Oleh: Tri Handoyo
Ketika seseorang melakukan aktifitas berpikir, soal apapun itu, maka akan direspon oleh setiap lapisan organ tubuh, oleh setiap lapisan syaraf dan oleh setiap lapisan sel. Selanjutnya tubuh akan memancarkan gelombang yang akan direspon oleh lingkungan sekitar, dan terus memancar hingga bahkan akan direspon oleh seluru alam semesta. Begitu dasyatnya pikiran, sehingga orang-orang bijak mengatakan bahwa kita adalah apa yang kita pikirkan. Diri kita sesungguhnya adalah produk dari pikiran kita sendiri.
Para cendikiawan yang telah mengkaji soal tersebut mengatakan bahwa ada prinsip-prinsip pemikiran yang bisa disimpulkan menjadi tiga kata sederhana, yakni Thought, Become, Fact (Pemikiran, Menjadi, Kenyataan). Para peneliti juga meyakini ada hukum yang paling perkasa di alam semesta ini, yakni hukum tarik-menarik (The Law of Attraction). Ini menguatkan ungkapan bijak kuno yang berbunyi, "Pikiran positif akan menarik hal-hal positif." Tentunya demikian juga sebaliknya.
Tubuh dan jiwa manusia terhubung oleh kekuatan pikiran, yang dengan kata lain disebut sebagai keyakinan atau keimanan. Bila pikiran kita sulit menciptakan kondisi positif, maka keimanan pun akan cenderung rapuh. Bila pikiran selalu diliputi sikap pesimis, maka keimanan pun akan lemah dan mudah goyah.
Begitu eratnya kaitan antara kekuatan pikiran dan kekuatan keimanan, sehingga persoalan memperbaiki keimanan adalah juga persoalan memperbaiki pikiran. Keimanan yang buruk dipengaruhi oleh pemikiran negatif, dan pemikiran negatif dibentuk oleh paradigma yang salah. Sementara itu tidak mudah untuk membongkar paradigma yang salah, sebab ia terbentuk melalui proses panjang sejak awal perjalanan kehidupan. Padahal itu sangat penting, sebab apa pun hasil pemikiran yang keluar akan tercetak melalui mesin cetak paradigma tersebut.
Jika dibalik, paradigma negatif akan menghasilkan pemikiran negatif, dan kemudian menghasilkan keimanan negatif, dan berikutnya menghasilkan tindakan negatif. Energi besar yang mestinya harus digunakan untuk menunjang potensi hidup kita, yakni energi pikiran, tapi karena ia dalam kondisi negatif, maka akhirnya justru merusak dan bahkan menghancurkannya dari dalam.
Kesimpulannya, keimanan yang buruk berumber dari pengetahuan dan pengalaman yang buruk pula, yang penuh sakit hati, kebencian, kedengkian, kemarahan, dan dendam. Maka pada ujungnya, pikiran itu hanya mampu menghasilkan tindakan-tindakan negatif yang merusak kehidupan.
Pikiran negatif tidak akan mungkin mampu menghasilkan karya yang bermanfaat bagi sesama. Pikiran negatif tidak akan mungkin mampu menghasilkan kedamaian dan kebahagiaan untuk diri sendiri, apalagi untuk orang lain. Pikiran negatif pasti akan berujung kepada kegagalan dan penderitaan. Maka, tak dapat dipungkiri bahwa pikiran negatif itulah musuh terbesar kita yang sebenarnya.
Seorang filsuf penting Jerman, Freidrich Nietsche, mempunyai gagasan tentang kebenaran yang dikenal dengan istilah perspektivisme.
Manusia kerapkali sulit untuk meyakini suatu kebenaran sebagai akibat adanya perbedaan sudut pandang. Itulah kenapa diperlukan wawasan luas dan dalam terhadap suatu kebenaran yang patut dijadikan keyakinan.