Kenapa raja-raja Jawa saat itu tidak minta bantuan Nyi Roro Kidul untuk melawan dan mengusir penjajah? Kemana pusaka 'Bende Mataram' yang konon bisa mengundang ratusan ribu pasukan jin? Sampai akhirnya timbul keraguan bahwa ratu jin penguasa pantai selatan itu sebetulnya hanya mitos belaka.
Mitos memang menjadi semacam kebutuhan yang masih lekat di tengah masyarakat.
Kehadirannya tak lekang oleh jaman, sekalipun sudah melintasi era modern.
Mitos biasanya berhubungan dengan kepercayaan terhadap benda gaib, roh halus, dewa-dewi, atau tokoh yang memiliki kemampuan supranatural di masa lampau.
Bedanya jaman dahulu mitos mengandung nilai spiritual dan dikaitkan dengan pelajaran moral, dewasa ini mitos dikaitkan dengan segala hal termasuk di dalam urusan politik. Kesamaannya, ada ancaman bahwa jika mitos itu dilanggar akan berakibat kesialan, kualat, atau mendatangkan malapetaka.
Profesor bidang Psikologi dari Missouri Western State University, Brian Cronk, menjelaskan bahwa mitos bisa ada karena otak manusia selalu mencari alasan di balik segala peristiwa. Ketika akal gagal memperoleh penjelasan yang logis, manusia lantas cenderung membangun narasi apa pun yang penting bisa memuaskan pikirannya. Hal ini dilakukan agar rasa penasaran yang kerap membuat pikiran tidak tentram bisa dihilangkan. Itulah alasan kenapa mitos dibutuhkan.
Setelah berhasil dijejalkan ke otak, kendati bertolak belakang dengan sains, tak berkaitan dengan fakta ilmiah, tidak ada relevansinya, dan tidak bisa diverifikasi serta diuji kebenarannya, mitos tetap dipercaya dengan dalih keimanan.
Apabila dulu para leluhur menggunakan mitos sebagai sarana pembelajaran moral dan etika, dalam perkembangannya kini mitos digunakan justru untuk menyesatkan dan menghasut masyarakat.
Di era yang masyarakatnya semakin kritis, narasi keberadaan Nyi Roro Kidul, yang dulu pernah menjadi 'duri di jalan' keimanan masyarakat, sudah nyaris pudar. Sebab dia tidak bisa digunakan untuk memobilisasi massa. Keberadaannya tidak penting lagi. Maka perlu diciptakannya sejenis mitos kontemporer. Yakni soal 'Darah biru', 'Ras Unggul' atau 'Keturunan Nabi'.
Masyarakat modern sebetulnya tidak lagi menentukan kualitas seseorang diukur dari ras, suku, agama atau keturunannya, melainkan dari amal perbuatan, intelektualitas, dan kesalehan atau berdasarkan akhlak.
Yang menjadikan akhlak sebagai tolok ukur pasti akan memberi pencerahan, demi mencerdaskan umat, sebaliknya yang tolok ukurnya keturunan, ras unggul atau darah biru, biasanya bertujuan untuk pembodohan umat.
Pembodohan terhadap masyarakat akan memudahkan untuk memobilisasi massa, untuk kemudian menjadikannya sebagai alat daya tawar atau daya gertak. Biar leluasa menggertak, menakut-nakuti dan mengancam mereka yang berani menentang kelompoknya.