Essi 239 -- Janji Bagi Jacintha
Tri Budhi Sastrio
Suatu ketika seorang saudagar kaya pergi ke pasar
   untuk berbelanja.
Tapi cukup bayangkan dia ke pasar untuk membeli
   barang berharga,
Jadi cocok dengan logika, orang kaya tak perlu pergi
   sendiri belanja,
Khususnya keperluan dapur rumah tangga, cukup beri
   perintah saja,
Pelayan yang akan ke sana dan saudagar tetap santai
   di rumahnya.
Tapi hari itu -- jelas karena keperluan lainnya -- sang
   saudagar kaya
Melangkah santai di pasar yang ramai serta banyak
   pengunjungnya.
Sedang santai tengok sini tengok sana, tiba-tiba ada
   yang menyapa,
Kala ditengok siapa dia, yah ... ternyata malaikat maut
   utusan surga.
Saudagar kaya terperanjat, untuk apa malaikat maut
   di pasar segala,
Memangnya dia mempunyai tugas ke pasar untuk
   mencabut nyawa?
Setelah basa-basi saling sapa, saudagar kaya
   beranikan diri bertanya,
Lho untuk apa tuan ke pasar segala, memangnya
   ada tugas rahasia?
Ah tidak, tugas biasa ... tetapi karena baru pukul 12
   siang perintahnya
Jadi daripada bosan menunggu terlalu lama, yah
   jalan-jalanlah saya.
Saudagar kaya angguk-angguk kepala walau tak
   jelas juga tujuannya.
Siapa dia tuan, lanjutnya bertanya, apakah ada
   di pasar ini orangnya?
Malajkat maut menggelengkan kepala, senyumnya
   lebar gembira ria.
Yah ... tidak, dia tidak ke pasar hari ini, dia itu
   pelayanmu yang setia.
Pukul dua belas siang janjinya, oke ya ... aku
   jalan-jalan dulu ke sana.
Saudagar kaya balas tersenyum walau hatinya
   berdebur tidak percaya,
Apa ...? Pelayan setianya ...? Yah, bagaimana bisa ...
   lalu harus apa?
Saudagar kaya melihat ke angkasa, surya belum
   terlalu tinggi sinarnya.
Aku harus apa, bisiknya berulang-ulang, bingung
   tidak tahu harus apa,
Sebelum akhirnya sebuah rencana berkelebat
   begitu saja, ingatkan dia.
Pelayan ini pelayan yang sangat setia, tidak boleh ia
   kehilangan dianya.
Kaki bergegas pulang melangkah sambil terus saja
   matangkan rencana.
Pelayannya terlalu setia dan berharga, ia tidak boleh
   kehilangan dianya.
Sampai di rumah saudagar kaya memanggil pelayan
   menghadap dirinya.
Cepat kau ambil kuda dan pergilah ke rumahku
   yang ada di Shirva sana.
Sudah jangan banyak tanya, pergi saja dan tunggu
   perintah selanjutnya.
Dasar pelayan setia, walau hatinya terus
   bertanya-tanya ... dia taat juga.
Ambil kuda, bawa bekal secukupnya, dan dilepas
   tatapan mata tuannya
Di memacu kuda ke Shirva, sebuah kota lama tempat
   kelahiran tuannya.
Saudagar kaya tersenyum lega karena merasa telah
   tunaikan tugasnya,
Menyelamatkan pelayan setia dari incaran maut
   yang ada di pasar sana.
Akan kulihat nanti apa sih yang dia bisa jika
   mangsanya sudah tidak ada.
Waktu terus merayap, saudagar kaya menunggu,
   berdebar-debar juga.
Sesaat sebelum pukul dua belas tiba, malaikat maut
   melenggang tiba.
Wajahnya sekarang berseri gembira, sementara kening
   saudara kaya
Berkerut juga ... lho ,,, kok gembira, tanyanya
   dalam hati tidak percaya.
Aku datang ingin mengucapkan terima kasih,
   katanya nir kata pembuka.
Kalau engkau tidak membantu pasti sulit bagiku
   jalankan ini tugas mulia.
Bagaimana aku bisa cabut nyawa pelayan setia
   jika dia tidak di Shirva?
Karena perintah jelas, jemput dia di Shirva pukul
   dua belas hari ini juga.
Saudagar kaya tergugu tidak bisa bicara ... yah, Â Â Â
   jika takdir yang bicara,
Apa pun yang dilakukan, toh akhirnya semua
   akan lunas dan tunai juga.
Apakah kisah tragis bunda seorang putri dan
   seorang putra juga sama,
Mengakhiri hidup begitu saja, tinggalkan putra
   putri dan suami tercinta?
Sementara penyebab sebenarnya masih menjadi
   misteri serta rahasia,
Karena spekulasi banyak benar ronanya, walau satu
   tampak diterima,
Karena ini memang sudah takdirnya ... takdir bagi
   Jacintha Saldanha.
Ada banyak jika dan seandainya, tetapi mana
   yang benar pemicunya
Mungkin akan tetap menjadi misteri dan rahasia
   bagi kaca mata dunia.
Tetapi yang jelas jika seandainya korban telepon
   dusta itu orang biasa,
Dijamin dah tak ada apa-apa karena yang begini
   mah sudah lama ada.
Tengok saja sejumlah acara TV di Indonesia,
   yang biasanya tiruan saja
Dari program yang serupa di Amerika atau Eropa,
  kejutkan korbannya
Lewat telepon setengah dusta ... yang didamba
   kan kelucuan semata.
Hanya saja karena kali ini korbannya sang calon
   bunda pewaris tahta
Maka ceritanya bisa sangat berbeda ... yah memang
   nasib takdirnya.
Korban telepon setengah dusta tampaknya tidak gusar
   apalagi murka,
Tapi bagi seorang wanita mulia bunda pewaris tahta,
   jangankan murka,
Sedikit tidak berkenan saja, maka para 'penjilat muka'
   di sekelilingnya
Pasti lakukan banyak hal termasuk yang aneh-aneh
   di luar nalar logika.
Memarahi habis-habisan, mengancam, menekan,
   sampai pecat segala,
Karena rakyat jelata memang tidak seharusnya
   tak cermat layani dewa.
Bagi manusia biasa yang benteng pertahanannya
   tidak terlalu istimewa
Akibatnya bisa fatal karena semua jalan lalu tampak
   buntu terlihatnya,
Dan hanya satu saja yang terbuka pintunya, yaitu
   mengakhiri hidupnya.
Inilah nasib, inilah takdir, inilah label yang biasa
   dipakai sebagai bendera.
Kejadian seperti ini sih banyak terjadi di mana-mana,
   para penjilat muka
Tindakannya sering berlebihan tidak terkira,
   tuannya malah sudah lupa,
Eh, para anjing penjilat terus saja menyalak
   tanpa jeda, perilaku tercela
Karena merasa hebat melakukan tugas yang jelas
   tidak pernah diminta.
Konyolnya jika kemudian terjadi sesuatu yang fatal
   serta tidak terduga
Lalu sibuk mencari kambing hitamnya, seakan lupa
   siapa penjahatnya.
Walau penjilat tapi karena kuasa yang berada
   di tangannya besar juga,
Maka biasanya setelah ribut-ribut sejenak,
   kasus ditutup, selesai purna.
Begitulah adat dunia, semua mudah dilupa
   semua mudah berlalu ditiup angin senja.
Â
Essi nomor 239 -- POZ09122012 -- 087853451949
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H