"Ya ma. Mungkin dia kesal karena berkali-kali gawangnya Manggara jebolkan."
"Kalau sudah besar nanti, Manggara jadi pemain sepak bola. Boleh, ma?"
"Mengapa tidak boleh, asal sekolahnya tidak terbengkalai. Manggara terus pintar di sekolah sekaligus pintar dalam bermain sepak bola.
"Jangan khawatir, Ma!" kata Manggara mantap. Anak kecil yang satu ini entah mengapa ternyata bisa bersikap persis seperti anak yang sudah dewasa saja.
Tanpa terasa akhirnya mereka sampai juga di rumah.
"Sekarang Manggara harus cuci tangan dan kaki kemudian belajar."
"Baik, ma," jawab Manggara sambil berlari-lari kecil.
Wanita itu menatap anaknya dengan pandangan bangga. Kebanggaan seorang ibu, melihat putranya tumbuh sehat dan cerdas. Ibu mana yang tidak akan bangga melihat anaknya tumbuh sehat dan cerdas seperti itu?
Hanya saja kembali banyangan suaminya muncul di benaknya. Bayangan kenangan masa lalu yang indah. Pergi tamasya setiap akhir pekan, pergi berlibur ke tempat jauh kalau mendapat cuti, pergi menghadiri misa gereja, kemudian yah, merayakan Natal bersama di rumah. Betapa menyenangkan itu semua!
Cuma sekarang, dia masih kurang sabar menunggu. Suaminya pasti akan kembali tetapi jelas tidak sekarang. Surat yang siang tadi datang membuat dia semakin tidak tahan untuk berjumpa. Oh, Tuhan, kuatkanlah aku....
"Ma, aku sudah cuci tangan dan kaki!" suara anaknya memutuskan lamunannya.