Sayangi Aku, Papa
Tri Budhi Sastrio
Ada yang rindu mama, ada yang rindu papa.
Keduanya paling utama bagi anak-anak belia.Â
Hari sudah sore. Langit di barat semburat memerah. Sedangkan angin bertiup sepoi, seakan memberi selamat jalan pada sang siang, untuk pergi diganti sang malam.
Seorang anak kecil kelihatan duduk sendirian di taman. Taman yang semakin lama semakin jelek dan tidak terurus memang sudah lama kehilangan pengunjung.
Bangku semen yang diduduki anak kecil itu sudah retak dan pecah di sana-sini. Manilik dari usia bangku-bangku semen di taman itu, patut depertanyakan, mengapa dalan usia yang relatif muda seperti itu, bangku-bangku semen itu sudah retak dan pecah tidak karuan? Apakah waktu merencanakan dulu memang dibuat seperti itu? Cepat retak dan cepat pecah?
Kalau jawabnya "Ya", tentu saja tidak ada masalah kecuali satu hal, yaitu kepala si Perencana harus dicuci dengan deterjen yang kuat daya kerjanya. Sedangkan kalau jawabnya "Tidak", maka kepala Bagian Pengawasan Kualitas perusahaan pengelola taman itu harus diseret ke meja hijau, karena dia digolongkan sebagai pegawai yang korup dan tak becus. Tidak diragukan lagi, pegawai itu pasti menerima uang suap dari pihak kontraktor untuk menutup mata dan hatinya terhadap keadaan bangunan yang sebenarnya.
Cuma sayangnya, di jaman sekarang ini, seandainya ada orang yang mencoba-coba berpikiran seperti di atas, kemudian mencoba menyelidiki dan menyelesaikan secara tuntas, akan tidak cuma berhadapan dengan tembok tetapi juga dengan palu logam besar yang sewaktu-waktu siap untuk menghantam dan meretakkan kepala yang usil itu.
Tangan anak kecil itu sekali-sekali mengusap mukanya. Matanya yang bening semakin lama semakin buram. Lapisan air mata mulai menyaput mata kecil itu.
"Engkau tidak cinta padaku, papa...," gumamnya lirih beberapa saat kemudian.
Tidak ada yang mendengarnya. Bahkan anak itu sendiri, diragukan mendengar gumamannya sendiri. Sekali lagi dia mengangkat tangannya yang mungil, mengusap mata. Pandangannya sejenak terang lagi.
Sementara itu, di ruangan sebuah rumah. Seorang wanita cantik, duduk dengan tenang, menyulam sehelai saputangan. Tangan yang putih lentik bergerak dengan lincah ke sana ke mari tetapi ... Jelas ini terasa aneh, di pipinya mengalir berbutir-butir air bening. Ya, wanita cantik itu menangis. Entah apa yang disedihkannya, mungkin cuma dia sendiri yang tahu.