Mengetahui bahwa lelaki yang minta tolong itu adalah 'Tukang Pukulnya' Raden Kusno, membuat lima orang yang berada di situ cukup dibuat keheranan.
"Ada apa, Guk Tanjung?" tanya Raden Kusno.
"Aku melihat setan.., Den! Setan Ki Blandotan Kobra!" jawabnya dengan mimik muka tegang. "Arwahnya bangkit dari kubur, pasti mau balas dendam!"
Nini Jailangnak Si Nenek Siluman, yang saat itu sedang mengawasi rumah Raden Kusno dari atas pohon, menyimak kegaduan di bawah.
'Kenapa ini tidak terpikirkan olehku?" kata Nenek Siluman dalam hati. Timbulnya inspirasi itu sangat menggembirakannya. 'Baiklah, aku akan bangkitkan mayat Blandotan Kobra!' Ia segera melesat di antara ranting-ranting pepohonan menuju makam umum yang tidak jauh dari situ.
Kuburan Ki Blandotan terpisah agak jauh dari makam umum. Dekat rumpun bambu yang rimbun. Hanya ditandai sebatang kayu sebagai nisan. Tanpa identitas apapun. Dengan ujung kayu nisan, Si Nenek Siluman mengerahkan tenaga dalam menggai kubur. Dalam waktu singkat ia berhasil menarik keluar mayat Ki Blandotan. Bau busuk segera menyeruak. Ia kemudian membopong mayat itu dan membawanya pergi menuju sarangnya.
Keesokan harinya, kabar tentang kuburan Ki Blandotan yang terbongkar dan hantunya yang gentayangan tersebar dengan cepat. Warga semakin diliputi rasa ketakutan. Kehidupan masyarakat yang terbelenggu ketakhayulan itu dengan mudah menyimpulkan bahwa kematian Ki Blandotan yang misterius itu pasti akan menjadikan arwahnya gentayangan, lalu siapa pun yang berada di sekitar wilayah tersebut bisa menjadi mangsanya.
***
Sekumpulan orang perguruan silat sedang lari pemanasan. Di bagian punggung seragam putih mereka terdapat tulisan berhuruf dan berbahasa jawa yang berarti 'Perguruan Jari Suci'.
Dua lelaki berbadan gempal tiba-tiba menghadang mereka. "Hei berhenti!" seru seorang penghadang sambil berkacak pinggang. "Ilmu silat kelas ayam saja mau dipamerkan! Siapa yang sok suci dan jagoan silakan maju hadapi aku! Atau kalian maju sekalian saja!"
Seorang pemuda yang tampaknya paling senior di antara mereka menghadapi penantang itu dengan tenang. "Maaf, Ki Sanak. Kami sedang latihan, bukan mau pamer ilmu!"