Lima Ribu Mulut dan Perut

Banyak yang akan mencemooh jika dalam hidup prinsip utamanya
Adalah hidup untuk makan, tetapi akan banyak anggukkan kepala
Jika motto ini berani dibalik kedudukan antara subyek dan obyeknya
Makan untuk hidup dapat lebih berterima karena kesan dan nuansa
Berubah seratus delapan puluh derajat arahnya, yang rendah dan hina
Eh ... tiba-tiba saja menjadi sesuatu yang tinggi di angkasa dan mulia.
Dan bukan itu saja, harkat dan martabat manusia yang elegan prima
Menjadi lebih jelas dan terjaga, makan untuk hidup, bukan sebaliknya.
Hanya saja ... yah, jika sempat ditelaah berlama-lama secara saksama,
Apalagi jika realita dan fakta yang menjadi satu-satunya acuan utama,
Rasanya dua hal ini tak terlalu beda, bahkan jelas sekali hampir sama.
Jika tak makan jelas tak hidup, jika tak hidup maka tak makan pastinya.
Artinya makan memang penting untuk hidup dan jika sudah hidup maka
Makan memang salah satu kegiatannya ... ha … ha … ha … ini realita.

Tetapi seperti yang pernah disampaikan oleh sang nabi utusan surga
Ketika iblis mencobaiNya, mengubah batu menjadi roti, itu yang dipinta,
Dengan penuh wibawa sang nabi utusan surga mengutip catatan purba
Bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, karenanya bagaimana bisa
Mengubah batu menjadi roti menjadi satu-satunya pertanda hal utama?
Janganlah lupa bahwa setiap sabda yang disampaikan yang mahakuasa
Adalah sumber hidup manusia, dan ini benar adanya di sepanjang masa.
Maka dari itu jelaslah bahwa makan bukan tujuan dalam hidup manusia,
Karena memang masih banyak tujuan lain yang jauh lebih asyik mulia,
Seperti umpamanya memastikan bahwa mereka yang papa hina dina
Dibesarkan hati dan harapannya – dan jika memang itu titah yang kuasa,
Maka jalani saja dengan riang gembira, sedangkan yang lebih berpunya
Turun tangan membantu dalam bingkai empati dan kasih pada sesama.
Supaya yang hina terlunta-lunta punya harapan yang sudah lama sirna,
Sementara yang lebih bahagia mempunyai sarana jalankan titah sabda.

Konsep berpantang dan berpuasa yang diteladankan sang nabi surga
Yang kadang dijalankan empat puluh hari empat puluh malam lamanya
Juga memberi pertanda bahwa makanan itu bukanlah segala-galanya.
Tetapi adalah juga tidak tepat dan benar adanya jika ada yang berkata
Dalam hidup makanan sama sekali tak diperlukan jika sudah ada sabda.
Sabda memang yang terutama, tetapi sabda juga menunjukkan betapa
Roti dan ikan dapat menjadi sarana bagi yang mahakuasa lewat nabinya
Bahwa apa saja yang mustahil bagi manusia sama sekali tidak bagi Dia.
Makanan dapat jadi cara nabi surga membuka mata yang kurang percaya
Saat itu ketika masa perayaan Paskah orang Yahudi sudah hampir tiba,
Sang nabi utusan dari surga pergi mengajar ke seberang danau Galilea.
Ribuan orang mengikutiNya, sebagian karena memang percaya padaNya,
Sebagian lagi karena takjub dan tak habis pikir melihat mujizat karyaNya.
Selesai mengajar dan senja sudah hampir tiba, ibalah hatinya yang mulia
Melihat begitu banyak orang terpesona pada ajaran dalam kemasan cerita.
Mereka pastilah lapar dan dahaga setelah seharian mendengarkan sabda.
Ayo makan bersama dan Dia tahu persis apa yang harus dilakukannya,
Hanya saja, sekedar untuk mencoba iman murid-muridNya, Dia berkata
Ayo beri makan mereka semua ... tentu saja mereka heran tidak terkira.
Apa? Memberi makan ribuan orang ini, sementara senja telah hampir tiba?
Ke mana makanan harus dibeli dan kalau pun seandainya ada tersedia,
Lalu dengan apa mereka harus membayarnya ... semua uang yang ada
Jika dibelikan roti dan kemudian harus dibagi, paling-paling secuil roti saja
Guna mengisi mulut dan perut ribuan manusia, itupun kalau rotinya tersedia.
Roti pasti tidak ada, ikan pun jelas tidak tersedia, yah ... mereka tidak berdaya.

Tetapi sang nabi utusan surga tentu saja tahu apa yang akan dilakukanNya.
Menggunakan apa yang ada, diberiNya makan ribuan orang dihadapanNya.
Para murid walau heran tetapi tampaknya tidak ada yang berani bertanya.
Mereka hanya menjalankan tugas, membagikan makanan yang terus ada,
Melimpah berkecukupan untuk semua mulut dan perut yang ada di sana.
Dan akhirnya setelah semua mulut dan perut kenyang, lega, dan gembira,
Sang nabi utusan surga memberi perintah, semua makanan yang tersisa
Dikumpulkan saja, siapa tahu nanti masih akan ada dan banyak gunanya.
Lalu bagaimana dengan mereka yang sekarang semakin takjub terpesona,
Semakin percaya dan semakin yakin saja bahwa inilah nabi utusan surga,
Yang memang datang untuk menyelamatkan dan membebaskan mereka?
Mereka semua sekarang merasa tak hanya mempunyai nabi tetapi juga raja,
Raja yang akan memimpin guna merebut semua hak yang dulu pernah ada
Dan mengembalikan masa-masa jaya bangsa yang pernah bebas merdeka.

Sayangnya bukan untuk ini sang nabi utusan surga datang turun ke dunia,
Dia datang guna sampaikan sabda bahwa empati dan kasih pada sesama
Adalah yang paling penting dan terutama guna dijadikan pegangan utama.
Lain urusan tentu saja bisa ditunda jika memang menjadi penghalangnya.
Hormat, puja bakti pada yang mahakuasa hanya punya makna manakala
Implementasinya berbentuk empati dan kasih pada sesama, dan bukannya
Persembahan bagi yang mahakuasa karena jelas Dia tak memerlukannya.
Semua yang ada adalah milikNya maka menjadi tidak masuk akal logika
Bila manusia berlomba-lomba mempersembahkan banyak hal pada Dia.
Ibarat kata, yang memerlukan diabaikan begitu saja, eh ... empunya dunia
Dipaksa-paksa menerima persembahan yang jelas-jelas tak diperlukanNya.
Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, kataNya.
Dan yang dimaksud belas kasihan jelas sekali belas kasihan pada sesama,
Bukanlah belas kasihan pada Dia yang empunya semua yang ada di dunia.

Ajaran, sabda, dan juga cerita, sudah ada bersama manusia sejak lama.
Mukjizat dan semua perbuatan ajaib telah dilakukan setiap saat tanpa jeda.
Teladan yang nyata pun telah dilakukan sendiri oleh sang nabi utusan surga.
Lalu apa lagi yang menghalangi kita semua laksanakan perintah nan mulia,
Memberikan empati dan kasih pada sesama ... bukankah sudah tidak ada?
Karenanya ayo beramai-ramai meringankan hati nurani, pikiran dan jiwa,
Sehingga langkah dapat diayun lebih gembira membantu sesama manusia.

Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Sidoarjo, Indonesia