Aku mengangkat pundak. Tidak kuduga kalau Hamid bisa kukuh juga dengan pendapatnya.
"Terserah padamu kalau begitu!" kataku akhirnya.
"Bagus!" lagi-lagi Hamid berseru bagus.
Entah sejak kapan kebiasaan itu muncul.
"Memang semuanya terserah padaku, karena memang namaku yang terhina, kehormatanku yang terluka. Ayo kau tulis sekarang surat kuasa itu!"
"Kau belum menceritakan semuanya?" tanyaku sambil mencoba untuk tersenyum.
"Apanya yang belum kuceritakan?" Hamid balas bertanya. "Bukankah semuanya ... eh, engkau maksudkan bagaimana temanmu itu menghinaku? Begitu?"
Aku mengangguk.
"Tidak!" kata Hamid dengan suara keras. "Tidak akan kukatakan bagaimana temanmu itu menghina namaku. Aku tidak mau lagi mendengar kata-kata hinaan itu meskipun berasal dari mulutku sendiri. Pokoknya engkau terima saja bahwa temanmu telah menghina namaku."
Kembali aku mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Aku berpikir bagaimana bisa kusadarkan si Keras Kepala ini? Tiba-tiba sebuah ide melintas di benakku, ide yang pernah muncul puluhan abad yang lalu dari seorang pujangga besar. Ya, mengapa tidak kugunakan ini, untuk menyadarkan kekerasan hati si Hamid.
"Eh, kau tahu tentang bunga mawar, tidak?" tanyaku tiba-tiba.