Tulisan ini merupakan proses perenungan bebas dan dialog batin dengan diri sendiri mengenai nilai dan penghargaan, di mana mungkin kita akan terjebak di dalamnya: menilai dan selanjutnya berdasarkan penilaian itu kemudian kita menghargai objek-objek di sekeliling kita.
Lekuk liku dan hiruk pikuk keseharian kita sangat erat sekali dengan penilaian dan penghargaan. Dan kita, (mungkin saja) disibukkan oleh kesan-kesan terhadap penilaian dan penghargaan tersebut. Entah itu penilaian orang lain kepada kita. Atau sebaliknya, penilaian kita kepada orang lain. Beragam tolok ukur dipakai untuk memberikan penilaian. Baik, buruk, jahat, penyayang, pintar, pandir, pelit, gercep sat-set, dan sebagainya. Walaupun keshahihan penilaian tersebut terkadang masih dipertanyakan, namun berbagai penilaian tersebut akan pada akhirnya berujung pada sejauh mana penghargaan seseorang terhadap objek yang dinilai.
Ada satu hal yang semoga tidak kita lupakan yaitu menilai diri sendiri dan menghargai diri sendiri. Dalam konteks ini, perlu sekali kita memiliki literasi diri untuk melihat jauh ke dalam diri kita. Literasi diri tidaklah sekedar berkaca dan merenungi diri, namun juga berdialog secara mendalam dengan diri sendiri. Melalui literasi diri, kita menyelami serta mengungkap berbagai sisi kehidupan dan kemudian merefleksikan serta mengkomunikasikan kepada diri kita sendiri sejauh mana kualitas hidup kita secara pribadi, sejauh mana kualitas kita sebagai seorang hamba dari Sang Pencipta, dan sejauh mana kualitas kita dalam tata kehidupan bersama. Dengan kematangan literasi diri, maka di situlah letak "ajining diri" atau keberhargaan diri yang sewajibnya dijaga dan diperjuangkan.
Kembali tentang nilai. Kadang saya berfikir, apakah ada jarak antara objek materiil yang ada (being)Â dengan nilai (value)? Apakah sesuatu yang ada, termasuk saya, bernilai karena memang benar-benar ada nilainya? Ataukah karena nilai itu berasal dari predikat yang disematkan oleh orang lain? Lantas juga, bagaimana dengan kualitas si pemberi nilai? Apakah penilaiannya layak dijadikan justifikasi bahwa seseorang itu bernilai dan berharga?
Ketika suatu saat saya dinilai baik dan karena itu kemudian mendapatkan penghargaan, saya lantas berfikir: apakah diri saya dengan segenap pembawaan dan tingkah laku keseharian saya memang layak untuk mendapatkan penghargaan tersebut? Ataukah, penghargaan itu hanyalah sebuah hasil sebuah penafsiran dan konstruksi sosial belaka yang kemudian dimuliakan dalam sebuah ritual pemberian penghargaan? Lantas, jika tidak mendapatkan penghargaan, apakah diri saya kemudian menjadi objek materiil yang tidak ada nilainya? Â Padahal, merujuk pada ide Paltonik, nilai adalah dunia esensi. Jadi, apapun itu pasti memiliki nilai!
Menjadi berat memang, jika kita dihargai dan dinilai baik oleh orang lain, maka kita harus membuktikan kelayakan esensi dan eksistensi kita sebagai pribadi yang bernilai baik. Sekali terpeleset, maka esensi nilai baik dalam diri kita akan tercemar oleh eksistensi kita di mata (persepsi psikologis) orang lain. Akhirnya, kembali pada awal tulisan ini, kita akan disibukkan oleh kesan-kesan terhadap penilaian dan penghargaan dari dan kepada orang lain!
Frondizi mengatakan bahwa nilai terkadang dikacaukan oleh penafsiran psikologis terhadap objek materiil dan juga dikacaukan oleh substansi berbadan yang mengembannya. Â Walaupun, dalam kehidupan nyata pada akhirnya de gustibus non est disputandum, selera tidak dapat diperdebatkan. Setiap orang sah-sah saja berdasarkan "selera" masing-masing memberikan apresiasi dan penafsiran psikologis terhadap suatu objek. Namun, perlu diingat juga bahwa semua yang ada sesungguhnya memang memiliki nilai.
Inspirasi Pustaka:
Frondizi, Risieri.2011.Filsafat Nilai (Alih bahasa Cut Ananta Wijaya).Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H