Oleh: Tri Handoyo
Kabut yang cukup tebal mengepung pos ronda. Empat orang yang sedang mendapat giliran jaga sedang asyik ngobrol di dalamnya. Mereka merapatkan lilitan sarung di leher untuk menambah kehangatan.
Pos berbentuk rumah panggung seluas tiga meter persegi itu terbuat dari kayu dan berdinding anyaman bambu, bangunan yang relatif hangat di musim penghujan dan cukup sejuk di musim kemarau. Pos itu berada di pinggir sungai yang membelah tepat di tengah-tengah wilayah Desa Candimulyo.
"Tolooong..! tolooong...!" Terdengar suara orang ditimpah suara gemericik air sungai. Tiba-tiba muncul Guk Parto Gempil dengan napas terengah-engah meloncat cepat ke dalam pos ronda.
Empat orang yang berada di situ terkejut bukan main. Lelaki yang tampak sangat ketakutan itu adalah 'Tukang Pukulnya' Raden Kusno, yang selama ini dikenal sangat pemberani.
"Minum dulu, Guk Parto!" Salah seorang mencoba menenangkan sambil menyodorkan air minum.
"Ada apa, Guk?" tanya yang lain setelah melihat nafas Guk Parto mulai teratur.
"Aaaku.., aku ketemu hantu.., hantu Ki Blandotan Kobra!" jawabnya dengan mimik muka tegang. "Ruhnya bangkit dari kubur! Dia jadi hantu, mau balas dendam!"
Empat petugas jaga saling bertatap pandang dengan raut muka tegang pula. Bulu tengkuk mereka meremang mendengar arwah Sang Penjahat Besar itu bangkit dari kubur.
Pada saat yang sama, di tempat lain, Guk Tanjung berlari terbirit-birit menuju beberapa orang yang sedang bercengkrama di teras joglo depan rumah Raden Kus. "Tolooong..! tolooong...!"