Belakangan muncul kebijakan kontradiktif yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Magelang terkait pelarangan oprasionalisasi Ojek Online (Gojek) yang dianggap berdampak pada menurunnya pendapatan penyedia jasa angkutan konvensional. Kendati dinilai belum memiliki izin oprasi, Wali Kota Magelang, Sigit Widyonindito, mengeluarkan kebijakan pelarangan dengan tidak merekomendasikan Ojek Online sebagai penyedia jasa umum angkutan.
Kebijakan yang dikeluarkan tentunya menghadirkan pro dan kontra. Namun, secara prinsip, kebijakan tersebut merupakan kebijakan otoritatif yang didasari atas wewenang (legitimasi) yang dimiliki wali kota sebagai pengambil kebijakan. Entah bersifat populis (kerakyataan) atau politis, yang jelas, pasca pelarangan Gojek, masyarakat terdampak, dalam hal ini mereka yang berprofesi sebagai driver Gojek merasa dirugikan. Menurut Paul A. Sabatier seorang ahli kebijakan publik, menyatakan terdapat jenis populer kebijakan dalam politik modern, Kebijakan model mandat; dalam kebijakan ini pemerintah mengangkat kebijakan-kebijakan sesuai dengan prioritas kelompok konstituennya.
Padahal, dalam rencana strategis yang merupakan turunan dari Visi dan Misi Wali Kota Magelang yang, misalnya, bertujuan menjadikan Magelang sebagai kota modern dan inovatif, dengan adanya kebijakan pelarangan Ojek Online, wali kota secara tidak langsung mencidrai tujuanya sendiri, memperlihatkan penolakanya terhadap modernisasi dan cendrung tidak inovatif. Pun, tidak merealisasikan upaya menjadikan Magelang sebagai kota jasa yang modern. Alih-alih proses formulasi kebijakan bersifat dari bawah ke atas, dikarenakan adanya aspirasi rakyat yang membentuk Forum Awak Angkutan Magelang (Forkam). Sayangnya, tidak ada partisipasi aktif masyarakat yang berprofesi sebagai Gojek terlibat dalam pengambilan keputusan, jelas para pemberi jasa Ojek Online tidak memiliki kesempatan menyampaikan aspirasi mereka secara konstruktif untuk turut mempengaruhi kebijakan. persoalan diatas menunjukan adanya ketidakadilan horizontal dalam masyarakat. Khusunya, jika Gojek benar-benar dilarang beroprasi.
Oleh karena itu, jika melihat perspektif kebijakan yang dikeluarkan, perlu adanya evaluasi untuk dapat menciptakan keadilan horizontal, sehingga, tidak ada kelompok masyarakat tertentu yang merasa dirugikan. Selain itu pula, kerangka hukum yang dibangun terlebih harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Pemerintah harus memberikan solusi strategis tanpa harus melarang oprasionalisasi para pemberi jasa non-konvensional (Gojek). sebab pada hakikatnya, setiap manusia mempunyai hak untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan hidupnya, tidak boleh dikurangi, atau bahkan dirampas.
Para pemimpin harus mempunyai perspektif good governance untuk pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan (LAN, 2000). oleh karenanya, ditengah modernisasi yang sarat akan kompetisi, Wali Kota Magelang harus mampu menerima hiruk-pikuk aras global dan memanfaatkanya sebagai rangsangan inovasi kreatif kota. Magelang yang 'katanya' adalah kota jasa, magelang yang 'katanya' adalah kota inovatif, tidak mungkin menolak modernisasi yang masuk dan menjadi penyokong perekonomian masyarakat. Ditambah, gojek di Magelang memiliki 800 driver,dimana presentasinya didominasi oleh kalangan muda. Tentunya hal tersebut dapat membantu pemerintah mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan di Kota Magelang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H