Prolog : Gelombang Pembebasan (Bersyarat) Napi Tipikor
Perhatian publik Indonesia selama beberapa bulan ini tercurah pada beberapa kejadian dramatis dan sekaligus miris.
Kejadian tersebut antara lain kasus pembunuhan Brigadir J yang selain begitu kejam juga sangat mencederai institusi Polri, kenaikan BBM yang cukup memberatkan rakyat, serta kasus “serangan” hacker Bjorka terhadap beberapa situs milik pemerintah dan doxing terhadap beberapa pejabat publik Indonesia.
Selain beberapa kasus tersebut, ada satu kejadian yang juga tidak boleh luput dari perhatian kita semua, karena kejadian tersebut merupakan kejadian yang cukup “ganjil” di mata dan rasa kita semua, sekaligus mencederai rasa keadilan masyarakat.
Kejadian “ganjil” tersebut adalah pembebasan bersyarat terhadap 23 narapidana korupsi. Beberapa dari mereka telah menjalani pidana penjara selama bertahun-tahun, namun ada pula yang baru menjalani pidana singkat.
Selain itu, tidak sedikit dari narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat tersebut terlibat kasus korupsi dengan besaran mencapai miliaran hingga triliunan rupiah.
Memang, secara yuridis pembebasan bersyarat tersebut adalah hal yang legal karena berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, pembebasan bersyarat merupakan hak narapidana yang diberikan dengan syarat berkelakuan baik, aktif mengikuti program binaan, telah menunjukkan penurunan tingkat risiko, serta narapidana tersebut harus telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 masa pidana dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut paling sedikit 9 bulan.
Padahal, di dalam aturan sebelumnya yang telah dicabut MA (Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan) pemberian remisi diatur cukup ketat untuk tiga jenis kejahatan luar biasa, yaitu narkoba, korupsi, dan terorisme.
Banyak pihak yang kemudian merasa kecewa dengan kejadian ini, baik para aktivis antikorupsi maupun masyarakat di kalangan akar rumput. Ternyata, sebegitu mudahnya para koruptor mendapatkan pembebasan (bersyarat). Padahal “uang rakyat” yang mereka keruk dan kerugian negara sebagai dampak dari perbuatan pidana mereka tidaklah sedikit.
Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus korupsi mencapai Rp 62,93 triliun pada 2021. Nilai kerugian negara tersebut naik 10,91% dibandingkan pada tahun sebelumnya (2020), yaitu sebesar Rp56,74 triliun.
Selain itu, fakta yang cukup mengejutkan adalah nilai kerugian negara akibat kasus korupsi pada 2021 adalah nilai yang terbesar dalam lima tahun terakhir. Ironisnya, vonis uang pengganti terhadap para terdakwa kasus korupsi masih jauh dari total kerugian negara yang ditimbulkan. Berdasarkan data ICW, uang pengganti yang diputus hanya mencapai Rp1,4 triliun sepanjang tahun 2021.