Essi no. 342 - Kamis Terakhir Tahun Ini -- Manifesto Tanpa Kata
Kamis terakhir tahun-tahun ini terasa amat sangat istimewa
Karena menjadi tanda hari terakhir tahun gaduh nusantara.
Tetapi tentu saja bukan hanya karena ini dia jadi luar biasa.
Ada hal hebat lainnya yang ketuk nurani mereka yang peka.
Sekelompok orang, yang entah dapat dari mana energinya,
Dengan setia menatap sambil berdiri depan istana negara,
Tanpa kata tanpa suara, tetapi gelegar dahsyat bahananya
Berdentam bak prahara samudera, langit limbung dibuatnya,
Malaikat berkaca-kaca, sedangkan dewa diam seribu basa.
Mereka galau sedih tidak terkira, tak tahu harus bilang apa,
Karena penghuni istana negara, entah tak sehat telinganya,
Entah terpilin lidahnya, entah sudah membatu nalar jiwanya,
Yang jelas mereka ikut serta diam membisu tidak bersuara.
Yah, riuh dan gaduh ada di mana-mana, tapi entah kenapa
Protes bisu yang dahsyat riuhnya hanya dibalas tanpa kata?
Adalah seorang wanita yang menyandang nama suci Maria
Dengan bermodal semangat payung hitam tanda duka lara,
Setiap Kamis Senja dengan setia suarakan kegalauan jiwa.
Wanita yang tak lagi muda ini mengkooridinir sesama bunda
Berdiri tanpa kata menghadap ke arah istana simbol negara.
Maksudnya? Ha ... ha ... ha ... tawa sedih hadir tanpa suara.
Sudah ratusan, setiap hari Kamis, sore hari menjelang senja,
Waktunya juga cuma empat puluh lima menit saja, bisu kata.
Lalu lima belas menit berikut diisi renungan gundah gulana,
Lalu setelahnya ya membubarkan diri diiringi bisunya istana.
Begitulah manifesto tanpa suara berbicara pada penguasa,
Dan lama-lama jadi tak penting apa ada jawab bagi mereka
Karena yang paling esensi, bersuara tanpa kata sudah nyata.
Aksi Payung Hitam Para Bunda sepertinya tunggal tujuannya
Bersuara dan bersuara tanpa kata, senyap baju dan jubahnya
Tetapi gaduh riuh rendah membahana gelegar inti sukmanya.
Maria Catarina mungkin tidak perlu mencari ide dari Argentina,
Jika hanya ingin menjadi pelopor gerakan protes tanpa suara,
Karena ia sendiri sebagai bunda, seperti bunda-bunda lainnya,
Mengalami sendiri betapa pedih kehilangan satu putra tercinta
Dan pelakunya adalah negara yang seharusnya pelindung jiwa.
Memang pernah ada masanya, di Amerika Selatan sana, ketika
Perang Kotor -- Guarra Sucia -- melanda tidak hanya Argentina
Tetapi juga Chile, El Savador, Nicaragua, ibu-ibu korban neraka
Bertemu di taman-taman, di jalan-jalan, di halaman plaza-plaza,
Untuk menyuarakan protes pada elit-elit penguasa dan negara,
Bagaimana para remaja tak berdosa tumpuan harapan mereka
Tumbang bergelimpangan dilanda peluru tajam senapan tentara
Yang ternyata dibeli menggunakan uang pajak dari saku mereka
Tapi digunakan menumbangkan harapan masa depan keluarga?
Jadi tak mengherankan jika para bunda remaja yang lenyap sirna
Diabadikan dalam sebuah lagu yang liriknya melanglang buana,
Menginsipirasi banyak bunda duka, termasuk yang di Indonesia,
Yang ikut lirih bernyanyi dalam senyapnya manifesto tanpa kata.
Dalam 'Mothers of Dissappeared', Para Bunda Anak yang Sirna,
Lirih tapi lantang, senyap tapi riuh, tanpa kata tapi membahana,
U2 dari Irlandia menggambarkan betapa di tengah malam raya,
Putra-putri kami ditumbangkan ... direnggut tanpa banyak tanya.
Tetapi kami masih dan terus saja dengar detak jantung mereka,
Terus saja mendengar detak jantung mereka, jasad boleh sirna
Tetapi suara detak jantung mereka selalu ada lantunkan irama.
Sumarsih juga rasakan ini, detak jantung yang direnggut negara
Terus membahana, memberikan tidak hanya semangat tenaga
Tetapi harapan bahwa keadilan masih ada di ini negara tercinta.
Adalah Benardinus Realino Norma Irawan, pemuda mahasiswa,
Yang entah mengapa dalam Semanggi 1 tak jauh dari Atmajaya,
Ditembus peluru tajam negara - peluru yang rakyat pembelinya.
Wawan tumbang bersama dengan banyak teman sekampusnya.
Tawa gembira dia selalu terdengar datang bersama angin senja,
Begitu kenangnya, walau setelah itu tangis kami bersama hujan,
Rintik dan deras jatuh bergantian ke bumi, meluruhkan harapan.
Inilah energi abadi di balik Aksi Payung Hitam, yang bawa titian
Langkah tertatih kami ke depan Istana Negara bukan milik tiran.
Dan Maria Catarina Sumarsih, bersama dengan korban lainnya,
Seperti Mahmuri, Kusnendar, Endang, Abdul Salam, Bejo, juga
Tumiso, mendedikasikan jiwa pada detak jantung putra mereka
Yang terus saja riuh mengiringi banyak musim di tanah merdeka.
Jawaban atas harapan orang-orang yang sudah di ujung senja,
Memang belum ada karena istana negara gagap membisu kata.
Semanggi 1 dan 2, Mei 1998, serta banyak lagi misteri prahara,
Masih gelap tidak bercahaya karena negara yang punya kuasa
Masih enggan menyalakan pelita, bahkan kala rezim ganti nama
Eh penggantinya juga kebingungan tidak tahu apa, benar celaka.
Kamis terakhir tahun ini memang sudah tepat ada di depan mata