Membela Kepala Negara
Aduh … aduh … bagaimana ini? Engkau kan Kepala Negara?
Kepala Negara kami semua, terhormat, mulia dan berwibawa.
Dulu rasa-rasanya hampir semua tersenyum bangga ketika
Menyebut nama, tetapi sekarang, yah jika bukannya tertawa
Biasanya sinis menghina, cuma anehnya … kok ya ada saja
Peristiwa yang menjadi pemicu api senyum hina tawa canda.
Dulu karena curhat, lalu ada murka, lalu ragu setengah dusta,
Dan yang paling akhir, eh … sms yang bocor meluas di media.
Engkau masih ingat kan ketika gelaran Bima sang Werkudara
Tidak hanya disematkan di dada tapi juga tepat di atas kepala?
Bima itu tokoh hebat pemegang Pancanaka andalan Pandawa.
Badan tinggi besar gagah perkasa, jujur tidak pernah berdusta.
Hormat dan santun kepada saudara tua, tapi manakala murka,
Jangankan manusia biasa, dewa pun tak berani banyak bicara.
Engkau disegani di mana-mana, ya di bumi ya di swargaloka.
Tapi itu dulu Bima, dulu, dulu sekali, lalu yang terjadi ini masa?
Yah … murka ditertawa, sms pun dijadi bahan guna menghina.
Bagaimana bisa seperti ini wahai Bima, benteng kokoh negara?
Apakah semua kawula negara raya bentangan tali khatuliswa
Telah tidak tahu tatakrama dan lupa cara menghormati satria?
Apa memang benar seperti itu, wahai Putra Bayu sang Sena?
Penasaran, kutanya mereka yang sibuk tertawa dan menghina.
Di warung-warung, di terminal-terminal, juga di tepi jalan raya.
Dan tahu apa jawab mereka … bah, engkau bukan lagi Bima.
Ya, engkau di mata mereka bukan lagi Bima sang Bratasena.
Tentu saja kukernyitkan kening dan dahi, ah, jangan bercanda.
Dulu Bima, sekarang Werkudara, nanti pun tetap Pancanaka.
Tidak ada yang berubah, tidak boleh berubah, tetaplah sama.
Engkau banteng kokoh ini negara, pilih tanding pantang dusta,
Begitu aku membela engkau di depan mereka, dan reaksinya?
Yah … kalau bukannya mencibir eh … mereka sinis menghina.
Berkali-kali kepala digelengkan mengusir pening tak percaya.
Bagaimana bisa … kawula yang dahulu begitu memuja-muja,
Sekarang berbalik, jika bukannya tertawa ya sinis menghina?
Penasaran tak percaya, akan kugali sampai ke akar-akarnya,
Begitu tekad menggumpal di dada, dan kupilih pemuda desa,
Yang tampaknya terdampar ke ini kota karena masalah biaya.
Percuma bicara dengan para pengamat yang banyak metafora,
Juga dengan para pendukung yang hebat menjilat daun telinga.
Tidak apa bersama pemuda desa … naif tetapi jauh dari dusta.
Setelah basa-basi sekedarnya, si pemuda desa pelan kutanya,
Tahu dan paham kan pak BY … SBY … itu kepala negara kita?
Sambil tersenyum ia mengangguk … eh hebat juga ini pemuda.
Pakaian boleh kotor, tetapi senyum dan sinar mata, luar biasa.
Asal boleh dari desa, nasib belum jelas mungkin terlunta-lunta,
Tapi menilik senyum manis dan sinar mata indah mempesona,
Ditambah keyakinan bahwa pasti tak berdusta, toh untuk apa,
Aku yakin dari dia akan kuperoleh penjelasan mengapa Bima,
Yang dulu sempat menimbulkan decak kagum di mana-mana.
Eh … kini jadi bahan tertawaan hampir seluruh penjuru negara.
Presiden kita sekarang bawelnya amit-amit seperti wanita manja.
Aku angguk-angguk yakinkan dia bahwa dipahami pendapatnya
Walau dalam hati bertanya-tanya, tadi kuarahkan kepala negara,
Dia menjawabnya presiden kita … apakah dia ini tahu bedanya?
Terus itu lho pak … lanjutnya … di TV dan koran, kuyu wajahnya.
Kuyu? Ah, yang benar, kelopak mata memang tebal gelambirnya
Tetapi itu kan tanda beliaunya banyak membaca laporan negara?
Sekarang pemuda ini menyebutnya kuyu … ya apa pula artinya?
Benar pak … kuyu, layu, bahkan pilu dan sendu juga ada di sana.
Sialan, makiku dalam hati, pasti nih pemuda baru saja membaca
Kalau bukannya novel picisan tentu puisi cengeng tak laras nada.
Kuyu, layu, pilu, sendu, jelas bukan kosa kata pemuda lugu desa,
Tetapi mau bilang apa, memang itu yang meluncur dari lidahnya.
Betul lho pak, saya sampai kasihan melihatnya, berat bebannya,
Sepertinya ada dosa orang lain atau bisa juga ada dosa keluarga
Yang harus ditanggungnya … yah harusnya ingat hukum karma.
Bapak tahu hukum karma kan? Sialan, kurang ajar, aku tertawa,
Makian kusimpan dalam hati, tertawa kuhadirkan kehadapannya.
Ya, ya, tentu saja saya pernah membaca tentang hukum karma.
Rasa-rasanya presiden sekarang sedang menjalankan karmanya,
Sayangnya dia itu tidak cukup tangguh menanggung ini semua.
Kalau tidak kan tidak mungkin tampak kuyu laksana layu bunga?
Kuyu, layu, dosa keluarga, hukum karma, yah ini baru namanya.
Aku belum melihat kaitannya dengan pernyataan yang pertama,
Presiden kita sekarang bawelnya amit-amit seperti wanita manja,
Tetapi entah mengapa semangat yang tadinya garang membara
Guna mengorek keterangan jujur apa adanya dari pemuda desa,
Tiba-tiba saja menguap, terbang dan sirna entah pergi ke mana.
Tujuan untuk membela kepala negara bisa-bisa menjadi petaka.
Bagaimana tidak akan jadi petaka, jika malah terungkap semua.
Lha kalau semua sudah terbuka, lalu bagaimana membelanya?
Tapi belum sempat wawancara dinyatakan purna, eh si pemuda
Dengan penuh semangat melanjutkan isi bocoran sms di media.
Kata demi kata terus tercurah tetapi hanya sampai daun telinga,
Sementara pikiran, jiwa dan sukma terus lantunkan nada tanya,
Jika sudah begini lalu bagaimana cara membela kepala negara?
Yah … karma … karma … rasanya sulit guna lepas dari jeratnya.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Polandia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H