Gelombang globalisasi jelas tidak akan terbendung bahkan oleh benteng pertahanan budaya yang paling kuat dan paling tertutup sekali pun. Juga diyakini bahwa gelombang budaya paling mutakhir ini – gelombang globalisasi, namanya - akan menembus dan menghapus batas-batas negara, batas-batas sekolah dan kampus, batas-batas rumah, bahkan juga batas-batas ruang yang selama ini dianggap sebagai kawasan yang sangat pribadi.
Sejumlah penggagas dan pelontar ide meyakini bahwa motor pendorong laju gelombang globlalisasi ada empat yang kemudian lebih populer disebut sebagai “4-I”. ‘I’ yang pertama adalah ‘Investasi’, ‘I’ yang kedua ‘Industri’, ‘I’ yang ketiga ‘Informasi’ dan ‘I’ yang keempat ‘Individu’Tampaknya sulit mencari alasan yang dapat dijadikan pembenar bahwa ide ‘4-I’ ini kurang tepat dan kurang relevan. Keempat ‘I’ ini bukan saja sulit terbantahkan posisi dan kedudukannya sebagai motor pendorong globalisasi, tetapi perannya justru menjadi bagian tidak terpisahkan dari gerakan globalisasi itu sendiri.
Sementara itu lahirnya globalisasi dengan ‘4-I’-nya yang dengan serta merta diikuti oleh ekspansi ekonomi besar-besaran di seluruh jagat dunia yang pada gilirannya segera diikuti oleh berkembangnya pasar bebas dengan laju kecepatan yang sangat mencengangkan, dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan sejumlah besar negara, termasuk Indonesia. Karenanya sejumlah orang yang sangat memperhatikan masalah-masalah manusia sebagai mahluk budaya dan mahluk religius dengan getol mempromosikan faktor tambahan bagi ‘4-I’ yang sudah ada yaitu ‘I’ yang kelima dan ‘I’ yang keenam.
‘I’ yang kelima adalah ‘Iman’ dan ‘I’ yang keenam adalah ‘Intuisi Kemanusiaan’
Meskipun ‘I’ kelima dan keenam ini sifatnya lebih abstrak dan sulit diukur, bahkan parameternya seringkali juga diragukan ketepatannya, tetapi sebagai tambahan dalam bingkai gerakan kebudayaan, ‘I’ kelima dan keenam tetap dapat dipertanggungjawabkan. Mengapa? Karena keberadaan dua ‘I’ tambahan ini memberi harapan baru yang segar bahwa globalisasi tetap bisa ditata dan dikelola agar melahirkan watak-watak yang tidak egois, kemauan kuat dan tindakan nyata menjaga keseimbangan ekologis, serta usaha untuk terus menerus menjalin dan mewujudkan kerjasama antarmanusia yang harmonis, menjadi besar dan pada gilirannya nanti akan terwujud.
Di sisi lain, jika apa yang akhir-akhir ini dilontarkan oleh para pemikir dan pengambil kebijakan United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) ingin disinergikan dengan enam ‘I’ – empat ‘I’ dilontarkan lebih awal dan dua ‘I’ berikutnya ditambahkan kemudian – maka empat kontrak komitmen yang ditetapkan oleh badan dunia perlu diperhatikan dan dicermati lebih mendalam.
Kontrak komitmen yang pertama dinamakan ‘kontrak komitmen untuk bumi’. Kontrak komitment ini lahir dan diletakkan pada urutan pertama karena tindakan menjaga kesimbangan alam dan ekosistem tidak dapat ditawar-tawar lagi harus segera dimulai dan dimulainya sekarang. Jika dilakukan besok, mungkin sudah terlambat, Jadi tindakan nyata terhadap kontrak komitmen yang pertama ini memang harus dilakukan sekarang – bukan besok, apalagi nanti - dan semua pihak harus terlibat atau dipaksa melibatkan diri.
Kontrak komitmen yang kedua dikenal sebagai ‘kontrak komitmen budaya’. Tujuan utama kontrak komitmen ini adalah menjaga peradaban manusia, membentengi kemanusiaan, dan memastikan agar tindakan-tindakan humanis selalu menjadi tolok ukur bagi setiap individu dalam bersikap dan berperilaku.
Kontrak komitmen ketiga dikenal dengan nama ‘kontrak komitmen sosial’. Yang diharapkan dari kontrak ketiga ini adalah lebih dijunjungnya HAM bukan saja oleh negara dan penguasa tetapi juga masing-masing individu, karena fakta di dunia nyata menunjukkan bahwa sebagian besar pelanggaran HAM justru dilakukan oleh para individu, meskipun mungkin skala pelanggarannya tidak terlalu besar. Kontrak ini juga ingin memastikan bahwa proses ke arah demokratisasi dan kesetaraan gender terus berlangsung dengan kecepatan dan arah yang tepat.
Kontrak komitmen yang keempat dikenal dengan nama ‘kontrak komitmen etika’. Etika, sebagai bagian penting kajian filsafat, memang menyandang beban berat sebagai pengawal dan pemandu individu dalam bersikap, berbuat, bertindak, dan memperlakukan sesamanya.
Etika sendiri sebagai cabang filsafat memang telah dibagi ke dalam tiga tataran yang berbeda yaitu (1) etika normatif; (2) etika terapan; dan (3) meta-etika. Etika normatif dan meta-etika tentu saja penting dari sudut pandang ilmu pengetahuan, apalagi adalah tidak mungkin memahami ‘etika terapan’ jika sumbernya juga tidak dipahami. Tetapi untuk kepentingan yang lebih pragmatis dan lebih operasional maka ‘etika terapan – yang diyakini sebagai bagian etika yang dikembangkan oleh Brenda Almond – yang harus dijadikan fokus landasan melaksanakan kontrak komitmen yang keempat.