Oleh: Tri Handoyo
Pada hari berikutnya, Japa mencari tahu di mana ayahnya, Raden Suto Gumilar, dimakamkan. Tentu saja juga berniat menelusuri segala sesuatu mengenainya. Hasil penyelidikannya memberikan kesimpulan yang membuatnya lebih penasaran lagi, bahwa pada masa lampau kakeknya, Ki Gumelar, memang pernah dituduh menyembunyikan sebagian harta rampasan perang. Tuduhan yang terus diwariskan ke anak keturunannya itu ternyata tidak pernah terbukti.
Orang-orang yang dituduh berkomplot dengan Ki Gumilar pun tidak semuanya dihukum mati, sepertinya hanya 'tebang pilih'. Yang lebih penting lagi, harta yang dituduhkan itu juga tidak pernah ditemukan keberadaannya. Penemuan hasil menggali informasi dari berbagai sumber itu membuat Japa berusaha lebih keras untuk mencari jawaban lebih jauh lagi.
Konon, usai tragedi Bubat, ada beberapa pejabat tinggi istana yang memanfaatkan kerenggangan hubungan antara Prabu Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Mereka kemudian menjalin hubungan secara rahasia dengan kelompok dari Sunda yang hendak melakukan balas dendam dalam operasi senyap. Mereka menuding mahapatih hebat itu telah mencoreng kehormatan kerajaan, dan telah merongrong wibawah Prabu Hayam Wuruk, sehingga hukuman yang layak baginya hanyalah kematian. Bisa jadi lantaran gagal menghukum Gajah Mada, maka mereka kemudian melampiaskannya ke orang-orang kepercayaan mahapatih tersebut. Salah satu korbannya adalah Raden Suto Gumilar.
Japa teringat nasehat Eyang Dhara, bahwa 'Tak ada gading yang tak retak'. Jika orang hanya fokus untuk mencari retakan, maka ia bakal menemukannya. Padahal retakan gading itu bukan sesuatu yang dianggap cacat, melainkan sebagai tanda keaslian sebuah gading.
Mengenai apa yang menimpah Gajah Mada, dengan adanya retakan itu adalah hal yang manusiawi, tidak berarti lantas menutup mata dan mengingkari semua perjuangannya dalam membawa Majapahit ke puncak kejayaan.
***
Di suatu siang yang cerah, Japa Dananjaya berhasil menemukan rumah almarhum ayah kandungnya, Raden Suto Gumilar. Rumah berpekarangan luas itu sejak sekitar tujuh belas tahun yang lalu telah dikuasai oleh sebuah perguruan silat bernama Mahasura, yang bermakna pejuang besar. Perguruan itu adalah jelamaan organisasi yang bertanggung jawab atas kematian kakek Japa, Gumilar dan kemudian juga ayahnya, Suto Gumilar.
Setelah memperkenalkan diri dan mendapat ijin masuk, Japa dipersilakan menunggu di ruang tamu. Sebuah tulisan dalam bingkai ukiran kayu yang terpajang di dinding berbunyi, 'Yang kuat bertahan yang bakal jadi penguasa'.
Di dalam hati pemuda yang genap berusia tujuh belas tahun itu menyimpulkan bahwa bunyi semboyan Mahasura itu menyiratkan sebuah hukum rimba. Hukum yang seolah-olah menjadi pijakan perguruan tersebut dalam bertindak.