Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Monoteisme Pertama di Dunia

16 Maret 2024   20:29 Diperbarui: 4 Juli 2024   11:27 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Sebelum Hindu dan Buddha datang, orang Jawa Kuno sudah punya kepercayaan Kapitayan. Mereka menyembang Sanghyang Taya, sesuatu yang suwung, kosong, tidak bisa digambarkan atau diasosiasikan dengan sesuatu.

Orang Sunda sudah punya kepercayaan Sunda Wiwitan yang menyembah Sang Hyang Reksa, yang punya kehendak dan yang punya karsa. Inilah agama monoteisme pertama di dunia.

Ketika Mekah belum dihuni oleh manusia dan bangunan Kakbah belum ditinggikan oleh Nabi Ibrahim, orang-orang Nusantara sudah tahu cara bertuhan. Meskipun itu sering disalahtafsirkan, disebut penganut animisme-dinamisme, dituduh penyembah berhaka, lalu dikafir-kafirkan.

Orang Nusantara tidak sebodoh itu dalam hal spiritualisme. Kalau mereka menghormati gunung, hutan, sungai, hewan, pohon, batu atau semua benda, itu karena mereka percaya akan perwujudan Tuhan yang mengejawantah pada setiap benda. Bahkan karena sangat tolerannya, orang Nusantara pun menghormati makhluk-makhluk halus, misal dengan mengucapkan salam ketika melewati atau memasuki wilayah asing dan angker.

Orang Nusantara sebetulnya juga lebih canggih dalam memahami Tuhan. Tuhan tidak seperti yang diimajinasikan manusia, misal duduk di singgasana, gampang cemburu, gampang tersinggung, lalu murka kalau nggak disembah, lalu menghukum dengan mengirim berbagai bencana alam.

Jadi lucu jika ada yang membusungkan dada merasa paling paham tentang Tuhan, padahal semua itu cuma tuhan konstruksi (al ilah al mahluk fi al i'tiqad) bahkan Tuhan yang diciptakam dalam keyakinan (al ilah al makhluk fi al i'tiad). Allah pun berfirman, "Aku sesuai persangkaan hambaKu!"

Itulah kenapa Agama Kapitayan tidak pernah merendahkan atau melecehkan cara orang lain beragama, beribadah dan bertuhan. Mereka menghargai manusia berdasarkan perilaku dan kinerjanya, bukan berdasarkan simbol-simbol agamanya.

Doktrin-doktrin kitab suci memang telah memasung akal pikiran banyak manusia, di mana mereka kemudian menerima dan menganggapnya sebagai kebenaran mutlak. Padahal kitab itu tetaplah ditafsirkan dan dijabarkan menurut akal si pentafsir. Dalam hal ini yang sebetulnya diikuti tetaplah "akal" sebatas kekuatan daya pikir si penafsir. Jadi kemungkinan salah tetap ada. Tetapi tentu saja ini tidak berlaku bagi orang kepala batu yang sekalugus besar kepala.

Sebelumnya ada peradaban Paleoliticum. Mesoliticum, Neoliticum dan Megaliticum. Agama Ibrahim lahir pada zaman megaliticum, batu muda akhir. Oleh karena itu, maka simbol menghadap tuhannya juga dari batu. Ada batu tegak palus zaman Palistik, ada Dom of Rock, ada batu kubus segi empat, dll.

Andaikata agama lahir di era artificial Intelligence, era robot, maka konstruksi tentang agama dan Tuhan pun kemungkinan besar akan lain pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun