Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Masa Depan: Jangan Biarkan Mereka Musnah

14 Desember 2020   08:04 Diperbarui: 14 Desember 2020   08:07 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.atlasobscura.com/articles/70-years-ago-the-us-military-set-off-a-nuke-underwater-and-it-went-very-badly

"Kita memang bisa menghancurkan negara mana pun juga saat ini. Sebelumnya pernah kita bermimpi bahwa dengan mempunyai kemampuan seperti ini, kita bisa mencegah perang. Dasar pemikiran kita, tidak ada negara yang ingin bunuh diri dengan mendahului menyerang tetapi nyatanya?" suara Presiden meninggi. Dia berdiri dari tempat duduknya.

"Sebuah negara kecil yang gila telah menyulut sumbu bom waktu. Mereka tidak takut dihancurkan bahkan tampaknya mereka ingin menghancurkan diri sendiri, kecuali seluruh negara tunduk pada perintahnya. Lalu negara mana yang mau tunduk pada permintaan ini cuma semata-mata agar negara gila itu tidak meluncurkan peluru mautnya? Tidak ada! Tidak ada negara yang mau berbuat demikian! Negara kecil itu harus dihancurkan lebih dahulu. Tetapi ternyata untuk melakukan ini juga tidak mudah! Semua negara saling mencurigai! Tidak peduli sebuah peluru kendali berkepala nuklir ditujukan ke mana, asal peluru itu meluncur, setiap negara pasti akan ikut meluncurkan. Menunggu berarti terlambat untuk membalas!"

Gema suara Presiden, seperti gema lonceng kematian dalam ruangan itu. Sialnya, kejadian dan suasana seperti ini, ternyata tidak cuma terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh negara. Seluruh negara terlibat dalam ketegangan semacam ini. Mereka bersidang, mereka berunding, tetapi tanpa jalan keluar.

"Bagaimana dengan kerja kalian berdua selama ini?" tanya Presiden tiba-tiba pada Menteri Pertahanan dan Menteri Riset. "Aku tidak percaya kalau seluruh dana negara yang dikucurkan selama ini tidak menghasilkan sesuatu? Banyak hal-hal penting terpaksa kukorbankan, karena aku ingin melihat Departemen yang kalian pimpin bisa menghasilkan sesuatu yang selama ini didambakan!"

Presiden berhenti dan duduk kembali. Sedangkan Menteri Pertahanan dan Menteri Riset saling pandang. Mereka berdua tahu, waktu jugalah yang akan menentukan segala-galanya. Mereka berdua tidak enak-enakan selama ini. Seluruh tenaga dan daya, juga dana, telah dikerahkan untuk mewujudkan impian sang Presiden. Mereka telah mengorbankan segala-galanya untuk ini tetapi hasilnya, tetap belum memuaskan! Menemukan senjata penangkal nuklir memang bukan pekerjaan mudah.

Seluruh ilmuwan peneliti telah mereka pacu semangat dan daya kerjanya. Tidak ada hari libur bagi mereka. Tidak ada waktu istirahat. Mereka baru boleh berlibur dan beristirahat kalau alat itu sudah ditemukan. Mereka sendiri juga tidak bekerja cuma karena dipaksa. Tidak! Mereka juga gigih bahkan mungkin gila dengan kerja. Mereka seperti serombongan semut mencoba menyeberang kali berair deras. Seribu mati, sepuluh ribu mencoba. Sepuluh ribu mati, seratus ribu mencoba. Mereka akan terus mencoba dan mencoba.

"Betapa bahagianya, seandainya ...."

Kata-kata Presiden terputus. Seorang Kolonel menerobos masuk. Pasti ada yang sangat penting. Kalau tidak bisa-bisa dia dipecat karena tindakannya itu. Kolonel itu menyerahkan selembar kertas langsung pada Presiden. Tampaknya kertas itu berasal dari Komputer Komunikasi Departemen Pertahanan.

Presiden menerima kertas itu dan membacanya. Seluruh yang hadir dalam ruangan menahan nafas. Jangan-jangan itu laporan bahwa peluru kendali balasan sudah ditembakkan. Presiden mendehem setelah selesai membaca, kemudian perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Sementara si Kolonel, entah sejak kapan, sudah tidak berada di ruangan itu lagi.

"Negara gila itu memberi ultimatum pada kita semua sampai dengan pukul 13.00 siang ini." Presiden melirik arlojinya. Begitu juga beberapa Menteri. "Empat jam lagi dari sekarang!" suara Presiden meninggi. Kesabarannya sudah habis sekarang. Perlu apa menunggu jika akhirnya kehancuran juga? Hancur sekarang atau hancur empat jam lagi, apa bedanya?

"Tuan Presiden!" Menteri Pertahanan berbisik dengan suara lemah. "Kita harus bersabar! Empat jam memang tidak lama, tetapi siapa tahu, dari laboratorium kita akan menerima kabar gembira!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun