Melindungi Hutan dan Alam, Melindungi Masa Depan
Kerusakan hutan dan alam terjadi dimana-mana. Ini realita dan fakta yang sudah berulang kali diungkapkan oleh media massa, cetak atau online.Berita bencana yang dikaitkan langsung atau tidak langsung dengan kerusakan tersebut juga terjadi silih berganti, sehingga orang tidak perlu susah-susah melakukan penelitian menyeluruh segala jika hanya ingin mengambil kesimpulan betapa pada banyak tempat di negeri tercinta ini, kerusakan hutan dan alam memang benar-benar terjadi dan dampaknya telah dirasakan sendiri oleh banyak orang berupa bencana yang menimbulkan kerugian material dan jiwa.
Anehnya, meskipun sudah sejak lama dampak negatif pengrusakan alam dan hutan diketahui karena memang sudah banyak dikaji, tetapi tindakan bodoh banyak orang terus saja dilakukan. Alasannya memang beragam, dan salah satu di antaranya karena desakan kebutuhan dasar hidup. Kebutuhan dasar pada tingkatan orang per orang tidak akan pernah bisa merusak alam. Alam mempunyai kemampuan untuk melayani kebutuhan hidup setiap orang. Yang tidak mampu dilakukan alam adalah melayani keserakahan orang per orang apalagi jika keserakahan tersebut bersifat kolektif dengan landasan berpijak kaum bermodal. Kaum bermodal yang menyediakan sarana dan prasarana, kelompok-kelompok proletar yang menjadi ujung tombak eksekusi. Hasilnya dapat dahsyat luar biasa. Hutan dan alam dipaksa ke batas kemampuannya yang paling tidak aman sebelum akhirnya muncul bencana.
Bencana demi bencana, yang seharusnya menjadi pelajaran bagi orang lain di tempat lain, terus berulang terjadi bukan karena banyak orang tidak paham tetapi karena banyak orang tidak berdaya. Hal semacam ini tentu saja menyakitkan karena tahu apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan tetapi kemampuan untuk melakukan apa yang harus dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan, ternyata tidak cukup memadai. Paradoks dan ironi semacam ini menjadi semakin tampak jelas pada negara-negara yang sedang membangun.
Jargon negara berkembang ‘mengapa kami tidak boleh melakukan apa yang telah kalian lakukan selama berabad-abad’ pernah menjadi pembenar pada banyak tindakan membabat hutan yang direstui oleh negara, meskipun saat ini jargon tersebut semakin menyurut dan tidak lagi dipakai para politisi karena memang jargon itu salah dan ngawur. Negara maju jelas telah melakukan kesalahan tersebut tetapi ini tidak berarti bahwa negara berkembang boleh melakukan hal yang sama, semata-mata karena mereka belum melakukan. Kesalahan tidak perlu diulang apapun alasannya, apalagi jika alasan sebenarnya hanyalah alasan yang rapuh dan ‘ambil gampangnya’.
Maka dari pesannya jangan ikut-ikutan melakukan kesalahan yang bodoh semata-mata karena ‘ambil gampangnya’.
Menanam Untuk Masa Depan
     Orang desa sudah sejak lama paham bahwa apa saja yang baik yang dilakukan hari ini, hasilnya akan dipetik oleh anak cucu di masa depan. Seorang ayah yang dengan rajin memupuk tanaman durian yang ditanam hari ini, sadar benar bahwa terutama bukan dia yang akan memetik buah durian. Anak-anaknya, cucu-cucunya, cicit-cicitnya, dan bahkan mungkin juga para canggahnya yang akan menikmati buah durian yang pohonnya ditanam hari ini. Itulah konsepnya untuk hal-hal yang positif seperti menanam.
     Begitu juga dengan menebang. Mungkin saja penebangan yang ‘ngawur’ yang dilakukan oleh orang tua saat ini, dampak bencananya akan dirasakan oleh anak-anaknya di kemudian hari. Karena sadar akan hal ini maka orang desa tidak pernah menjadi agen perusak alam dan hutan. Orang kota bermodal kuat, berpendidikan tinggi, berwawasan luas, pintar, tangguh, dan sederet kualitas hidup lainnya yang menjadi dambaan banyak orang modern, yang menjadi agen paling berbahaya dalam pengrusakan hutan dan alam. Bukan orang desa, bukan orang kampung, tetapi orang kota bermodal kuat dan berpendidikan.
     Dengan pemahaman seperti ini, pemerintah pusat yang kuat haruslah berani mengarahkan perhatian dan fokus kinerjanya, untuk melakukan langkah-langkah yang memadai untuk sejak sekarang menghentikan sama sekali perbuatan salah, disadari atau tidak disadari, yang berdampak pada pengrusakan alam dan hutan. Pertanyaannya apakah pemerintah pusat sudah melakukan hal itu? Dalam retorika dan jargon politik mungkin sudah, tetapi dalam realita tampaknya hal itu masih jauh dari harapan.
     Kementerian lingkungan hidup yang sudah lama ada, ini artinya pemerintah pusat sadar benar betapa pentingnya menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup, ternyata kinerjanya masih angin-anginan, atau seperti nyala lilin kecil tertiup angin. Mudah bergoyang ke sana ke mari, atau bahkan kadang-kadang padam dengan sendirinya.