Wanita muda yang ternyata bernama Titis itu menghela nafas panjang berkali-kali. Surat suaminya menandakan kekalutan pikiran laki-laki itu. Tidakkah ini karena terlalu banyak yang hendak dikemukakan tetapi terlalu sedikit kemampuan untuk mengekspresikan? Terbayang di matanya, bagaimana semua itu terjadi.
Manggara masih kecil waktu itu. Dia tidur di pangkuannya. Sedangkan di sebelahnya, suaminya mengemudikan mobil dengan kencang persis seperti orang yang dikejar setan. Tiga kali dia mengingatkan suaminya agar lebih memelankan mobil tetapi jangankan digubris, malah mobil terasa berlari semakin kencang.
Kemudian, yah ... semuanya tentu telah tersurat di atas sana, sebuah sepeda motor tiba-tiba saja nyelonong ke jalan. Tubrukan tidak terhindarkan.
Empat orang menjadi korban sekaligus. Semuanya mati. Ayah, ibu, dan dua anaknya. Sepeda motor yang mereka tumpangi saja bentuknya tidak karuan lagi. Terseret hampir sejauh lima belas meter. Dia menjerit histeris waktu itu kemudian tidak sadarkan diri.
Ketika dia bangun, yang pertama-tama dipanggilnya adalah nama anaknya. Seorang suster mendatanginya, dengan lembut suster itu menerangkan. Manggara selamat, begitu juga suaminya.
Manggara berada di kamar anak-anak, sedangkan suaminya, setengah jam yang lalu berangkat ke kantor polisi.
Sejak itu, mulailah dia seorang diri. Atas permintaan suaminya, Manggara yang masih kecil tidak diberitahu apa-apa. Begitu juga setelah suaminya dijatuhi hukuman tujuh tahun potong tahanan, dia diminta dengan sangat agar tidak membawa Mangara ke penjara dan ini memang dikerjakan. Dia terlalu cinta dan penurut pada suaminya.
Wanita itu kembali menghela nafas panjang.
"Masih delapan bulan lagi...." gumamnya.
Sedangkan di kamar satunya lagi, Manggara dalam tidurnya menggigau.
"Papa, sayangi aku pa .... Aku ingin digendong...."