Mohon tunggu...
tri fazhilah
tri fazhilah Mohon Tunggu... Lainnya - bee

Life unseen

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kebebasan Berpendapat dan Pers Hukum di Sosial Media

22 Juli 2023   15:27 Diperbarui: 22 Juli 2023   15:30 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/72piVWgGrAkEWvH99

Kebebasan berpendapat dan pers hukum merupakan salah satu elemen penting dalam sistem demokrasi yang berfungsi sebagai jaminan pemenuhan hak warga negara atas informasi. Hak asasi manusia dan hak untuk tahu yang terkait dengan keberadaan publik. Kedua elemen tersebut  sangat penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat dan memberikan suara pada opini masyarakat serta menekankan pada pentingnya kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi negara. Meskipun demikian, kebebasan berpendapat dan pers hukum juga mungkin memicu beberapa pertentangan mengenai moral,etika, dan nilai di masyarakat. Oleh karena itu,  perlindungan terhadap hak kebebasan berpendapat dan pers hukum dalam kerangka hukum harus tetap dipertahankan dan diperkuat sebagai bagian dari bentuk penegakan hukum yang adil dan peradaban yang demokratis. 

Kebebasan berekspresi dan berpendapat di indonesia  yang diiringi dengan akses media informasi dan komunikasi via internet dan sosial media membuat suatu perubahan komunikasi antar masyarakat. Menurut data yang di kutip KOMINFO, per tahun 2020 ini pengguna  internet di indonesia 175,5 juta jiwa atau dengan presentase 65,3 % dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. Banyaknya masyarakat Indonesia  yang menjadi pengguna media sosial dan internet mengakibatkan adanya suatu pergeseran fungsi dan peran dari masyarakat internet atau netizen itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat pada era ini menjadikan suatu pola komunikasi dan membentuk  suatu era masyarakat informasi yang interaktif dan dinamis. Kemudian akses informasi akan menjadikan masyarakat untuk mengeluarkan opini dan pendapat serta informasi personalnya kepada masyarakat  lain dan dapat menanggapi pula konten dari netizen lainya, fenomena ini di sebut dengan budaya partisipasi. Budaya partisipasi di masyarakat mengakibatkan inpaksi yang mana masyarakat internet atau netizen dapat memproduksi dan mendistribusikan informasi  dan dapat memegang control sendiri. Masyarakat akan seolah bebas dalam mengkontruksikan dan mempresentasikan dirinya sendiri di internet dan media sosial. Fenomena kebebasan dalam produksi dan pendistribusian informasi dalam internet dan media sosial menyebabkan konten informasi yang tersebar tidak dapat untuk di kendalikan dan seolah tidak ada batas yang mengatur. Hal ini menyebabkan  suatu rawan kecenderungan untuk diproduksinya berita palsu atau hoax, entah hanya  untuk kepentingan pribadi yang bersifat tak sengaja atau memang untuk kepentingan organisasi dan politik di dalamnya. Di indonesia, media yang terindikasi menyebarkan berita palsu dan ujaran kebencian terdapat 800.000 situs.

Kebebasan berpendapat merupakan hak dasar dan hak asasi manusia. Hal ini berkaitan dengan bentuk kewajiban negara indonesia dalam melindungi hak kebebasan berpendapat di media sosial. Kewajiban yang harus di penuhi oleh pengguna media sosial dan cenderung bersifat mengekang sebab tidak dicantumkan secara jelas hak-hak yang dimiliki dalam menggunakan media sosial, mengingat bahwa  dalam hak juga menimbulkan suatu kewajiban untuk menghormati dan menghargai hak orang lain maka pelaksanaan atas hak tersebut dapat dibatasi. Negara memiliki kewajiban dan melindungi kebebasan berpendapat di media sosial yang di atur secara konstitusional dengan bentuk untuk melindungi, menghormati serta memenuhi dengan merealisasikan hak asasi manusia. Temuan survei nasional yang dirilis Indikator Politik Indonesia  (3/4) dengan tajuk ''Trust"  Terhadap Institusi Politik, Isu-Isu Mutakhir, dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu Serentak 2024" menerangkan bahwa saat ini mayoritas masyarakat Indonesia justru semakin takut untuk menyatakan pendapatnya.

https://images.app.goo.gl/222Xtjqn9crikUtb6
https://images.app.goo.gl/222Xtjqn9crikUtb6

Menurut survei Indikator Politik Indonesia, 62,9 persen responden masyarakat Indonesia saat ini mengakui semakin takut untuk menyatakan pendapatnya di muka umum | Good Stats
Dalam temuannya, mayoritas masyarakat Indonesia atau sekitar 56,1 persen responden setuju dengan pernyataan bahwa saat ini masyarakat semakin takut untuk menyatakan pendapatnya. Bahkan, 6,8 persen responden lainnya menjawab sangat setuju. Sementara itu, hanya 16,8 persen responden yang menjawab kurang setuju dan 4,6 persen responden tidak setuju sama sekali. Kemudian, 15,7 persen responden sisanya memilih untuk menjawab tidak tahu atau tidak menjawab. Dalam menentukan sampel survei, Indikator Politik menggunakan metode multi stage random sampling dengan jumlah sampel basis 1.200 orang yang berasal dari seluruh provinsi di Indonesia secara proporsional. Toleransi kesalahan survei ini berada di angka sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.Yang menarik, jika ditinjau dari karakteristik responden survei melalui basis pemilu presiden 2019-nya, mayoritas responden yang mendukung Jokowi-Maruf (58,2 persen) maupun Prabowo-Sandi (68,7 persen) menjawab setuju dan sangat setuju akan pernyataan tersebut. Hal tersebut membuktikan bahwa isu ini telah menjadi keresahan bersama, bukan sekadar sentimen politik belaka.
Temuan survei ini dinilai relevan oleh dua partai oposisi, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bahkan, Demokrat melalui Koordinator Juru Bicaranya, Herzaky Mahendra Putra menyebut hal ini sebagai alarm bahaya untuk demokrasi Indonesia dan meminta pemerintah untuk instrospeksi diri."Jika tiap warga masyarakat yang berbeda pendapat, lalu didatangi oleh aparat, seperti yang terjadi di Wadas, bagaimana masyarakat bisa berani menyampaikan pendapatnya? Jika bersuara kritis di media sosial, mendadak media sosialnya diserang oleh para pendengung, bagaimana masyarakat bisa tenang dalam berekspresi?" ujar Herzaky dikutip dari CNN Indonesia (6/4). Dilansir Kumparan, PKS melalui Wakil Sekretaris Jenderalnya, Ahmad Fathul Bari menyebut temuan survei Indikator Politik memang telah lama dirasakan dan dibangun secara terstruktur. "Rasa takut itu terkesan dibangun secara terstruktur melalui pemidanaan kalangan kritis, laporan yang dibuat oleh pejabat publik terhadap masyarakat yang melakukan kritik, kesan membangun stigma radikal, bahkan sampai mengintip grup perbincangan WA (Whatsapp) yang disampaikan sendiri oleh Presiden Jokowi," ungkapnya (4/4). Sementara itu, Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Faldo Maldini mengakui memang ada masalah terkait kebebasan berpendapat di negeri ini. Namun, ia menganggap semuanya masih berada dalam koridor hukum.
"Memang ada beberapa kasus berkaitan dengan kebebasan berpendapat yang menjadi pembicaraan publik, bukan berarti ada pembungkaman, semuanya tetap berjalan sesuai koridor hukum," ujarnya dilansir Tirto (4/4)
Beberapa penggiat hak asasi manusia dan akademis  mengkritik keputusan pembatasan tersebut  dengan mengatakan akses terhadap sosial media  adalah bagian dari penghapusan hak asasi terutama kebebasan berbicara dan menurunkan kualitas demokrasi. Penggiat HAM atau akademis  yang memprotes  pembatasan media sosial perlu mejelaskan dasar etis. Perkembangan teknologi  selalu lebih cepat dari pada regulasi yang mengatur. Misalnya, undang-undang informasi  dan Transaksi Elektronik (UU ITE ) di indonesia masih problematik, padahal perkembangan teknologi dan media sudah semakin pesat. Selain itu, aparat penegak hukum  di Indonesia  memiliki penerjemahan yang berbeda-beda  tentang penegakan dan implementasi UU tersebut. Hal tersebut masih menjadi permasalahan  terkait kebebasan  dan batasan dalam  bermedia sosial. Pengaruh media sosial  semuanya berada di bawah  kendali diri sendiri. Seiring pendapat kita dan ketika menemukan pendapat yang berlawanan di media sosial, kita bisa bijak untuk tidak langsung menghakimi. Hal ini justru bisa memantik kita berfikir  mengapa ada pemahaman yang berlainan dan membuka ruang diskusi bersama.
Berekspresi di media sosial media tentu tidak salah, mengingat kemerdekaan mengeluarkan pendapat juga sudah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 E. Selain itu, sosial media juga dapat memviralkan kasus yang mungkin belum di tindak lanjuti  oleh pihak tertentu. Asal di dukung oleh data  atau  pengalaman yang valid. Hanya saya  ada beberapa yang harus diperhatikan pengguna , yaitu membedakan ruang publik dan ruang privat  memahami hak dan kewajiban, memahami perlindungan privasi, mengetahui konsep  informasi  serta tetap memahami budaya dan etika.
Sejak disahkan pada 2008, (ITE) telah menjerat  berbagai kalangan pengguna internet, terutama  dalam sangkaan pelanggaran Pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik. UU No.11 tahun 2008 telah diubah dengan, arah kebijakan politik hukum dan hak asasi manusia  (HAM) pemerintah dinilai malah menghakimi kemunduran. Tapi bagi kalangan legislatif, UU ITE terbaru justru memberikan  kelonggaran terhadap masyarakat yang tersandung kasus pencemaran nama baik melalui dunia maya untuk di lakukan penahanan di tingkat penyelidikan. Mantan Menteri komunikasi dan informatika , Rudiantara, mengatakan seiring perkembangan penggunaan  media sosial, sejumlah pasal dalam UU ITE dianggap merugikan, bahkan mengancam kebebasan berekspresi dan pendapat. Penyebabnya , sejumlah  pasal cenderung multitafsir dan tumpang tindih dengan  peraturan hukum lain. Polemik pun muncul setelah banyaknya  kasus hukum terkait pelanggaran UU ITE. Potensi pengaturan kebebasan menyatakan pendapat  dan berekspresi serta mengakses informasi justru berujung pembatasan. Mulai blokir konten, hingga peraturan pasal, sehingga dapat di katakan pemerintah  justru membatasi publik mengakses informasi dari dunia internet. UU ITE hasil revisi tak berbeda dengan UU 11/2008. Bahkan dalam UU ITE terbaru, kewenangan pemerintah melakukan blokir terhadap konten amatlah berbahaya. Sebabnya, kewenangan pemerintah di nilai amat luar biasa. Terlebih pembahasaan  RUU tersebut di lakukan tertutup sehingga masyarakat  tak memiliki akses menyaksikan pembahasaan. Di ambil dari berita Good News from indonesia, Indonesia jadi negara paling banyak minta hapus konten pada layanan google. 

Pada kamis 21 Oktober 2021 , google merilis laporan berjudul '' Content Removal Transparency Report ''  untuk periode Januari sampai 2021. Indonesia menjadi negara yang paling banyak meminta penghapusan konten dan informasi dari berbagai layanan Google, Seperti Google search dan Youtube pada periode januari sampai juli 2021. Sepanjang periode tersebut , terdapat 254.461 permintaan penghapusan konten dan informasi yang diajukan indonesia dan dari jumlah itu, sebanyak 254.399 konten dan informasi di ajukan oleh otoritas informasi dan komunikasi.
Ancaman dalam konteks ekspresi politik, pendapat di muka umum dan menyuarakan pendapat di internet. Menurut pandangan Atnike Nova Sigiro saat menjadi pembicara  Diskusi & Peluncuran Laporan Studi  kerangka Hukum perlindungan laporan Studi kerangka Hukum. Atnike menyoroti pembatasan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak terlepas dari isu-isu besar yang menjadi perhatiaan publik. Contohnya kasus TWK,KPK, pembahasan Omnibus Law, korupsi, kritik terhadap institusi atau lembaga negara. Berdasarkan survei terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi  oleh komnas HAM  bersama dengan Litbang Kompas  di 34 provinsi  di indonesia  pada tahun 2020, terlihat kekhawatiran masyarakat ketika berpartisipasi di ruang publik. Sebanyak 36%, responden  merasa tidak bebas menyampaikan ekspresinya di media sosial. Selanjutnya , 66% responden khawatir aku atau data  pribadi  mereka di retas atau di salah gunakan. Sebanyak 29% responden menilai bahwa mengkritik  pemerintah  adalah isu paling tidak bebas  untuk dinyatakan dan diekspresikan. Lalu 80%  Responden  khawatir bahwa dalam keadaan darurat pemerintah dapat atau akan menyalahgunakan kewenangan untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dari hasil survei tersebut bisa di lihat bahwa di dalam masyarakat ada kekhawatiran ketika mereka  berpartisipasi di ruangan  publik. Mereka akan mengalami atau  menghadapi ancaman , khususnya dalam kaitannya partisipasi politik warga.
Luasnya cakupan pengertian mengenai apa yang di maksud dengan " pendapat " memunculkan potensi adanya mis interpretasi. Misalnya apakah suatu karya seni dapat di anggap sebagai pendapat?. Sederhananya saja selama  karya seni tersebut memiliki pesan baik dari sudut pandang pembuat  maupun siapapun yang menikmatinya , maka karya tersebut dapat di anggap sebagai di anggap. Jika demikian , apakah seseorang dapat melakukan  tindakan tertentu  untuk membungkam orang lain yang bersebrangan pandangan  dengan dirinya atas nama kebebasan berpendapat? Tentu saja tidak. Hal ini dapat di tafsirkan bahwa jaminan kebebasan berpendapat sebagaimana di atur dalam UUD 1945.  Negara perlu tegas membuat garis pembatas untuk membedakan mana saja  pendapat yang  secara konten dilindungi dan tidak lindungi. Terhadap kelompok  yang pertama, berlaku pendekatan non diskriminasi di mana negara tidak ikut campur dan membatasi konten  mana yang di perbolehkan  atau tidak, baik melalui peraturan perundang --undangan maupun  kebijakan yang di keluarkan pemerintah. Sebaliknya , negara wajib melarang pernyataan  atau perbuatan yang  masuk dalam kelompok tidak dilindungi. Meski sulit, namun dapat mengambil  kaidah normatif sebagimana pegangan dalam membuat  pemisahan kedua jenis konten pendapat tersebut. Dalam hal ini, konten yang di maksud  adalah konten yang secara intrinsik dianggap jahat atau tidak layak disampaikan ke publik. Misalnya, dalam hal pornografi, meskipun hubungan seks adalah suatu  hal yang natural dan biologis , norma-norma sosial dan keagamaan menghendaki agar hal tersebut dilarang untuk menjadi  konsumsi publik. Pembatasan media sosial pada dasarnya telah melanggar hak warga  untuk memperoleh informasi dan  menyebarkan informasi. Melanggar UUD pasal 28E poin 3 dan pasal 28 F.


Daftar pustaka 

https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2022/12/21/2294/kekhawatiran-masyarakatdi-ruang-publik-ancaman-bagi-kebebasan-berpendapat-dan-berekspresi-di-indonesia.html. 

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/11/03/indonesia-jadi-negara-yang-palingbanyak-minta-hapus-konten-pada-layanan-google.

https://www.kominfo.go.id/content/detail/4290/menkominfo-peran-humas-harus-berubahseiring-perkembangan-teknologi/0/berita_satker. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun