Bahasa Inggris adalah satu diantara keterampilan yang dianggap sebagai "paspor" untuk masa depan yang lebih baik. Klaim ini bukan tanpa alasan: Bahasa Inggris adalah satu diantara bahasa internasional, yang berarti seseorang yang mampu menggunakan bahasa Inggris mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam komunitas global.Â
Oleh karena itu, banyak sekolah berbondong bondong menjadikan Bahasa Inggris sebagai 'jualan' mereka. Bahasa Inggris sendiri di Indonesia diajarkan dari sekolah dasar sampai universitas di Indonesia dengan harapan bahwa siswa dapat menggunakan bahasa Inggris sebagai jembatan untuk beradaptasi dengan isu-isu global dan tidak gagap dengan perkembangan dunia. Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak siswa Indonesia masih kesulitan menggunakan bahasa Inggris, baik lisan maupun tertulis.
Berdasarkan English Proficiency Index (EPI) yang dilakukan oleh EF, Indonesia mendapatkan nilai rendah dengan menempati urutan ke-79 dari 113 negara pada tahun 2023. Di Asia sendiri, Indonesia ada di posisi ke 13 dari 23 negara. Angka tersebut cenderung turun dari tahun ke tahun mulai dari tahun. Berdasarkan wilayah, Jawa menempati nilai tertinggi dengan perolehan nilai 498 di susul oleh Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, Papua, Kalimantan dan Maluku. Kota kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Malang, dan Semarang memperoleh nilai tertinggi dibandingkan dengan kota kota lainnya.
Pemerintah dalam hal ini selalu berusaha mencari cara untuk memastikan pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris berjalan secara efektif agar mendapatkan hasil yang maksimal pula, salah satunya adalah dengan menggunakan Genre-Based Approach (GBA) atau Pendekatan Berbasis teks serta mendorong guru guru untuk menggunakann Communicative language Teaching (CLT) melalui Kurikulum Merdeka.Â
Berbicara tentang KurMed atau Kurikulum Merdeka, telah banyak sekolah yang menerapkan kurikulum ini selama kurang lebih tiga tahun. Pada dasarnya, ada tiga karakteristik dari kurikulum Merdeka yang ingin ditekankan oleh pemerintah: mengembangkan soft skill dan karakter, fokus pada hal-hal penting, dan fleksibilitas dalam belajar.Â
Menurut Anwar (2022) Kurikulum ini di kembangkan dengan pembelajaran intra-kurikuler yang beragam di mana pelajaran esensial akan lebih optimal dengan harapan bahwa siswa memiliki cukup waktu untuk mengeksplorasi konsep dan memperkuat kompetensi. Kurikulum ini  berfokus pada minat siswa dan memberi mereka waktu untuk bereksplorasi, tidak terburu-buru menyelesaikan bahan ajar tanpa memastikan siswa telah mengerti dan memahaminya dengan baik. Sayangnya, itu hanya pada tingkat teoritis; hal tersebut belum sepenuhnya diterapkan dengan baik. Masih banyak siswa tingkat menegah yang "gagap" menggunakan bahasa Inggris.Â
Pertama, salah satu faktor yang menghambat tercapainya tujuan pembelajaran Bahasa inggris dalam membantu siswa untuk dapat berkomunikasi adalah karena pengimplemntasian Kurikulum, apapun kurikulumnya, masih dengan cara lama. Sejatinya sejak tahun 1984, pemerintah sudah memeberikan berupaya untuk mengembangkan bahasa berbasis komunikatif melalui  Structure-based communicative curriculum. Namun, seindah apapun Kurikulum dirancang jika di kelas, guru masih enggan mengubah cara mereka mengajar dari pengajaran tradisional yang berpusat pada siswa. Oleh karena itu, akan sulit rasanya mengharapkan hasil yang berbeda. Â
Tentu saja, tidak semua guru seperti itu, tetapi banyak dari mereka masih mengajar Bahasa inggris dengan cara lama: buka buku, menjelaskan, memberi tugas di LKS serta lebih banyak berbahasa Indonesia daripada Bahasa Inggris. Akibatnya, bahasa Inggris berakhir hanya sebatas pengetahuan, bukan sebagai alat komunikasi. Banyak terjadi di kelas kelas kita, guru sering melakukan apa yang disebut teacher-centered, yang artinya guru mendominasi kelas dan kurang memberikan ruang kepada siswa untuk bereksplorasi dan praktik menggunakan Bahasa Inggris.
Selain itu, banyak guru masih fokus pada pengajaran tata bahasa dan struktur bahasa. Biasanya pola yang terbentuk adalah guru menjelaskan rumus, memberi contoh dan kemudian meminta siswa untuk menulis kalimat berdasarkan rumus. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mengajar tata Bahasa, karena tata bahasa sendiri adalah backbone of the language atau tulang punggung Bahasa yang membuatnya menjadi jelas dan bermakna.Â
Namun sayangnya, ketika tujuan kita adalah membantu siswa untuk bisa menggunakan Bahasa Inggris, seharusnya grammar diajarkan sebagai tata bahasa fungsional, guru harus menggunakannya sebagai alat komunikasi. Jadi, tidak berhenti sebatas pengetahuan saja atau kumpulan rumus rumus yang harus diingat, tetapi sesuatu yang bisa dipraktikan.