Essi 156 -- Kurawa Lima
Tri Budhi Sastrio
Gerakan melibas Anas semakin hari semakin meluas
   dan jelas-jelas semakin ganas.
Sialnya ini gerakan buas dan ganas,
   pelopornya para petinggi partai yang tidak puas.
Hasil survei mutakhir bikin mereka tidak puas,
   kicauan para pengamat membuat cemas.
Ribuan orang yang ditanya menjawab jelas-jelas
   bahwa mereka semua masih waras,
Karenanya sudah pasti tidak akan pilih lagi
   partai yang kadernya korupsi tanpa batas.
Semua proyek mau disikat, semua anggaran mau diatur,
   semua komisi mau dikuras.
Dari hulu sampai hilir, dan bawah sampai atas,
   semua harus bayar upeti secara pantas,
Kalau tidak ya jangan mimpi dapat proyek yang
   uangnya memang berkelas walau panas.
Makin hari suara mereka makin berterang, jelas, lugas,
   tegas, buas, panas, serta ganas.
Si Raja Minyak yang dulu paling lantang membela
   pak ketua yang kursinya makin panas,
Sekarang juga paling lantang dan paling keras
   serukan Anas ke luar dari ruangan kelas.
Tetapi yang mau dilibas jelas-jelas bukan politisi kelas
   gibas, dia ahli strategi berkelas,
Karenanya seperti ombak membentur karang, suaranya
   memang berdebum amat keras,
Tetapi hilang suara, hilang pula itu daya, air mundur,
   karang tegak, ada memang bekas,
Hanya saja tidak lebih dari pakaian yang baru
   saja dibilas, basah memang tetapi jelas
Kotorannya hilang bablas dibawa air pembilas,
   pakaian tetap gemilang dan berkelas.
Strategi sudah sejak awal diatur, orang-orang kunci
   masing-masing mendapat kertas,
Memang kertas bekas, tetapi nilainya bung ...
   bisa membuat mata berkunang pedas.
Dan ini semua adalah pagar pembatas
   ciptaan bung Anas, si ahli strategi kelas atas.
Karenanya jelas-jelas tak ada yang bisa masuk
   kalau pagar pembatas tidak ikut dilibas.
Tetapi ini pagar pembatas juga berkelas
   dan telah dibuat anti libas, anti serangan ganas.
Untuk sementara Anas jelas tak bisa dilibas,
   kecuali bisa dibawa ke luar pagar pembatas.
Kurawa Lima memang telah tinggal tiga
   setelah yang dua dibuat tak berdaya oleh KPK,
Sang pelari maraton dari Carthagena dan sang
   putri jelita nona pujaan remaja Indonesia,
Memang telah diikat sayapnya, tapi jangan lupa
   Kurawa itu jumlahnya bukan cuma lima,
Bahkan ketika lahir dulu kalau tidak dicegah
   para dewa jumlahnya bisa saja tak terhingga.
Kalau dibiarkan saja lalu bagaimana bisa Pandawa
   yang hanya lima berjaya dalam laga?
Untung pembelahan berkala berhasil dicegah dewa,
   dan hanya ada dsa dasa Kurawa.
Yang lima utama memang tinggal tiga,
   tetapi yang sembilan lima pasti simpan tenaga.
Kalau memang ini strateginya sang Duryudhana ...
   ha ... ha ... ha ... hati-hati saja KPK.
Sembilan puluh lima kesaktian walau cuma
   biasa-biasa saja tetapi jika gabung tenaga,
Perbawanya bisa luar biasa, mungkin sanggup
   gugurkan gunung keringkan samudera.
Juga jangan lupa di belakang mereka semua
   tentu masih ada sang mahacerdik Durna.
Dia mahaguru yang dihormati di mana-mana,
   bahkan Pandawa ketika di hadapannya,
Duduk bersimpuh memberi hormat dan
   haturkan sembah ... nah dia ini apa perannya?
Masih misteri atau sudah terang nyata,
   belum dapat dijawab juga, dan menurut cerita,
Tak ada senjata pusaka, tak ada dewa,
   apalagi manusia yang mampu kalahkan Durna.
Durna hanya bisa dibuat sedih tidak berdaya
   kalau mendengar kabar bahwa putranya
Lebih dahulu pralaya, kemudian dia akan secara
   perlahan membunuh sendiri dirinya.
Nah, sekarang siapa yang menjadi Durna dan dia
   ada di mana, kan kabutnya rahasia?
Kalau dia tidak jelas identitasnya lalu bagaimana
   bisa dibuat menjadi tidak berdaya?
Duryudhana dan dua tangan kanannya saja
   tak cepat bisa dibekuk batang hidungnya,
Apalagi si Durna yang terasa ada tetapi tidak tentu
   rimbanya, makin sulitlah ceritanya.
Gatotkaca, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa
   memang telah ada di medan Kurusetra,
Tetapi resi Durna tidak bisa dibuat tak berdaya
   kalau hanya mengandalkan mereka.
Perlu strategi istimewa dan peran sang Yudistira
   untuk menuntaskan semua rencana.
Yang bikin pening Kresna, Yudistira terus saja
   menolak akali guru yang dihormatinya.
Lho kalau baginda tidak bersedia, bakal habis
   nih semua panglima perang Pandawa.
Tidak satu pun dari yang ada, juga pamanmu ini
   kata Kresna, yang bisa kalahkan dia.
Baginda tidak perlu berdusta, kata Kresna,
   cukup berkata bawa Aswatama telah binasa
Selebihnya biarkan hamba dan para Pandawa
   yang akan segera membereskannya.
Lho mana bisa, Yudistira tetap bersikeras
   tidak bersedia, bagaimana mungkin bisa,
Putra tercinta paman Durna yang sehat-sehat saja
   dikatakan telah mangkat pralaya?
Aswatama yang ini memang bukan putra Durna,
   itu nama gajah kesayangan istana.
Prabu Yudistira tidak biasa berdusta dan memang
   telah berjanji tidak akan berdusta.
Langit boleh runtuh, bumi boleh terbelah, bahkan dia
   dan saudaranya boleh binasa,
Tetapi berdusta tidak akan pernah dilakukan,
   tidak sekarang, tidak nanti, tidak lusa.
Karena Kresna pada akhirnya memang berhasil
   meyakinkan bahwa tak ada dusta
Jika hanya lirih mengatakan bahwa Aswatama
   memang telah pralaya, jika ditanya,
Maka kisah Bharata Yudha bagian ini memang
   ditutup dengan sedih dan merananya
Sang panglima paling perkasa dan digdaya
   andalan Duryudhana, dan ... Pandawa
Boleh bernafas lega, guru mereka pada akhirnya
   pralaya karena hilang semangatnya
Mendengar putra kesayangan penerus kejayaannya
   telah tiada mendahului dirinya.
Peluang mengalahkan Kurawa kembali terbuka
   sekarang tinggal memanfaatkannya.
Karena itu seruannya sebenarnya sederhana saja,
   telah tiba masanya hentikan dusta,
Dan juga pura-pura ... ayo, daripada
   nanti pada akhirnya dilibas juga oleh sang Cakra
Mengapa tidak sekarang saja mulai ambil
   ancang-ancang menghentikan semua drama,
Ubah segera panggung pentasnya, jadikan
   tempat mulia bukan untuk tampilkan dusta,
Tetapi guna beberkan semua yang yah ...
   katakan saja terlanjur dipakai berlama-lama.
Di dunia ini mana ada orang tanpa dosa
   tanpa dusta, dan pengakuan atas ini semua
Jelas langkah awal paling utama dan berharga
   karena dari sana semua bisa bermula.
Samudera penderitaan tampak luas tidak bertepi
   tetapi mereka yang palingkan muka,
Pasti lihat titik kecil suar cahaya pertanda
   ke sanalah seharusnya ini biduk dikayuhnya.
Tak apa gagal di pentas kuasa tetapi berdiri bisa
   tegak dada dan tengadahkan kepala.
Ayo, belum terlambat dan pasti tidak sia-sia ...
   belum terlambat dan pasti tidak sia-sia.
Essi nomor 156 -- POZ08052012 -- 087853451949
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H