam jika calon istriku akan menghadapi bahaya? Bahayamu adalah bahayaku juga! Apapun yang akan terjadi, kita hadapi bersama!"
Petang harinya kedua pasangan kekasih itu mendatangi rumah Juragan Bejo. Mereka mendapat informasi dari seorang pembantu perempuan bahwa Juragan Bejo dan anak buahnya sedang berada di tempat kerja.
"Di mana tempat kerjanya?" tanya Lastri.
"Tempat kerjanya di Pesanggrahan Seribu Kembang. Juragan Bejo adalah ketua keamanan di situ. Pulangnya biasanya besok pagi!"
Lastri yang sudah tidak sabar segera mengajak Mahesa pergi menuju pesanggrahan yang dimaksud. Pesanggrahan yang menyediakan rumah makan, penginapan dan panti pijat itu hanya sebagai kedok bisnis sesungguhnya, yakni pelacuran dan perjudian. Tidak banyak yang tahu bahwa tempat itu sebetulnya adalah milik Ki Demang Wiryo.
Begitu menginjakkan kaki di pintu gerbang, Lastri langsung menanyakan kepada seorang penjaga bahwa ia mencari Ki Bejo.
"Ada keperluan apa mencari juragan?" tanya penjaga itu sedang pikirannya menduga bahwa gadis itu mungkin akan mencari pekerjaan. "Apa Mbakyu sudah ada janji untuk bertemu?"
"Saya punya urusan pribadi dengan Juragan Bejo!" jawab Lastri, "Dan saya ingin sampaikan langsung kepadanya!"
Penjaga itu memandang penuh selidik kepada Lastri dan Mahesa secara bergantian, kemudian ia menyuruh seorang temannya memanggil Sang Juragan.
Tidak berselang lama, seorang penjaga berlari kecil keluar dari gedung rumah makan. "Kalian disuruh masuk!" katanya setelah dekat. "Mari ikuti saya lewat sini!"
Mereka melewati jalan setapak di tengah taman di samping gedung rumah makan, menuju sebuah bangunan terpisah yang rupanya adalah kantor keamanan. Terdengar alunan suara gamelan dari ruang lain yang menerobos melalui jendela. Ki Bejo duduk berselonjor di kursi panjang sambil menghisap rokok klobot mahal. Ia masih santai dengan sikap seperti itu ketika penjaga yang mengantar kedua tamu itu sudah sampai di situ.
"Ini orangnya yang mencari Juragan!"
Lastri masih tampak tenang ketika melihat wajah Ki Bejo yang tidak banyak berubah. Semua bayangan buruk yang dulu menimpahnya kini kembali muncul.
"Siapa kalian?" Ki Bejo mengangkat kepalanya dari sandaran, "Ada keperluan apa mencari saya?"
"Kamu masih ingat saya?" tanya Lastri dengan nada dan wajah dingin.
Dua orang penjaga keamanan yang berada di ruang itu berdiri melihat sikap Lastri yang mereka anggap kurang ajar. Ki Bejo mencoba mengenali wajah itu sambil mengambil posisi waspada. Seolah naluri mereka mengatakan ada ancaman bahaya.
"Siapa? Saya rasa kita belum pernah ketemu!"
"Saya Lastri!" potong gadis itu cepat, "Saya mau minta kamu melunasi hutangmu!"
"Hutang? Ha..ha.., apa kamu waras?"
"Aku adalah Ayu Lastri, yang dulu pernah nyaris kamu perkosa dan mau kamu bunuh!"
"Ha..ha..ha..!" Ki Bejo terkekeh-kekeh mendengar itu, "Aku ingat sekarang! Hm.., kamu semakin cantik sekarang! Bagaimana kalau..!"
Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Lastri sudah melancarkan pukulan ke arah kepala, yang ternyata mampu dielakan oleh Ki Bejo dengan baik. Namun pukulan kedua ternyata tepat mengenai sasaran dan membuat lelaki itu terjungkir dari kursinya.
Pendekar bernyali naga berada dalam tubuh gadis muda itu. Cepat sekali, tidak sesuai dengan tubuhnya yang kelihatan lemah lembut, ia melakukan serangan dengan gesit serta mengandung tenaga yang amat dahsyat. Ia menggerakkan tangannya memukul ke arah kepala dan kakinya menyapu dengan kecepatan kilat merobohkan dua penjaga. Ia mengirim pukulan dan tendangan berantai dengan jurus-jurus maut. Pertempuran diruang yang agak sempit itu berlangsung sengit.
Mendengar keributan, belasan orang penjaga segera berhamburan datang dan mengepung lokasi. Mereka heran ada dua anak muda yang berani membuat keonaran di tempat itu. Tiga orang yang berada di dalam ruangan, termasuk Ki Bejo, sudah terkapar sambil mengerang kesakitan.
Ki Bogel, tangan kanan Juragan Bejo, diam-diam mengakui kehebatan gadis itu, ia lalu mengambil keputusan untuk memberi hukuman kepadanya. Ia menggenggam golok di tangan kanan. Melihat gadis itu keluar melewati pintu dan menerjangnya, ia membiarkan sampai tendangannya melayang sudah sangat dekat, lalu tiba-tiba ia menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke depan, mencoba menangkap kaki, dengan pengerahan tenaga dalamnya sementara tangan kanannya mengayunkan golok ke arah leher. Terdengar seruan kaget dari kedua pihak.
Lastri kaget sekali saat kakinya tergetar dalam pertemuan dengan tangkisan Ki Bogel sampai seluruh tubuhnya ikut tergetar. Akan tetapi, Ki Bogel juga bukan main kagetnya ketika dalam keadaan seperti itu, tanpa disangka-sangka sama sekali, tangan kiri gadis itu tiba-tiba sudah memukul pergelangan tangan kanannya yang memegang golok dan sekaligus dapat merampas golok itu dari tangannya.
Merah padam wajah Ki Bogel. Golok kebanggaannya dapat terampas dari tangan, benar-benar merupakan hal yang amat memalukan. Ia harus mengakui bahwa gerakan gadis itu sangat mahir, akan tetapi perampasan pedang tadi terjadi karena ia tidak menyangka sama sekali dan karena ia sudah memandang remeh terhadap gadis belia itu.
Lastri kembali melancarkan tendangan. Serangan yang bahkan bagi Ki Bogel justru membahayakan bagi si penendang sendiri, maka Ki Bogel tidak menyia-nyiakan kesempatan baik untuk menghajar dan membuat jera gadis nekat itu. Tangan kirinya menyambar dari bawah dengan maksud menangkap kaki yang menendang untuk kemudian didorong supaya gadis itu terbanting jatuh.
Akan tetapi begitu tangan lelaki ini menyentuh alas kaki Lastri, dengan kaget ia terpental mundur karena pada saat itu juga tanpa disangka-sangka sama sekali Lastri dapat memutar kaki lainnya yang langsung menendang muka. Serangan itu sama sekali tidak terduga, maka tanpa dapat Ki Bogel hindarkan, mukanya telah didorong kuat dan cukup membuatnya terhuyung-huyung. Tercetak alas kaki yang bercampur tanah di wajahnya.
Ki Bogel boleh mengunggulkan dirinya sebagai jagoan yang paling ditakuti di Pesanggrahan Seribu Kembang, namun menghadapi Lastri ia tidak ada artinya sama sekali. Andai kata wakil ketua keamanan itu menggunakan golok saja, ia masih akan repot dan takkan dapat mengalahkan gadis bertangan kosong itu, apa lagi sekarang ia sudah kehilangan goloknya, jagoan yang galak dan beringas itu menjadi makin tak berdaya.
Mahesa masih diam menonton. Ia memang berani bersikap demikian karena ia sudah tahu pasti bahwa penjaga-penjaga itu bukanlah lawan Lastri. Dari gerakan tiga orang pertama ketika betempur tadi tahulah Mahesa bahwa mereka hanya lagaknya saja hebat, pada dasarnya tidak memiliki kepandaian berarti.
"Dia murid Benteng Nusa!" terdengar suara orang berteriak. "Bukankah kau murid Benteng Nusa?"
"Oh murid Arum Naga ya? Kalian... kalian orang munafik!" tiba-tiba saja Juragan Bejo sambil merangkak berteriak dalam ketakutannya. Ia berusaha berdiri. Makiannya ini ternyata tepat mengenai sasaran, memukul kelemahan Mahesa.
Mahesa meloncat dengan kedua tangan dikepal keras dan matanya seakan-akan hendak mengeluarkan api. Ia akan menerima dan masih dapat menahan diri dimaki apa saja, akan tetapi makian munafik merupakan pantangan baginya. Dalam anggapannya, tidak ada sifat yang lebih rendah dari sifat munafik.
"Apa kamu bilang?"
"Munafik..! Gurumu saja tinggal serumah dengan orang asing tanpa menikah...," Baru saja sampai di situ Ki Bejo bicara, mendadak tubuhnya terlempar jauh, lalu terbanting ke atas tanah dan dari mulutnya menyemburkan gumpalan darah, setelah itu jatuh pingsan.
Para penjaga yang berjumlah belasan itu terkejut bukan main. Kalau tadi menyaksikan sepak terjang gadis itu saja sudah membuat mereka merasa ngeri, ini yang laki-laki ternyata jauh lebih mengerikan lagi. Mereka semua berdiri mematung dan hanya bisa melongo.
Lastri dan Mahesa berjalan keluar dengan tenang. Pelajaran buat orang-orang sombong itu dirasa sudah cukup. Hutang sudah terbayar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H