Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Essi Nomor 218: Republik Pemekaran Lalu Layu Sebelum Berkembang

31 Mei 2021   06:28 Diperbarui: 31 Mei 2021   06:41 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.olx.co.id/ Mr. M

Essi 218 -- Republik Pemekaran Lalu Layu Sebelum Berkembang
Tri Budhi Sastrio
 
Republik di nusantara ini memang luar biasa,
     semuanya serba luar biasa.
Jumlah pulaunya jelas amat sulit disaingi oleh
     negara mana saja di dunia,
Bahkan seandainya ada negara amat kaya raya
     yang mempunyai dana,
Teknologi, ambisi, cita-cita, dan bertekad
     membangun pulau sebanyaknya,
Belum tentu mereka bisa ... lebih dari tujuh belas
     ribu pulau jelas karunia,
Manusia dengan dana tidak terbatas saja belum
     tentu bisa menyamainya.
Untuk ini tepuk tangan meriah untuk negeri
     tercinta di lintas khatulistiwa.
Berikutnya berkaitan dengan jumlah provinsinya --
     sekarang 34 jumlahnya.
Tidak banyak negara di dunia -- sangat sedikit
     jumlahnya -- yang bisa punya
34 provinsi, dan yang paling anyar provinsi Kaltara --
     Kalimantan Tenggara.
Ini bermakna ada 34 gubernur dan wakilnya, yang
      dipilih dan punya kuasa.
Dan kuasa gubernur dan wakilnya benar-benar
      otonom dan bebas merdeka.
Jika pusat mengatakan A tetapi gubernur
      mengatakan B, ya tidak apa-apa.
Mau marah bagaimana, lha mereka kan pilihan
      rakyatnya, pusat bisa apa?
Inilah akibatnya jika di bawah 'raja' eh, ada
      'raja lainnya', sama-sama raja,
Dan raja memang berkuasa, bebas merdeka,
      melakukan apa saja maunya.
Sedangkan rakyat yang memilihnya, yah ... itu
      kini jadi tameng namanya,
Dan amanlah mereka ... kami ini raja dan
      dari rakyat kuasa itu datangnya.

Berikutnya ada 502 kabupaten, lengkap dengan
      sang bupati dan wakilnya,
Yang walau wilayahnya lebih kecil, janganlah
      ditanya yang namanya kuasa
Mereka sama sekali tak berada di bawah gubernur
      apalagi hanya wakilnya.
Gubernur boleh bilang A tetapi kalau sang bupati
      bilang B, eh, dia bisa apa?
Tidak ada, kecuali mencak-mencak dan marah-
      marah saja, lalu kalau bisa
Paling-paling cari celah masalah lainnya untuk
      persulit yang tidak turut kata.
Inilah akibatnya jika di bawah 'raja' eh, ada
     'raja lainnya', sama-sama raja,
Dan raja memang berkuasa, bebas merdeka,
     melakukan apa saja maunya.
Sedangkan rakyat yang memilihnya, yah ... itu
     kini jadi tameng namanya.
Dan amanlah mereka ... kami ini raja dan dari
     rakyat kuasa itu datangnya.

Berikutnya ada 93 kota yang kekuasaan para
     pimpinannya ya sama saja,
Tidak ubahnya laksana raja, artinya memang
     benar-benar bebas merdeka.
Wilayah boleh lebih kecil, sumber daya boleh
     tidak ada, dana boleh tuna,
Tetapi yang namanya kuasa ... ha ... ha ... ha ...
     kamilah pemegangnya.
Dan karena kuasa datang dari rakyat semua,
     gubernur presiden bisa apa?
Inilah akibatnya jika di bawah 'raja' eh, ada
     'raja lainnya', sama-sama raja,
Dan raja memang berkuasa, bebas merdeka,
     melakukan apa saja maunya.
Sedangkan rakyat yang memilihnya, yah ... itu
     kini jadi tameng namanya.
Dan amanlah mereka ... kami ini raja dan dari
     rakyat kuasa itu datangnya.

Berikutnya masih ada 1 kabupaten dan 5 kota
      administratif, tapi sama saja.
Mungkin para bosnya belum seberani rekan-
      rekannya, tetapi lalu untuk apa?
Yang 'nurut, manggut dan manut' hanya segelintir,
      tetapi pembangkangnya?
Wow sisanya ... lalu di mana tuh martabat dan
      wibawa ... apa masih ada?
Beginilah jika mau merdeka berdemokrasi tetapi
      para preman juga isinya.
Merdeka berekspresi memang seperti mekar dan
     merebak di mana-mana,
Tetapi hendaknya jangan lupa bunga-bunga
     indah ini di dalam pot hidupnya.
Walau dia bebas merdeka mau tumbuh, mekar
     dan berbunga seperti apa,
Tetapi jika tuannya tidak siramkan air pemuas
     dahaga, yah, pasti layu juga.
Lalu berteriak, lalu semakin pelan, lalu
     menghiba-hiba, lalu ... pasrah juga.
Dan tahukah tuan-tuan yang terhormat, siapakah
     tuan-tuan para bunga?
Yang siap siramkan air pemuas dahaga jika
     bunga-bunga layu tak berdaya?
Bukan presiden, bukan gubernur, juga bukan
      rakyat yang memberi kuasa,
Tapi elit dan ketua partai pengusungnya,
     merekalah penguasa sebenarnya.
Di luar, semua bunga boleh berteriak bahwa hanya
     pada rakyat mereka setia,
Tetapi di dalam ruang kantor mereka, titah dan
     sabda siapa yang bergema?
Ini sih bukan rahasia tetapi karena buktinya
     memang tidak bisa dibuat nyata,
Jadinya kendali yang semacam itu sepertinya
     tidak ada, dan tak pernah ada.
Ada dalam tiada, tiada dalam ada, tetapi jerat
     mautnya, janganlah ditanya?
Kalau bunga boleh diibaratkan serangga, mereka
     dirantai sejak awal mula.
Dilepas agar siap berlaga, setelah menang
     rantainya kembali di daya-guna.

Lalu bagaimana nasib ini negara, jika terlalu
     banyak raja yang berkuasa?
Mereka ada di mana-mana, sampai-sampai
     sang raja utama tidak berdaya?
Yang lebih menjengkelkan eh ... para raja ini
     ternyata juga raja-raja boneka.
Lehernya memang bisa ke selatan ke utara,
     tapi tetap dalam arena tuannya.
Ayo setor ... ayo setor ... ayo setor itu dana ...
     mungkin ini motto favoritnya.
Kalau nanti terlalu sedikit, bisanya hanya mau
     mengandalkan gajinya saja,
Motto dapat sedikit diubah agar lantang dan
     gemanya dapat selaras senada,
Ayo buat peluang terbuka ... ayo buka
     peluangnya ... mana proyeknya ...
Mana proyeknya ... mana anggarannya ...
     mana anggarannya ... berikutnya,
Kalau bukan korupsi lalu apa sih namanya
     ketika fulus jadi ujung tujuannya?
Anggaran berbasis korupsi disusun, proyek
     berbasis 'komisi' keluarannya,
Dan semakin sibuklah KPK karena uang negara
     di rampok di mana-mana
Bunda pertiwi pun cucurkan air mata tanda tidak
     terima ... bagaimana bisa
Anak yang dulu diharapkannya eh sekarang
     malah jadi perompak negara?

Lautan air mata derita mereka yang papa, terlantar
      dan terhina, lapar serta
Terlunta-lunta menggenangi apa saja ... kecuali
      rumah gedongan di sana.
Partai yang pada awal-awalnya bercita-cita mau
      sejahterakan rakyat jelata,
Entah mengapa sekarang menjadi sarang penyamun
      pemelihara serigala.
Kalau belum memeras habis kader partainya,
      rasanya belum puas dan lega.
Rakyat menderita ... lho ini kan takdir mereka ...
      kalau bukan yang jelata ...
Lalu siapa? Memangnya kami yang sedang
     berkuasa ini pantas menderita?
Ibarat jerat jejaring laba-laba, sekali seekor
     serangga masuk ke dalam sana,
Maka nasib dan takdirnya sejelas mega di kala
     senja, terhisap habis semua.
Dan apakah bukan karena ini motifnya jika para
     wakil rakyat berlomba-lomba
Mekarkan kawasan di mana-mana, karena makin
     banyak jumlah penguasa,
Semakin banyak pula serangga yang dapat dihisap
     sampai ke sumsumnya?

Malam terang malam bulan purnama, ikan tongkol
     banyak di samudera.
Kelam memang nasib saudara, penjahat bersekongkol
     atas nama negara.
 
Essi nomor 218 -- POZ23102012 -- 087853451949

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun