Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Lewat Surat

7 Maret 2021   06:42 Diperbarui: 8 Maret 2021   06:21 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via www.stocksy.com

Lewat Surat
Tri Budhi Sastrio

Hidup dan mati manusia memang takdir Tuhan,
Sedangkan cara dan ragamnya
Kadang tidak masuk akal,
Kadang sulit dimengerti!

Hendra bersiul-siul. Hatinya riang. Pekerjaan selesai semua. Pemandangan daerah pemukiman yang jorok, yang biasanya selalu mengganggu, kali ini tidak sempat mampir di hati Hendra. Semua tampak ceria. Semua tampak indah.

Hendra masih bujangan. Dia tinggal di sebuah rumah susun tidak begitu jauh dari tempat kerjanya. Tidak sia-sia dia memikirkan hal ini masak-masak, sebelum dulu memutuskan menyewa sebuah kamar di rumah susun itu. Uang transpor yang diberikan oleh perusahaan dapat ditabung karena tidak perlu menggunakan kendaraan umum. Cukup dengan berjalan kaki sampailah ke tempat kerja. Hemat dan sehat!

Kamarnya di lantai tiga, yang kalau dari arah selatan, tepat berada di ujung sebelah timur. Hemdra mengangguk gembira melewati Satpam yang bertugas. Hari sudah sore. Sinar matahari yang merah seakan-akan mencat dinding rumah susun itu dengan warna jingga. Bukan pemandangan yang menyenangkan untuk mereka yang sedang resah tetapi untuk mereka yang sedang bergembira, seperti Hendra umpamanya, pemandangan itu amat sangat menyenangkan.

Bahkan, bayangan tetangga sebelah yang mempunyai anak lima dan sering menganggu waktu istirahatnya, juga dilupakan oleh Hendra. Yang ada dalam pikiran pemuda itu cumalah hal-hal yang menyenangkan saja. Bagaimana Ranti, karyawan yang sekantor dengan dirinya, membalas senyumnya. Kemudian, bagaimana bapak Direktur memuji pekerjaannya. Apalagi yang bisa diharapkan oleh seorang pemuda bujangan seperti dirinya, kecuali mendapat perhatian dari seorang gadis dan sekaligus mendapat perhatian dari pimpinan kantornya.

Hendra sudah sampai di lantai tiga sekarang. Naik turun rumah susun setiap hari, hampir-hampir merupakan latihan terselubung untuk kaki dan jantungnya. Hendra belok ke kanan. Gang dirumah susun itu sepi dan bersih. Suatu keadaan yang jarang terjadi. Biasanya banyak anak kotor.

Hendra merogoh saku celana, mengeluarkan kunci kamarnya. Sehabis mandi nanati, dia akan turun. Makan malam, kemudian Hendra mempertimbangkan dua kemungkinan. Nonton bioskop atau kembali ke kamar dan membaca buku. Seandainya Ranti tidak sekedar memberikan senyuman balasan tetapi juga mau membalas suratnya, mungkin dia bisa memasukkan satu pertimbangan lagi dalam acara sore hari. Mengunjung pacar, mengunjungi kekasih tercinta!

Hendra kembali bersiul-siul ketika tepat berada di depan pintu kama. Memasukkan kunci, memutarnya pelan, dan kemudian mendorongnya. Hendra masuk, menutup pintu. Laki-laki muda itu sudah hendak terus melangkah, ketika sepucuk surat di lantai menarik perhatiannya.

Hendra membungkuk, mengambil surat. Surat itu betul untuk dirinya. Dikirim degan perangko seharga lima ribu rupiah. Surat kilat, kata Hendra pada dirinya sendiri setelah berpikir sejenak. Dia pernah mengirim surat kilat pada ayah di Surabaya, dan kantor pos memberinya perangko seharga lima ribu rupiah. Jadi ini pasti surat kilat.

Hendra membalik surat itu. Tidak ada nama pengirim, yang ada cumalah kota tempat surat itu dikirimkan. Bandung. Hendra kembali membalik surat itu, memeriksa stempel di perangko depan, dan memang betul dari kota Bandung.

Siapa orang di Bandung yang kenal dengan dirinya? Seingatnya dia tidak mempunyai teman atau kenalan di Bandung. Hendra memang bukan orang yang pandai bergaul. Temannya terbatas. Waktu di Surabaya, temannya cuma anak-anak sekelas. Sedangkan di Jakarta, cuma rekan-rekan sekantor.

"Bandung?" gumamnya sendiri dengan nada bertanya. "Siapa ya?"

Hendra melangkah ke kursi tamu, yang dibelinya dengan harga lima ratus lima puluh ribu, setelah sempat kamarnya tidak mempunyai kursi tamu selama dua bulan. Sampul disobeknya. Kertas putih, terlihat rapi, meluncur keluar. Hendra membuka lipatan kertas itu dan membacanya.

Semenit kemudian, muka laki-laki yang masih muda itu berubah heran. Sampul surat diambilnya dan membaca alamat tujuan surat. Tidak salah. Untuk dirinya, dan alamatnya juga tepat tetapi isi surat? Dia sama sekali tidak mengerti. Juga ...

Hendra membaca sekali lagi surat itu.

"Kami tidak suka dengan tindakanmu. Hentikan atau engkau akan menyesal. Menggoda seorang gadis baik-baik, apalagi gadis itu ternyata tidak suka pada dirimu, adalah pelanggaran hak asasi. Hentikan! Kuberi waktu dua hari dari sekarang! Dari aku, pembela hak kaum wanita."

Hendra menghela nafas panjang. Dia bukan orang yang sering menerima surat tetapi surat yang ngawur seperti ini, baru kali ini. Pengirimnya tidak jelas, isinya juga tidak karuan. Gadis mana yang pernah digodanya selama ini? Tidak ada!

Hendra memasukkan surat dalam sampulnya, meletakkan di meja, sejenak berpikir, sebelum akhirnya bangkit dan mandi. Memikirkan surat nyasar adalah perbuatan sia-sia, begitu Hendra berpikir tetapi bagaimana dengan alamat surat yang tepat dan persis? Gagal menemukan jawaban yang tepat, Hendra memutuskan untuk melupakan saja surat tidak karuan itu.

Selesai makan malam, Hendra tidak ke mana-mana. Menonton acara TV yang makin hari makin membosankan, kemudian ganti kegiatan dan mencoba membaca buku. Surat peringatan yang tidak jelas siapa pengirimnya sudah benar-benar dilupakan oleh Hendra. Buku karya Alistair McLeans ternyata sangat menarik.

Siaran TV sudah lama selesai, ketika buku menarik itu selesai dibaca. Hendra menguap beberapa kali sebelum akhirnya terlelap. Besok harus bangun pagi-pagi. Acara rutin memberinya bayangan indah karena esok dia akan bertemu Ranti.

***

Hendra tersentak, ketika tepat dua hari, seperti yang dikatakan dalam surat ancaman, surat itu kembali muncul. Sebenarnya laki-laki muda itu sudah melupakan tetapi ketika membuka pintu dan sepucuk surat tergeletak di lantai kamar, ingatan akan surat yang pertama kembali muncul.

Hendra memungut surat itu. sekarang pengirimnya bukan dari Bandung tetapi dari Cirebon. Surat itu diposkan dari Cirebon dan pengirimnya juga menulis kota Cirebon.

"Anda ternyata meremehkan peringatan kami," begitu surat itu dimulai. Langsung dan tanpa basa-basi. "Menurut peraturan organisasi kami, hari ini juga sebenarnya kami harus langsung menindak anda tetapi mengingat anda masih muda, masih mempunyai masa depan yang cerah dan kami juga berharap anda bisa segera insaf, kami tidak langsung menindak anda saat ini. Dua hari lagi kami berikan kesempatan untuk anda. Cuma jangan lupa, ini dua hari yang terakhir. Tidak ada perpanjangan waktu lagi. Juga tidak ada penundaan lagi. Anda berubah atau anda terpaksa kami singkirkan."

Pengirimnya itu tetap sama seperti surat yang pertama. Pembela hak kaum wanita.

Hendra gemas. Wanita mana yang pernah diganggunya? Mempunyai pacar saja dia belum! Lalu apa maksud surat ini! Bercanda dengannya?

"Bah!" seru Hendra sambil meremas-remas surat itu dan melemparkannya ke keranjang sampah. "Akan kutunggu dua hari lagi itu. Akan kulihat, apa yang bisa diperbuat pada diriku. Menggoda orang boleh saja tetapi tidak dengan cara seperti ini!"

Hendra mencoba melupakan surat itu tetapi tidak seperti yang pertama dulu, kali ini sulit sekali. Samar-samar Hendra merasakan kalau ini semua tidak sekedar lelucon. Pasti ada sesuatu di balik ini semua, cuma dia tidak tahu sesuatu itu apa.

Lonceng berdentang dua kali. Mata Hendra belum juga terpejam. Seluruh ingata digali mencoba menemukan temannya di Bandung atau Cirebon tetapi gagal karena memang tidak pernah punya teman di kota itu. Jangankan teman, diam di kota itu saja dia belum pernah. Kalau lewat Cirebon memang pernah tetapi cuma lewat. Sedangkan Bandung, lewat pun dia belum pernah.

Ancaman! Dia tidak suka ancaman. Betapa pun tidak tepatnya ancaman ini tetapi ancaman tetap ancaman. Membuat orang tidak tenang! Kalau surat ini cuma sekedar omong besar mungkin tidak jadi masalah tetapi bagimana kalau surat ini tidak sekedar bercanda? Bagaimana kalau penulis surat ini bisa membuktikan ancamannya? Bisa menyingkirkan dirinya?

Hendra merasa dirinya bukan orang yang terlalu pemberani. Bahkan sering dia merasa takut kalau harus berselisih dengan orang lain. Menghadapi sesuatu yang gelap seperti ini, diam-diam timbul juga rasa takutnya.

Keesokan harinya, Hendra masuk kantor dengan mata merah. Dia mengantuk, karena baru sekitar jam tiga pagi baru bisa tidur. Keadaan konyol ini masih ditambah dengan mimpi buruk. Hendra merasa dirinya dikejar-kejar seorang pembunuh. Ketika terbangun, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

Di kantor, Hendra bekerja dengan gelisah. Perhitungan sederhana yang harus diselesaikan, berkali-kali terpaksa diiulang karena salah. Ranti yang memperhatikan tingkah Hendra sempat dibuat heran. Tidak ada senyum, tidak ada kegembiraan. Yang terlihat cuma kelelahan dan kekusutan!

Pulang dari kantor Hendra langsung tertidur. Fisik dan mentalnya lelah luar biasa. Bahkan laki-laki muda itu tidak sempat mengunci pintu kamarnya. Makan malam pun terpaksa diabaikan.

Bangun keesokan harinya, laki-laki muda itu sedikit segar. Tetapi ingatan akan waktu ancaman, pikiran Hendra kembali kusut. Seandainya sekarang ini dia memutuskan untuk mengalah, dan mengakui salah, kemana dia harus mengatakan ini semua? Ke Cirebon? Ke Bandung?

Keparat sialan, gerutu Hendra sambil melangkah ke kamar mandi.

Ketika di kantor, dia memang bisa bekerja lebih tenang. Bahkan sempat saling melempar senyum dengan Ranti tetapi ketika kembali ke rumah, bayangan akan menerima surat kaleng, membuat Hendra kembali gelisah.

Yang dibayangkan Hendra ternyata benar. Sepucuk surat sudah menunggu di lantai begitu dia membuka pintu. Hendra menarik nafas gelisah.

Cap pos surat itu sekarang dari Bandung. Isinya ternyata singkat saja dan tanpa nama pengirim.

"Selamat tinggal, tuan Hendra! Pelaksanaan hukuman mati akan kami laksanakan malam nanti! Sebaiknya anda tidak pergi ke mana-mana. Bukan hal yang menyenangkan kalau koran besok memuat foto tubuh anda tergeletak di selokan. Sekali lagi, selamat tinggal, Tuan Hendra!"

Hendra menggigil. Gabungan antara rasa takut, ketidak-berdayaan dan rasa marah.

"Aku akan laporkan ini semua pada polisi!" desis Hendra tajam tetapi dilain kejab, pikiran lain mucul di benaknya. Bagaimana kalau ini semua cuma lelucon? Bukankah dirinya akan menjadi bahan tertawaan? Hendra meremas-remas surat itu dan melemparkannya keras-keras ke dinding depan.

Apa yang harus dilakukan sekarang? Menunggu? Sementara kematian akan datang nanti malam? Tidak! Dia harus melakukan sesuatu. Tidak peduli surat ini cuma omong kosong atau tidak tetapi dia harus melakukan sesuatu.

***

Sementara itu di sebuah rumah besar, di kawasan elite kota Bandung.

"Bagaimana pertanggung jawabanmu sekarang!" kata seorang laki-laki besar, pada sekelompok orang yang duduk dengan sikap resmi di depannya. Laki-laki tinggi besar itu melemparkan sepucuk surat, berperangko luar negeri.

"Hendra Sanca berada di Perancis sekarang! Padahal, sebelum ini  kalian memberi laporan padaku kalau laki-laki itu berada di Jakarta. Menyewa kamar di rumah susun. Bagaimana ini semua?"

Enam orang itu tertunduk.

"Kalau kalian yang menjadi aku, apa kira-kira yang akan kalian perbuat? Enam orang yang mengaku dirinya profesional, melakukan kesalahan begini elementer. Jiwa seorang pemuda yang tidak tahu apa-apa melayang begitu saja. Bagaimana perasaan orang tuanya? Bagaimana perasaan saudara-saudaranya? Kalian tahu? Kalian pernah memikirkannya?"

Tidak ada yang menjawab!

"Aku juga tolol, dan sialnya aku yang harus bertanggung jawab terhadap ini semua. Seharusnya aku memeriksa sendiri sebelum aku memberi persetujuan memvonis mati pemuda itu!" laki-laki tinggi besar itu menarik nafas panjang. Mukanya memperlihatkan rasa menyesal yang mendalam. Sepanjang kariernya, sudah banyak orang yang jiwanya melayang lewat tangannya tetapi kematian orang-orang itu tidak pernah disesalinya. Lain dengan yang sekarang ini!

Berbulan-bulan organisasinya mengejar-ngejar laki-laki penghianat itu. Puluhan juta rupiah, hasil perdagangan narkotika digelapkan. Untuk orang-orang seperti itu, organisasinya cuma mempunyai dua pilihan. Memecat orang itu tetapi dengan syarat harus mengembalikan semua uang yang bukan haknya, atau mengirimnya ke akherat. "Gadis" dalam organisasinya berarti "Uang". Hendra telah diberi surat ancaman semacam itu tetapi dia tetap tenang-tenang saja, sebenarnya sudah membuatnya heran. Tidak tahunya pemuda itu memang tidak mengerti, karena bukan dia sasaran sebenarnya.

"Harus ada keadilan untuk kesalahan-kesalahan semacam ini!" laki-laki tinggi besar itu berkata lagi. "Mulai sekarang, sampai selama enam bulan, seluruh uang yang menjadi hak kalian, tidak akan kalian terima. Uang itu akan kuserahkan pada keluarga pemuda itu. Nyawa seseorang memang tidak bisa dihargai cuma dengan beberapa juta rupiah, tetapi apa lagi yang bisa kuperbuat. Organisasi sendiri akan menyumbang tiga kali lipat dari yang kalian berenam berikan. Aku tidak menawarkan ini pada kalian, tetapi aku memerintahkan dan memutuskan. Yang tidak setuju, boleh keluar dari organisasi ini!"

Siapa yang akan berani menolak? Keluar dari organisasi, berarti mati.

"Besok, aku sendiri akan ke Perancis. Orang yang telah divonis mati oleh organisasi, tidak bisa dibiarkan tetap hidup berkeliaran. Apalagi, kerena tindakan keparat yang satu ini, nyawa seorang pemuda melayang sia-sia."

Laki-laki tinggi besar itu berhenti sejenak.

"Bagaimana? Masih ada yang hendak kalian katakan?"

Keenam orang itu menggeleng pelan.

"Baiklah! Besok kalian berenam pergi ke Surabaya. Datangi rumah orang tua pemuda itu. Katakan saja kalian temannya. Masing-masing menyumbangkan uang seperti yang telah kukatakan tadi. Sedangkan sumbangan dari organisasi bisa kalian sampaikan juga dan katakan bahwa uang tersebut dari seseorang teman lainnya yang tidak sempat datang. Kalian paham?"

Keenam orag itu mengangguk.

"Kalian boleh keluar sekarang. Oh ya, selama aku di Perancis kalian kularang melakukan trasaksi. Kalau memang ada orang berminat, catat saja. Tunggu sampai aku datang!"

Enam orang itu mengangguk dan bersama-sama bangkit dari duduknya. Tinggal si laki-laki tinggi besar, bersandar ke kursi mewahnya.

Anda pasti penasaran dan ingin tahu apa usaha Hendra malam itu, bukan? Dia tidak pergi ke kantor polisi. Kekhawatiran bahwa surat itu cuma olok-olok belaka yang membatalkan Hendra untuk melapor ke polisi.

Pemuda yang sederhana itu berpikir, kalau dia tidak tidur di kamarnya, bukankah dirinya bisa menghindari ancaman itu, seandainya ancaman itu memang benar-benar ada.

Hendra memutuskan pergi nonton bioskop dan kemudian menginap di losmen murahan. Sayangnya dia tidak tahu, kalau semua tindak tanduknya telah diawasi dan dibayang-bayangi. Bahkan enam orang melakukan pengintaian itu.

Kasihan pemuda sederhana itu. Mungkin karena wajahnya mirip sekali dengan sasaran sesungguhnya, ditambah dengan namanya yang mirip, hidupnya jadi pendek. 

Cita-citanya mempererat persahabatannya dengan Ranti, rekan sekantornya, menjadi cuma impian belaka tetapi mungkin juga Tuhan mempunyai rencana lain dengan memanggil pemuda itu lebih cepat. Siapa tahu Tuhan beranggapan, bahwa untuk pemuda sederhana semacam Hendra, tidak perlu mengalami kegetiran dan kepahitan mengarungi bahtera rumah tangga. Ya, siapa tahu! (R-SDA-07032021-087853451949)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun