Oleh: Tri Handoyo
Mengapa banyak orang membaca kitab Al Quran yang sama, tetapi belum tentu merasakan atau mendapatkan pencerahan yang sama. Terutama dalam hal pengalaman keruhanian.
Faktanya, sebagian besar dari mereka tidak mengalami perubahan apapun, entah pada kecerdasan ruhaninya, kecerdasan spiritualnya, kecerdasan moralnya, atau kecerdasan sosialnya. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena mereka membaca Al Quran tanpa menyertakan keterlibatan akal budi.
Itu yang disebut tekstual, yakni memahami teks sesuai dengan normatifitas (book oriented). Adapun lawannya adalah kontekstual, yakni memahami bukan berhenti pada teks, melainkan juga secara implisit dan eksplisit di mana makna kontekstual itu melekat.
Banyak umat yang berhenti pada keyakinan bahwa membacanya saja akan memperoleh pahala. Sudah cukup puas di situ. Sehingga tidak merasa perlu bersusah payah untuk memahami maknanya jauh lebih dalam. Padahal hanya ketika melibatkan akal pikiran, secara kontekstual, itulah yang akan bisa memahami secara utuh, sehingga mampu mengalami perubahan-perubahan dalam diri mereka. Seperti menjadi lebih damai, hidup menjadi lebih bermakna, dan akan lebih memiliki jiwa sosial serta rasa perikemanusiaan.
Al-Qur'an merupakan salah satu kitab yang mengandung unsur sastra sangat tinggi. Memiliki keindahan dan kekuatan bahasa yang mengagumkan. Yang lebih menarik, sistem bunyi dalam ayat-ayatnya juga begitu teliti dan presisi.
Beberapa ulama klasik, semisal Abdullah Ibn Abbas, Muqotil Ibn Sulaiman, Ibn Qutaybah, dan lain-lainnya, meneliti, mengkaji, menganalisa dan memperlakukan Al-Qur'an sebagai kitab sastra terbesar sepanjang sejarah.
Di abad modern muncul generasi Thaha Husein, Amin Al-Khuli, 'Aisyah Abdurrahman, dan masih banyak lagi lainnya. Mereka menafsirkan Al-Qur'an dalam perspektif bahasa, seni dan sastra Arab, karena banyak pengertian kata dan kalimat Al-Qur'an yang hanya bisa dipahami dengan baik apabila merujuk pada khazanah puisi-puisi Arab Pra-Islam.
Puisi-puisi Pra-Islam disebut sebagai Diwanul Arab, yaitu lumbung bahasa yang menentukan kejelasan dan pemahaman ayat-ayat Al-Qur'an. Kemukjizatan Al-Qur'an yang berpengaruh ke dalam jiwa manusia juga bekerja melalui ranah bahasa dan sastra Arab.
Al-Qur'an itu mengandung unsur estetika, bertabur kiasan dan majaz, serta banyak ayat-ayat yang bersajak. Itulah kenapa mahir Bahasa Arab dan menguasai tata bahasanya saja belum cukup untuk bisa memahami dengan baik dan benar.