Oleh: Tri Handoyo
Lelaki tinggi besar itu tertawa lebar, lalu menghardik keras dengan suara yang membuat jantung berdebar, "Hei bocah ingusan, betapapun juga, sukarela atau terpaksa, kau harus ikut aku!"
Japa, anak yang belum genap berusia tujuh tahun, sebenarnya merasa sangat ketakutan, tapi ia berusaha memberanikan diri. Ketika lelaki raksasa berambut gimbal itu mendekat dan mengulurkan tangan hendak menangkap, Japa mengepalkan tangannya yang kecil dan segera melancarkan serangan. Dengan sekuat tenaga.
Biarpun masih anak-anak, tapi ternyata ia telah terlatih cukup baik. Serangan pukulan itu dilakukan dengan gerakan yang sempurna dan cepat penuh energi.
"Kau berani melawanku? Kau pasti akan pingsan kalau tahu julukan yang aku sandang! Ha..ha..ha..!"
"Aku tidak takut!"
Lelaki buruk rupa itu tertawa mengerikan, tanpa mampu menyembunyikan rasa takjub. "Bocah ingusan, kau mau main-main? Boleh coba aku ingin tahu sampai di mana ayahmu telah mengajarimu!" Ia lalu sengaja tidak menghindari pukulan dan tendangan yang datang, menyediakan dadanya terpukul, yang tentu sama sekali tak berarti baginya.
Sementara itu, setelah beberapa kali menyerang dengan menguras seluruh tenaga yang dimilikinya, Japa mulai kelelahan. Peluh membanjiri sekujur tubuhnya. Ia tak menyerah.
Melihat kenekatan Japa, lelaki itu lalu dengan gerakan perlahan telah berhasil membuat tubuh kecil itu terpelanting. Japa jatuh terkapar di tanah hanya karena kena ditowel pundaknya oleh sebuah jari telunjuk.
Japa merasa tulang-tulang punggungnya seperti remuk setelah membentur tanah. Ia merayap sambil merintih-rintih, dan berusaha bangkit. Untungnya lelaki kekar itu hanya ingin sedikit memamerkan ketinggian ilmunya, dan tidak berniat menyerang untuk melukai lawan kecil tak sebanding itu.