Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Essi Nomor 288: Lalu Harus Bagaimana?

4 Mei 2021   07:44 Diperbarui: 4 Mei 2021   07:46 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Essi 288 -- Lalu Harus Bagaimana
Tri Budhi Sastrio

Ya, inilah pertanyaan utamanya ... lalu harus bagaimana?
Taat dan setia sudah sejak awal diukir bibir merah delima
Walau kadang hati pikiran masih tengok sini tengok sana.
Keraguan pun selalu ada, kadang menjulang bak menara,
Kadang menyelam ke dasar samudera, tapi anehnya ada.
Apakah ini tanda guratan kelemahan nurani hati manusia?
Bisa saja walaupun tampaknya tidak terlalu benar adanya.
Lemah memang tak perlu ditanya, tapi masih tak percaya?
Jelas ini bukan hanya masalah lemah belaka, ada lainnya.
Inilah yang kadang semakin direnung semakin gelap saja.
Kematian jelas bukan akhir segalanya bagi yang percaya,
Tetapi ada apa di sana, juga bagaimana, juga harus apa,
Tetap saja selalu ditanya walau jawab rasanya sudah ada.

Engkau itu mahakuasa, jadi pasti bisa melakukan apa saja
Atau tidak melakukan apa saja ... tergantung EngkauNya.
Tetapi justru di sini bertimbun masalahnya bagi nalar jiwa.
Kala dicoba memahami bahkan hal yang paling sederhana
Eh ... ujung-ujungnya gelap pekat nir-cahaya jadi citranya.
Lalu bagaimana jadinya, jika biasa dimanja terang cahaya
Tiba-tiba gelap pekat tampak membentang di depan sana?
Bagaimana tak gentar walau sabda berulang ingatkan jiwa
Bahkan di dalam gelap pekat sekali pun, pasti ada cahaya.
Cahaya karena taat setia ... cahaya karena teguh percaya.
Kami percaya pada ini sabda, kami bahkan sangat percaya
Hanya saja mengapa khawatir cemas gentar tetap saja ada?
Duh ... Sang Putra ... maafkan hamba, manakala tetap saja
Percaya taat setia, yang sejak lama dijadikan tekad utama,
Eh, kadang terguncang juga oleh peristiwa biasa adat dunia.

Kematian itu milik siapa saja, inilah ketentuanMu sang Maha.
Bahkan sang Putra yang diutus datang ke dunia, juga sama.
Dia pun mengikuti garis ketentuanMu dengan taat dan setia.
Bahkan kala terpaksa bertanya tetap saja Dia pada akhirnya
Menyerahkan jiwa raga dan taat pada keputusanMu ya Bapa.
Lalu bagaimana bisa kami yang taat percaya berani berbeda?
Kami tentu sama, pada kehendakMu diserahkan semuanya.
Hari ini, atau esok, atau kapan saja ... pasti taat sepenuhnya.
Tak perlu banyak bertanya, intinya silahkan saja sang maha.
Garis ketentuanMu garis kami juga, kaki kami berada di sana.
Jadi bagi kami tak ada masalah, kami taat, sepakat, dan setia.
Tetapi ... tetapi ... duh maafkan kami wahai sang mahakuasa
Kadang kala bagi orang yang dicinta, kami ini sering tidak rela
Jika terlalu cepat dipanggilnya, mengapa engkau tak percaya
Jika kami masih sanggup menjaga dan membahagiakannya?
Jangan panggil dia, tidakkah bila garisnya digeser sedikit saja
Engkau bisa memberi sedikit waktu guna mengisi masa-masa
Yang kala itu entah mengapa serasa buta tak menyadarinya
Betapa lama telah menyia-nyiakan dia, yah betapa bodohnya.

Kami memang manusia biasa, bukan nabi wahai sang maha,
Yang Engkau ijinkan guna melakukan tawar menawar segala.
Tetapi biarlah, demi orang tercinta, kami rela jika kena murka
Karena berani tawar menawar dengan sang Empunya dunia.
Kami ini siap dimurka asal Engkau rela mengalah sedikit saja,
Menggeser garis penentu hidup mati dia yang amat kami cinta.
Sakitnya mungkin parah luar biasa tapi bukan itu masalahnya.
Kami tidak gentar pada sakitnya, itu hal yang biasa-biasa saja.
Penyakit hebat mana sih yang bisa membunuh anak manusia
Jika Engkau sang penentu tak berkenan dan memberi ijinnya?
Tak ada, bukan? Tak ada penyakit, tak ada apa-apa di dunia
Bisa mengakhiri hidup manusia jika Engkau tak merestuinya.
Semua hanya sarana dan Engkaulah si empu penggerakNya.
Karenanya kami tak pernah gentar pada semua sarana dunia.
Kami hanya gentar pada titah sabdaMu, bukan pada sarana.

Memohon dan meminta itu sudah biasa, tapi tawar menawar?
Dengan Pencipta empunya semesta pemegang panji berkibar?
Kami tentu tidak punya nyali tidak hormat apalagi kurang ajar,
Tetapi demi orang yang dicinta, semangat coba nyala dikobar,
Keberanian dipompa agar kepala tengadah dada kokoh tegar,
Lalu beranikan diri menghadap Engkau bak seorang saudagar
Membawa barang dagangan untuk nantinya dijual atau ditukar.
Walau hanya berlagak tetapi ijinkan merasa punya nilai tawar
Sehingga layak dikerek tiang tinggi lalu sama-sama berkibar.
Begitulah jika saudagar yang sebenarnya tidak ikut terdaftar
Memberanikan diri masuk arena lalu bicara berkobar-kobar.
Kami punya nilai jual, punya alat tukar, juga berani menawar.
Ayo ... ayo ... siapa beli siapa jual, kami ini siap membayar.

Tetapi di lain kejab ketika mulai terjaga, mulai siuman sadar,
Yah ... ternyata semua yang ada dan tidak seberapa besar
MilikNya juga, lalu mana nilai jual dan juga yang alat tukar?
Kami tak ada, benar-benar tak punya, walau cuma sekedar.
Semua yang ada status titipan karenanya tidak bisa ditukar.
Apalagi pada si empunya pemilik titipan itulah niatan ditukar,
Benar-benar sangat tidak sopan ... benar-benar kurang ajar.
Raga titipan, jiwa juga titipan, pikiran akal, nurani dan nalar,
Juga titipan, semua titipan lalu bagaimana bisa bekoar-koar
Ingin menawar, ingin menukar ... benar-benar perlu dihajar.
Orang yang dicinta, orang yang dikasih, yang ingin ditawar
Ternyata juga hanya titipan, titipan sang agung maha besar.
Lalu apa yang bisa ditawar, lalu apanya yang bisa ditukar?

Sambil menghela nafas panjang sadar siuman dari lamunan,
Menggeleng pelan, tertunduk haru, kemudian berbisik pelan,
Jika semua memang titipan, dan si Empunya dengan sopan
Meminta yang dulu sempat dan pernah dititipkan, ya Tuhan,
Apalagi yang bisa dilakukan kecuali senyum tanda jawaban.
Semua milikMu Tuhan, Engkau memberi, syukur diucapkan,
Engkau mengambil, kami tangkupkan tangan persembahan.
Terjadilah kehendakMu, di langit di bumi, itu bunyi wejangan.
Dan kami tidak hanya piawai memperhatikan mendengarkan
Tetapi juga melaksanakan dan karenanya Dikau dimuliakan.
Semoga semua dosa kesalahan berkenan Engkau maafkan,
Karena memang ini satu-satunya peluang dan kesempatan,
 
Essi nomor 288 -- POZ19042014 -- 087853451949

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun